70

2.2K 324 11
                                    

Semua gadis yang dicekoki oleh pesuruh Vincent tengah sekarat. Mereka tergeletak di atas materai sihir. Masing-masing memiliki materai sihir berupa lingkaran yang ditulisi dengan darah pendeta. Simbol-simbol pemanggil yang merepresentasikan kejahatan, kemarahan, dendam, dan iri hati tergambar jelas. Sepuluh materai sihir yang ditempati oleh setiap gadis mengelilingi satu lingkaran utama yang terletak tepat di tengah.

Ketika melakukan sesuatu, Vincent tidak setengah-setengah. Di bawah naungan langit malam, sepuluh penyihir bersiap menumbalkan diri. Tentu saja kesepuluh penyihir itu haruslah pemuda lajang dan belum pernah melakukan hubungan intim. Mereka tidak sebodoh itu hingga sukarela menyerahkan nyawa demi kepentingan Vincent. Setiap penyihir dipaksa melakukan sumpah darah. Vincent menangkap dan memenjarakan orang-orang penting dari kesepuluh penyihir. Bila ritual telah dilakukan, maka Vincent akan membebaskan tawanan.

Berbeda dengan manusia biasa, penyihir jauh lebih sukar diatur. Mereka bahkan mengajukan sumpah darah sebagai jaminan. Vincent tidak keberatan, orang-orang yang ia tawan nanti akan dibebaskan dalam kondisi gila. Dia tidak akan mengambil risiko membiarkan saksi berkeliaran dan membahayakan posisi serta rencana besarnya.

Para penyihir mulai menyabetkan belati ke pergelangan tangan. Darah mengalir membasahi materai sihir. Rapalan mantra mulai dibacakan oleh mereka; serentak, padu, menjadi satu dalam harmoni. Udara makin mendingin hingga nyaris membekukan—terasa menusuk sampai ke tulang.

Kelompok Khosrow berada jauh dari jangkuan pengaruh sihir. Mereka menyaksikan ketika cahaya ungu berpendar di bawah pijakan para penyihir. Alam seolah memperdengarkan suara degup jantung. Hawanya terasa menekan hingga tidak ada satu orang pun selain para penyihir yang berani bersuara.

Cahaya semakin menguat, memperjelas aksara pemanggil yang tertulis pada  setiap lingkaran.

Kabut perlahan menebal. Anehnya kabut hanya mengelilingi tubuh para gadis. Serentak terdengar teriakan bercampur lolongan. Suaranya begitu memilukan hingga siapa pun merasa ajal sedang berderap mendekat. Tanah bergetar, memunculkan rekahan. Tangan-tangan pucat terjulur keluar dari celah rekahan. Tanpa ragu mencengkeram tubuh para gadis dan menariknya ke dalam rekahan, menelan mereka dalam kegelapan.

Semua orang menelan ludah. Barangkali mereka senang karena tidak menjadi bagian dari yang ditumbalkan.

Vincent menyaksikan setiap proses dalam luapan euforia. Tidak ada penyesalan. Murni dorongan kesenangan belaka.

Sekali lagi terdengar lolongan memilukan, persis teriakan seorang wanita. Suara itu membuat semua orang, kecuali Vincent, berjengit. Langit yang seharusnya menampilkan kerlipan bintang pun mendadak berubah; seakan bintang bergetar dan akan runtuh menimpa siapa pun.

Ya, bintang akan jatuh. Sesuatu melesat turun dari langit. Cahayanya amat terang hingga nyaris membutakan. Lantas terdengar suara jerit kematian yang berasal dari para penyihir. Kesepuluh penyihir menjadi sasaran kemarahan bintang. Jantung mereka ditusuk oleh sengatan terang—jauh menembus rongga dada hingga menancap ke tanah. Cairan merah membasahi cahaya—mengubah kilaunya menjadi merah meradang.

Hanya ketika semua penyihir mati, maka amarah para bintang mereda.

Apa sudah usai?

Belum. Jauh dari kata usai.

Sekali lagi guncangan terjadi. Kali ini amat kuat hingga membuat semua orang tiarap. Dari dalam materai sihir menyeruak para monster. Mereka tidak seperti apa pun yang pernah dijumpai oleh manusia. Dalam beragam wujud terburuk yang bisa dijumpai siapa pun dalam mimpi terburuk, parade monster pun bersiap menguasai langit. Mereka melolongkan nyanyian sukacita. Lagunya amat menyayat sampai membuat genderang telinga orang-orang yang menjadi saksi ritual pun berdarah.

