1

23.4K 1.9K 66
                                    

Hidupku penuh aib. Barangkali itulah kalimat pembuka yang sesuai menggambarkan kondisiku. Aib. Hal-hal memalukan. Itulah definisi kehidupan milikku. 

Bagi orang lain aku tidak ada bedanya dengan manusia pemalas, tidak bisa membanggakan orangtua, sarjana pengangguran, dan perawan bangkotan. Dalam berbagai kunjungan keluarga sudah pasti aku akan menjadi topik pembicaraan panas yang pantas dibandingkan dengan gadis sukses—anak-anak gadis mereka, para saudara, yang berhasil bekerja sebagai PNS maupun sukses merayu pria kaya.

Sejujurnya aku pun sudah lelah dengan diriku sendiri.

Setiap kali ibuku mulai bercerita mengenai anak gadis tetangga yang lebih dahulu menikah sebelum diriku dan beberapa bulan kemudian hamil, maka hati ini seolah tersayat-sayat. Ujung-ujungnya aku pasti merasa marah dan berkata, “Ibu, maaf karena mendapat putri yang tidak bisa memenuhi ekpektasimu. Kadang aku berharap Ibu mendapat putri lain yang bisa memenuhi doa-doa dan harapanmu.” Dengan kata lain, aku ingin menghapus keberadaanku dari dunia yang sepertinya tidak masalah bila ada satu orang manusia yang lenyap. Ibu setelah mendengar ucapanku pasti akan menampilkan wajah kecewa, kemudian kesal, dan berlanjut ke acara ceramah:

“Kau kenapa tidak bisa memahami Ibu? Selalu mengucapakan hal-hal yang tidak enak didengar telinga. Apa kau tidak bisa bersikap seperti manusia normal?”

Bisa saja aku menjelaskan penyebab diriku tidak bisa bertindak normal. Namun, ada keraguan yang terbit dalam diriku. Bisakah orangtuaku memahami bermacam keresahan yang setiap malam mampir? Jangankan bicara dari hati ke hati, setiap bertatap muka beliau pasti menceritakan mengenai bayi, kesuksesan orang lain, dan pada akhirnya serangan lisan: “Kapan kau menyusul?”

Hari ini pun beliau tidak bosan melontarkan pertanyaan dan berceloteh mengenai acara syukuran kehamilan orang lain. Seolah aku WAJIB mematuhi rutinitas manusia menikah, hamil, dan membesarkan anak. Andai saja aku normal, maka mungkin aku bisa mengamini permintaan beliau.

Sayang aku bukan perempuan jelita, pintar, dan kaya raya. Aku tidak bisa mewujudkan ekspektasi dan mimpi gemilang yang beliau lemparkan kepadaku. Bahkan setelah aku berhasil memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan minat pun beliau hanya peduli pada uang yang selalu habis dipakai memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tidak terhitung berapa lama aku duduk di depan layar laptop. Sibuk merapikan kata per kata, mencoba menyusun kalimat menjadi paragraf yang menarik, kemudian menerbitkannya dengan harapan ada seseorang yang bersedia melirik artikel tulisanku. Pinggangku terasa sakit. Kedua mata berdenyut-denyut. Sejenak aku melepaskan jemari dari papan ketik, menghela napas secara perlahan, dan mulai mempertimbangkan lowongan pekerjaan lain yang bisa menutupi pengeluaran bulanan.

Alih-alih ide tercetus, justru kalimat Ibu terngiang-ngiang dan membuatku mual.

Sendirian di kamar. Hanya berkawan suara jangkrik yang kemungkinan tengah berdiskusi mengenai invasi ke rumah tetangga dan mengajak kecoak membangun negeri republik serangga. Aduh, apa sih yang aku pikirkan? Oh, ide dan pekerjaan. Ya, tidak ada apa pun yang tercetus di kepalaku selain menuliskan artikel dan mengerjakan pekerjaan sampingan yang hanya dihargai beberapa lembar uang. Tidak banyak, tetapi lumayan.

Aku mendongak, mengamati sarang laba-laba di pojok ruangan. Makhluk mungil yang satu itu terbilang keras kepala. Beberapa hari yang lalu aku yakin sudah membersihkan sarangnya, tetapi dia justru kembali membangun rumah. Barangkali dia berpikir aku butuh teman. Oleh karenanya, dia, si laba-laba mungil, memutuskan mengorbankan kebebasan dan kenyamanannya demi menghilangkan kejenuhan pikiranku.

Di belakangku berjejer rak berisi bermacam buku mulai dari novel, puisi, makalah, bahkan buku yang membahas sejarah gelap raja di dunia. Udara malam ini tidak terlalu menggigil, sedikit hangat dan menyenangkan. Berbanding terbalik dengan suasana dan isi kepalaku yang kacau balau.

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now