Berlalu acuh

9 5 0
                                    

Di samping kebahagian Ayra, ada Alesya dilanda frustasi setelah Diego merenggut paksa mahkota yang selama ini dijaga dan dipertahankan kesuciannya hanya untuk Revan seorang.

"Semua hancur!" teriak Alesya meluapkan kemarahannya, tertekan di bawah kesedihan.

Satu tangannya tiada henti menggoreskan ujung cutter ke kulit lengan lainnya, darah mengucur dari bekas sayatan menetes mengotori dress merah selutut yang dipakainya.

Berpadu isak tangis kepedihan dan perih menerima luka buatan di tangannya, beberapa detik selanjutnya Alesya menjerit penuh kesakitan.

Sinta terperanjat kaget mendengar suara lengkingan kuat berasal dari kamar putrinya. Membawa perasaan cemas, berlari menaiki tangga menuju kamar Alesya.

"Alesya, buka pintunya sayang! Ini kedua harinya kamu mengunci diri di dalam tanpa makan dan minum, cepat buka! Mama takut kamu kenapa-napa!" panik Sinta mengetuk-ngetuk pintu kamar.

Kepanikan Sinta semakin memuncak, dari dalam sana, putrinya merintih kencang disertai suara lemparan barang menghantam lantai.

"Alesya, Mama mohon buka pintunya!" teriak Sinta makin brutal mengetuk daun pintu yang sama sekali tak kunjung dibuka.

"Kenapa Mama teriak-teriak? Ini masih pagi, tidak enak didengar tetangga!" tegur papanya Alesya baru selesai sarapan, menghampiri istrinya.

Sinta berbalik tubuh memeluk erat suaminya mengkhawatirkan kondisi putri sematanya di dalam sana.

"Alesya, Pa ... Putri kita menjerit-jerit tanpa mau membuka pintu," beritahu Sinta dengan suara bergetar.

Pria berjas abu melepas pelukan istrinya, melangkah maju bergantian mengendor-gendor pintu kamar Alesya.

"Sayang, ini Papa! Buka pintunya!" perintah Gumolo dengan nafas saling mengejar membayangkan sesuatu buruk terjadi pada putrinya.

Pintu tidak ubah dari sebelumnya membuat Sinta menangis semakin kencang, isi kepalanya berspekulasi atas beberapa kemungkinan buruk menimpa putrinya. Gumolo mengambil ancang-ancang siap mendobrak, lalu dalam hitungan jari, Pria itu mendobrak pintu sekuat tenaga dengan bahunya.

Brak!

"Alesya!"

Bertepatan pintu terbuka lebar, Gumolo mendapati putrinya tergeletak pingsan di bawah lantai, sebelah tangannya bersimbah cairan merah pekat mengucur menodai lantai.

***

Jantung Rere seakan jatuh dari tempatnya mendapat kabar buruk dari teman arisannya memberitahukan bahwa menantu paling diidam-idamkannya masuk rumah sakit.

"Ta--Tasya!" teriakan Rere seiring terkurasnya tenaga.

Saking tidak percayanya atas kabar ini, tubuh Rere lemas kehilangan kekuatan menopang diri sehingga jatuh terduduk di sofa.

"Mama!"

Gadis berseragam itu menjatuhkan tas sekolahnya ke lantai, berlari cepat menghampiri.

Atmaja yang sedang menyantap makanannya bergegas bangkit meninggalkan meja untuk mendekati teriakan istrinya.

"Tasya, apa yang terjadi?" tembak Atmaja, kekhawatiran mendominasi wajah tegasnya mendapati istrinya terkulai lemah.

"Aku juga enggak tahu Pa!" jawab Tasya menggeleng keras.

"Cepat ambil air putih!" suruh Atmaja kepada putrinya.

Tasya beranjak ke dapur mengambil segelas air putih, dan kembali memberikannya kepada Papa.

Sedikit-sedikit Atmaja memberi minum Rere yang nampak sangat syok oleh sesuatu. Bukannya membaik Rere justru pingsan karena terlalu kaget akan Alesya masuk rumah sakit.

"Papa, kenapa Mama bisa pingsan?" tanya Tasya berada diambang cemas.

"Hubungi Abang dan Ayra untuk segera ke sini!" pinta Atmaja tak terbantahkan.

