Star Garden

8 6 0
                                    

Ibu jempol lelaki itu menari-nari di keyboard layar ponselnya, mengirimkan sebuah pesan kepada seorang kepercayaan di kantor.

Pasangan muda yang selamat dari bahaya itu sekarang duduk saling berhadapan di pinggir jalan, menunggu kedatangan seorang tangan kanan Revan. Sedangkan para penjahat sudah kabur sejak mereka terkalahkan.

"Tiga lawan satu, luar biasanya aku takut kehilangan Mas Revan," gumam Ayra diiringi isakan tiada henti ke luar dari mulutnya.

"Laki-laki enggak perlu dicemaskan karena mereka kuat," jeda tiga detik. "Tapi sebaliknya, perempuan yang harus dicemaskan," lanjut Revan, satu tangannya menghapus air mata istrinya.

"Kenapa Mas menolak untuk dicemaskan?" Ayra menggeleng.

"Laki-laki enggak butuh di lindungi kecuali melindungi, dan laki-laki hanya butuh kasih sayang bukan dicemaskan. Kekuatan laki-laki berasal dari orang-orang yang dicintainya, itulah kenapa, aku menolak dicemaskan oleh kamu, karena aku mencintai kamu," terang Revan menatap teduh perempuan paling indah dalam kisah cintanya.

Ayra makin terisak, mencondongkan diri memeluk Revan.

"Sayang, kenapa nangis?" tanya Revan membalas pelukan dengan mata sedikit memanas.

"Aku takut Mas, sangat takut,"

"Takut kenapa?"

"Aku takut orang-orang tadi mengulangi hal sama di lain waktu untuk menyakiti Mas Revan. Setelah kegagalan ini pasti mereka mengadukannya kepada bos, mereka, dan berniat membalaskan dendam," jawab Ayra membeberkan kecemasannya.

Revan memaksa senyum berusaha tidak terusik dengan kata 'membalaskan dendam'. Posisinya di sini, Revan harusnya yang lebih pantas marah kepada para hama tadi.

"Semua akan baik-baik saja Ay," ucap Revan mengusap pelan punggung gemetar istrinya.

"Ceroboh! Mas melawan mereka sendirian dan itu membuatku sesak nafas melihatnya, untungnya Mas Revan bisa mengatasi bahaya itu, aku enggak tahu gimana jadinya kalau tadi Mas Revan kalah mungkin mereka akan membawaku pergi meninggalkan Mas, di sini sendirian," ujar Ayra menenggelamkan wajah sembabnya di ceruk leher Revan.

"Aku enggak akan memaafkan diriku sendiri kalau Mas Revan kenapa-napa, sungguh aku takut kehilangan," cicit Ayra mengulangi perkataan yang intinya tetap sama.

Jalanan ini sepi hanya ditumbuhi pepohonan besar menjulang tinggi di setiap pinggirnya, tak ada satu pun rumah. Jadi mustahil untuk Ayra meminta tolong pada orang lain saat itu.

Revan melerai peluk, memegang kedua bahu Ayra, menatap lekat. Tidak dapat dibayangkan seandainya perempuan ini sampai disentuh oleh pria-pria tadi habislah mereka bertiga di tangan panasnya. Tetapi karena mereka tidak menyentuh Ayra, jadi Revan memberi kesempatan hidup pada ketiganya.

"Enggak usah natap gitu bisa-bisa aku makin takut!" ketus Ayra mengusap keringat di pelipisnya kala Revan menyorotnya berlebihan.

Sudut bibir Revan membentuk seperti ujung panah, hanya melihat istrinya baik-baik saja mampu meredam kemarahannya perlahan-lahan.

"Aku bisa lahap kamu hidup-hidup, Ay," canda Revan tak mengindahkan celotehan beberapa saat Ayra yang menghkawatirkannya melebihi dari apa pun.

"Jangan mulai," tegur Ayra menundukkan wajah semunya.

"Mulai apa? Perasaan, aku enggak lagi ajak kamu main," goda Revan.

"Ini sudah malam, Mas," peringat Ayra.

"Memang iya,"

"Sekarang kita pulang?" ajak Ayra tidak betah berlama-lama berada di luaran gelap seperti malam ini.

"Sebentar lagi, nunggu Skala datang baru kita pulang," jawab Revan lalu beranjak menuju mobil.

"Mas, jangan tinggalin aku!" pekik Ayra gegas bangun menghampiri.

"Mau ke mana?" tanya Revan begitu lengannya dipeluk Ayra.

