Ketahuan

10 4 0
                                    

Lelaki bermasker hitam memasuki ruangan pada dini hari. Usaha kerasnya sia-sia, niat menyelamatkan temannya diambang sekarat justru membuahkan kepahitan tak terbayang.

"Sudah bangun, Ay?"

Masker dilepas, wajah suaminya sembap sayu. Ayra memandang dalam diam.

"Saya bawain ini buat kamu," ucap Revan tersenyum kecil sambil mengangkat plastik ditangannya. "Belum makan, kan? Maaf, setengah hari, saya ninggalin kamu," sambungnya menyesali.

Revan mengangkat pelan tengkuk Ayra, mencium lembut kening istrinya dan mendudukkan diri di samping Ayra.

Ayra menengok ke sisi lain di mana tempat Skala berbaring kini kosong.

"Makan mau disuapin?" tawar Revan membuka tutup cup, isinya bubur ayam masih hangat.

Revan menarik pelan dagu Ayra, merundukan wajah mengecup lembut bibir yang selalu jadi candunya.

"Skala pergi untuk selamanya Ay ..." beritahu Revan setelah menegakkan badan.

"Pergi?" ulang Ayra dengan mata memicing.

"Kepangkuan Tuhan. Saya gagal menjadi sahabat baik baginya, sepulang mengurusi beberapa hal penting di luaran, saya kembali ke sini sekitar jam sepuluh lebih. Eh ... tahu-tahunya rumah sakit dalam keadaan gelap gulita, buat sampai ke ruangan ini, kamu tahu enggak? Saya naik tangga darurat lewatin lantai satu, dua, dan tiga. Masuk lift, mustahil beroperasi, listriknya lagi ada gangguan, begitu sampai di sini, sedih luar biasa saya, Ay, lihat Skala diambang sekarat jadinya saya lari ke luar lagi mencari orang-orang di rumah sakit buat nanganin Skala secepatnya, akhirnya ... Skala enggak bisa ketulungan, dokter menyatakan kalau Skala meninggal dunia," cerita Revan sepanjang jalan ingatan.

"Dia ... meninggal?" gumam Ayra yang tentu kaget.

"Skala enggak bisa tertolong lagi," jelas Revan, menguatkan hati dari patah hati ditinggal teman baiknya.

"Kamu juga yang masuk ke ruangan ini, terus kamu juga yang narik selimut aku?" todong Ayra.

"Iya. Itu saya."

"Artinya kamu juga yang bunuh teman aku?" simpul Ayra dengan keluguannya.

Revan menatap horor dilempari tuduhan sesadis itu. Lancang sekali mulut kecil istrinya ini.

"Kamu jahat," celetuk Ayra.

"Hah? Ngapain saya lakuin hal sekejam itu sama Skala? Enggak ada kerjaan banget!" ketus Revan tidak terima.

"Kamu, kan, egois," kritik Ayra mengabaikan ekspresi masam suaminya.

"Gini ya, Ay, kalau saya memang egois, sejak awal kita menikah, kamu sudah habis ditelan saya! Ini, kan, enggak, saring dulu kalau bicara!" gerutu Revan membela diri.

"Nih, makan sendiri. Saya orangnya egois, enggak suka direpotin," lanjut Revan meletakkan cup di atas perut Ayra. Tak jadi menyuapi.

"Enggak lapar," tolak Ayra menyodorkan cup kepangkuan Revan.

"Saya beli ini jauh-jauh, dan kamu menolak mentah makanannya?" kesal Revan, suasana hatinya sedang mendung dan istrinya tidak menghargai.

"Singkirkan itu, aku enggak lapar," acuh Ayra.

"Buang saja sendiri," acuh Revan menaruh lagi cup di perut Ayra.

"Buang enggak?" titah Ayra.

"Punya tangan, kan?  Buang saja sendiri," balas Revan.

Lama merespon, Ayra tenggelam pada pemikirannya yang belibet sedangkan kantuk mulai menyapa Revan.

"Pusing," keluh Revan tiba-tiba menenggelamkan wajah lelahnya di samping kepala Ayra.

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now