Tasya merogoh saku seragam ingin mengambil benda perseginya, namun malah mendecak kesal merutuki kebodohannya ketika ingat bahwa ponselnya ada di dalam tas.

***

[Cepat Bang, mama pingsan, aku tunggu!]

Tut!

Revan menurunkan ponsel yang menempel sejenak ditelinganya, menatap cemas layar ponsel yang menampilkan foto Ayra sengaja dijadikan wallpaper utama.

"Wanita cantik kemarin malam yang tidak diperbolehkan kenalan denganku oleh Revan. Berhubung temanku sedang angkat telpon ... kenalkan, namaku, Skala Anggala," celoteh Skala memasang wajah bersahabat seraya mengulurkan tangan.

"Aku, Ayra," ragu-ragu menanggapi uluran tangan Skala.

"Dan, tanganmu sangat halus, kau tipe istri idaman," puji Skala memandang cerah teman barunya.

"Terima kasih," ucap Ayra perlahan menarik tangan menyudahi jabatan.

"Lalu ... aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?" tanya Ayra meminta saran.

"Kala saja, itu lebih simpel," jawab Skala. "Berkeliling dunia adalah cita-citaku," lanjutnya.

"Kenapa ingin keliling dunia?" tanya Ayra sedikit ingin tahu.

"Agar terkenal masyarakat dan masuk televisi," jawab Skala, jujur.

"Cocoknya kamu bukan keliling dunia, tapi keliling planet dan populer di kalangan alien," timpal Ayra berkelakar.

"Saran yang bagus! kita tamasya bareng-bareng ke planet terus honey moon di bulan. Betapa romantisnya memadu kasih di atas bulan," gumam Skala berangan-angan, menghiraukan kehadiran teman lamanya.

Ayra menahan tawa, geli dengan lelucon Skala katakan, bisa-bisanya Skala berangan-angan memadu cinta di atas bulan bahkan Revan yang menyandang status suaminya saja tidak serandom ini.

"Kenapa ketawa? Penasaran'kan ingin mencoba baku hantam di atas bulan? kalau minat, aku bisa menemanimu, honey moon di atas sana, kita buat anak campuran planet mars," goda Skala melirik Ayra dengan tatapan jenakanya.

"Dasar kamu, siapa juga yang penasaran? Lagian aku sudah nikah, enggak ada ya, honey moon sama Kala super star kayak kamu," tepis Ayra terlalu asyik bercengkerama dengan Skala.

"Kala super star? Apa itu panggilan khusus untukku?" beo Skala.

"Bukan ish ... Itu panggilan asal yang kebetulan lewat di kepalaku," elak Ayra memberi alasan.

"Mirip bintang jatuh saja karena kebetulan melintas," gumaman Skala ditanggapi tawaan ringan Ayra.

Menyimak obrolan antara teman dan istrinya, tanpa sadar Revan menggenggam erat ponselnya, berbalik diri mendekati dua insan tengah asyik mengobrol di bangku lobby, siang ini.

"Ay, barusan aku dapat telpon dari Tasya, mama pingsan. Sekarang papa minta kita berdua untuk segera ke rumah," lapor Revan memasang wajah sulit di definisikan.

"Tante Rere pingsan?" tanya Skala memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.

Bukannya menjawab, Revan justru hanya melirik sebentar memilih mengeratkan perasaannya yang dilanda cemburu terhadap Skala dengan begitu sangat mudahnya akrab membahas hal-hal random bersama Ayra.

"Iya, Kala."

Bukan, bukan Revan yang menjawab, tapi Ayra. Skala manggut-manggut. Perempuan berdres putih tanpa lengan yang panjangnya setengah kaki itu bangun dari tempatnya duduk, terlihat khawatir.

"Aku lupa bawa handphone, tunggu ya, Mas, aku ambil du--" ucapan Ayra dipotong cepat oleh Skala.

"Kau sedang terdesak, pergi saja nanti aku antarkan ponselmu ke rumah. Aku akan masuk ke dalam meminta bantuan seorang pelayan di sini untuk bantu mengambilkan ponselmu, di kamar?" Ayra hanya mengangguk setuju atas ide Skala.

"Ya sudah, Mas, ayok, kita ke sana," ajak Ayra berniat mengambil tangan Revan untuk digenggam, tetapi Revan berlaku sebaliknya mengacuhkan dan berlalu pergi begitu saja.

Karenamu (End) tahap revisiOnde histórias criam vida. Descubra agora