Tidak ada habisnya. Bermacam monster menampakkan diri. Mereka, para monster, hanya peduli dengan gelora kesenangan yang merambat. Mayat para penyihir pun ramai-ramai dijadikan sebagai jamuan. Tidak ada yang tersisa dari diri para penyihir.

Jantung Vincent berdegup kencang. Darah seolah mendidih hanya karena menyaksikan para monster yang kini mulai menyebar.

“Sepupu,” kata Vincent, dingin, “selamat menikmati hadiahku.”

***

Kemarahan, dendam, iri, dengki.

Semua sifat buruk yang melekat pada Petaka tidak bisa dimurnikan oleh apa pun. Petaka terbentuk selama berabad-abad, menanti seseorang memberinya makan kemudian melepaskannya ke dunia dalam wujud monster.

Apa pun yang Petaka sentuh, maka kehidupan akan meleleh seperti salju tersentuh cahaya pertama musim semi. Petaka telah lama menanti. Dia menanti, menanti, dan terus menanti dalam tidur tak berkesudahan. Seolah waktu sama sekali tidak memiliki bentuk. Dia memiliki kesadaran, tapi selalu saja ada kabut yang menyelimuti kesadarannya. Dulu dia terbiasa menelan apa pun yang manusia lemparkan ke mulutnya. Sekarang pun masih begitu.

Petaka mencium bau darah dan dia menyukainya. Rasa lapar bergemuruh, menuntut dipuaskan. Maka, ia pun menerima dengan senang hati persembahan pertama yang ditawarkan manusia kepadanya.

Pada masa kehidupan pertama Petaka hanya berupa sebutir kerikil. Dia menyerap emosi makhluk mana pun. Andai pertama kali yang menyentuh dirinya ialah kasih sayang, mungkin Petaka akan memiliki wujud menyenangkan. Namun, dia tidak mendapatkan hal semacam itu. Hanya kebencian, dengki, kekecewaan, dan segala macam hal menyakitkan serta menjijikkan yang menyirami dirinya; memberinya nutrisi sekaligus meracuninya. Perlahan dia tumbuh menjadi sekumpulan mimpi buruk.

Tidak ada wujud yang pasti. Petaka mewakili segalanya. Dia terbagi menjadi sekian kepingan. Satu keping membagi dirinya ke dalam kepingan baru, tersebar dan menyatu, berbeda tapi serupa.

Bahkan dewi yang pernah memerangkap Petaka ke dalam tidur panjang pun harus menyerahkan kemuliaannya; jatuh ke dunia, kehilangan kesaktian, dan pudar dari ingatan siapa pun yang memujanya. Sekarang Petaka menyorakkan kesenangan atas kebebasan.

Petaka mengembangkan sayapnya, memberi perintah kepada pecahan dirinya agar menyebar ke mana pun. Dia tidak peduli. Keping-keping Petaka bebas berpesta dan memangsa apa pun. Petaka meraung, melolong, melontarkan kata-kata penghibur kepada dirinya sendiri.

Lipan-lipan merah merayapi pepohonan, menyuntikkan racun, dan mematikan pohon. Satu demi satu pohon apel yang ditanam oleh pekebun pun mati; mengerut, kurus, dan hanya terlihat seperti sarang laba-laba pemakan burung. Ngengat darah terbang di sekitar ternak. Serangga itu menancapkan belalai, menembus kulit, dan mengisap habis darah binatang yang ia incar. Sapi melenguh, mereka berkelejotan, jatuh ke tanah, kemudian mati.

Udara terasa makin dingin hingga permukaan daun pun dilapisi es tipis. Burung hantu memilih menyembunyikan diri dalam sarang. Namun, makhluk itu tidak tahu bahwa ada ribuan laba-laba pemakan daging yang mulai merayapi pohon. Terdengar suara jerit kesakitan ketika segerombolan laba-laba sebesar talapak tangan manusia dewasa masuk ke sarang burung hantu. Mereka bekerja dengan cepat; mencabik, menancapkan taring, dan mengerumiti tubuh burung hantu. Pohon pun dilapisi sarang laba-laba yang berkilau seperti benang sutra.

Para manusia masih terlelap. Mereka masih belum sadar bahwa Petaka mulai melebarkan jaring ke setiap sisi. Siap memberikan ajal.

Sesuatu bergolak dalam sumur. Seperti gumpalan lumpur. Gelembung-gelembung pecah dari permukaan gumpalan tersebut. Aroma busuk menyebar. Lantas tanah di sekitar sumber air itu pun mengering.

Petaka tertawa. Dia tidak pernah merasa sesenang ini.

Selesai ditulis pada 3 Maret 2023.

Halo, teman-teman.

:”) Makin horor, ya?

Hiks.

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now