Manja

4 3 0
                                    

Tunangannya tak pernah terlihat lagi setelah penolakan cincin membuat Ayra melupakannya karena akhir-akhir ini waktunya dihabiskan bersama Revan.

"Udaranya segar, aku suka," kata Ayra sesekali menoleh kanan, kiri, melihat lalu lalang suster.

"Beda banget ya, udara di dalam ruangan sesak bau obat kalau di luaran kayak gini udaranya enggak terlalu bau zat kimia, kecuali beberapa persen saja," sahut Revan seraya mendorong kursi roda yang istrinya duduki.

"Iya lho, pengap banget lama-lama di ruangan, jenuh juga tapi kok, kamu bisa tahu aku lagi jenuh?" lanjut Ayra kali ini mendongak menatap Revan.

"Baca ekspresi sama gerak tubuh kamu, cara itu paling mudah buat nebak siapa pun. Camilannya dimakan biar makin semangat kita keliling rumah sakit," balas Revan.

"Gitu ya. Aku enggak lapar, camilannya buat nanti saja kalau kita capek,"

"Boleh."

"Ay?" panggil Revan kala Ayra kembali meluruskan pandangan ke depan.

"Iya?"

"Bukain bungkus lolly, dong, saya pengen ngemut," pinta Revan.

"Kamu mau lolly?" tanya Ayra mendongak lagi.

Revan berhenti mendorong, menjatuhkan atensi balas menatap istrinya yang lugu.

"Kamu nanya? Iyalah sayang, kan barusan  minta tolong bukain cangkang permen," jelas Revan tanpa emosi.

"Permen apa Lolly? Aku bingung," ucap Ayra.

"Kiss saja,"

"Kiss itu ---"

Cup.

Ayra tertegun mendapat kecupan singkat dijatuhkan kebibir pucatnya. Revan mengangkat kepala dengan senyum terpatri.

"Barusan namanya kiss. Permen kemasannya imut-imut, kalau lolly, ini yang saya beli," terang Revan satu tangannya terulur mengambil dua lolly bergagang putih dari dalam plastik hitam di pangkuan Ayra.

"Buka mulutnya," suruh Revan disela membuka bungkus lolly cap kaki.

Ayra nurut menerima Lolly pemberian suaminya.

"Emut ya, awas kalau dikunyah nanti giginya sakit enggak ada yang bisa sembuhin kamu," peringat Revan sembari ngemut lolly miliknya.

"Kalau ini dikunyah giginya kenapa?" tanya Ayra mengeluarkan Lolly dari mulut menunjukkannya ke wajah teduh Revan.

Melakukan hal sama seperti istrinya, baru Revan menjawab. "Nanti giginya sakit. Peri gigi tukang ngobatin lagi pensiun makanya saya ingatin kamu, lolly-nya diemut saja."

"Peri gigi? Mau ketemu dong!" beo Ayra tertarik dengan sosok tersebut.

"Eh! Aneh-aneh, jangan ah, peri giginya beda alam, tinggalnya di atas langit, sulit ditemui," sanggah Revan menolak keinginan istrinya.

Lagi pula peri gigi kiasan tertentu untuk dokter di bidang tersebut. Revan hanya berucap asal mana sanggup memenuhi permintaan Ayra yang notabene nya sehat tak punya riwayat sakit gigi.

"Di atas langit jauh banget padahal aku mau lihat. Peri itu pasti cantik ada sayapnya bisa terbang lihat-lihat kita semua dari atas sana," murung Ayra merundukkan kepala.

"Aduh jangan sedih, peri gigi pasti turun ke bumi, kok," celetuk Revan tidak tega melihat istrinya menekuk wajah.

"Iyakah?"

"Iya, tapi enggak tahu kapan turunnya." Pungkas Revan.

   Sekeluarnya dari lift melewati lantai tiga dan dua, pasangan itu menelusuri lantai dasar yang ramai oleh pengunjung rumah sakit.

Karenamu (End) tahap revisiWhere stories live. Discover now