"Takut. Barusan Mas mau ninggalin aku?" Ayra menuduh sembarang.

"Kata siapa? Aku ambil jas," jeda. "Kamu kedinginan, pakai jas milikku," lanjut Revan memakaikan jas di kedua pundak Ayra.

"Makasih, Mas," Ayra merapatkan belahan jas hitam milik Revan ke depan dada.

"Mas enggak kedinginan?" Ayra melontar pertanyaan polos dengan wajah terangkat.

"Dingin. Sebagai gantinya karena kamu sudah kehangatan lebih dulu, sampai di kediaman kita, kamu harus hangatin aku," sahut Revan dengan seringai jahil mempunyai maksud tertentu.

"Boleh, aku akan buat malam Mas Revan sehangat air di kolam pemanasan," angguk Ayra memasang wajah normal.

"Memangnya kamu bisa?"

"Siapa yang enggak bisa luluhin Mas Revan? Aku bisa, kok," kata Ayra percaya diri.

"Kamu 'kan belum pulih Ay? Kuat gitu misalnya dijadiin guling olehku?" Revan menatap ragu.

Ayra terkekeh geli, obrolan diantaranya justru ditangkap Revan menjurus ke hal romantis.

Tentu saja bukan.

"Memangnya apa yang Mas pikirkan? Maksud aku, sehangat di kolam panas itu, memanaskan air shower sampai tingkat didihnya naik sama persis kayak air panas di kebanyakan kolam wisata," jelas Ayra disertai kekehan.

Revan memasang wajah datar, mendecak pelan sudah terkena tipu.

"Sama sekali enggak adil," gumam Revan.

"Adil kok. Aku dapat kehangatan dari jas ini, dan Mas Revan dapat kehangatan dari percikan air shower," sambung Ayra disela kekehan.

Revan menarik pelan dagu Ayra berhasil meredakan kekehan perempuan itu hingga keduanya beradu pandang di bawah langit malam.

Ayra mematung ketika Revan memiringkan kepala siap menghadiahkan kecupan, laju wajah Revan terhenti saat bunyi klakson dari arah selatan mengintrufsi.

Skala menurunkan kaca mobil seraya menghentikan kendaraan dekat teman lelakinya itu.

Lirikan sinis dilayangkan Revan menyambut kemunculan orang tangan kanannya. Lelaki berkaus biru turun dari mobil bersama seorang montir, bertugas akan memperbaiki ban mobil milik temannya yang bermasalah.

"Cantik," puji Skala melempar kedipan genit ke arah Ayra.

"Tidak ada drama malam, ayo masuk," ujar Revan menuntun Ayra membawanya memasuki mobil yang di bawa Skala.

"Kalian tidak jadi ciuman? Benar saja!" protes Skala sembari menengok lesu.

"Aku menggajimu bukan untuk memprotes, selesaikan tugasmu dan lekas kembali!" tegas Revan seraya menginjak pedal gas, meninggalkan manusia sisanya.

"Benar-benar atasan yang menyusahkan," rutuk Skala, berjalan mendekati pria yang sibuk mengganti sebelah ban mobil milik Revan.

Dari kejauhan, seorang pria yang ditugaskan Diego untuk memata-matai Revan buru-buru menyalakan mesin motornya dan melesat membelah jalanan sepi mengikuti ke mana pasangan itu hendak pergi.

Skala berlari cepat tatkala suara jelek berasal dari kenalpot motor yang baru saja melaju kencang melewatinya sangat menusuk gendang telinga.

"Motor butut! Kau hampir memecahkan telingaku, sialan!" teriak Skala memaki keras disepanjang lariannya ingin sekali menendang motor di seberangnya.

***

Pria yang membuntuti mangsanya tersenyum devil saat Revan dan Ayra masuk ke dalam hotel Star Garden. Pria itu merogoh handphone dari saku celananya, memotret bangunan bertingkat di seberangnya.

"Beritahu anggotamu, mulai hari ini perketat keamaan di setiap penjuru hotel," perintah Revan kepada body guard yang berjaga di depan pintu masuk hotel.

"Baik, Tuan!"

Revan mengangguk samar lalu melanjutkan langkah yang sempat terjeda sambil menggenggam telapak tangan Ayra. Sepanjang mengikuti Revan dari belakang, mata jernih Ayra tiada henti dibuat terkagum-kagum akan kemewahan bangunan ini.

"Kita tinggal di mana, Mas?" lontar Ayra ketika memasuki lift bersama Revan.

"Di sini."

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now