18

8.9K 1.5K 44
                                    

Alex Aveza menyambut perayaan pembantaian dengan sukacita. Tidak ada ketakutan maupun rasa waswas. Murni semangat unjuk gigi yang membuncah hingga rasa-rasanya dia takkan heran bila api meletup dari dalam genggaman tangan. Begitu keluar dari wagon, menjejakkan kaki ke tanah yang berselimut rumput liar, dan memperhatikan sekitar; hasrat seorang petarung pun semakin menggelora. 

Perayaan pembantaian, nama yang Alex pilih guna mendeskripsikan ajang memburu monster di Hutan Bencana. Pilihan tepat, pikirnya. Bahwa tidak seorang pun peserta memperlihatkan kesantunan ketika memutuskan menghunjamkan senjata ke tenggorokkan lawan. Berburu seperti Zeptuz, dewa perang, yang mengincar kepala musuh. Kegilaan berdarah yang menitis pada setiap manusia berbakat perang. Hanya ada keharusan menyalurkan gelora dalam wujud pertempuran. Inilah salah satu alasan Kerajaan Damanus mengadakan pembantaian di Hutan Belantara; sebuah upaya menekan letupan energi dalam darah penerima berkat.

Acara diselenggarakan tepat ketika matahari bersinar terang di langit. Semua perwakilan berkumpul di luar dinding pelindung. Bukan sembarang dinding, melainkan dinding yang terbuat dari tulang gajah suci. Bahan yang dipilih oleh saint terdahulu yang kemudian disempurnakan oleh Saint Magda sebagai penghalang agar pengaruh kejahatan dari Hutan Bencana tidak menjalar di dunia luar. Terperangkap selama sekian tahun, kemudian penghuni Hutan Bencana berakhir sebagai bahan adu pembuktian.

Kuda-kuda mendengus, mulai merumput dan mengabaikan kerumunan manusia yang bersiap memasuki Hutan Bencana. Raja Rudolph duduk di atas punggung kuda. Dia memiliki rambut hitam yang disisir rapi, memperlihatkan sepasang mata berwarna merah darah. Jubah dari bulu macan salju tersampir di bahu, memamerkan seragam merah yang ia kenakan.

Alex tahu bahwa Raja Rudolph terkenal sama tangguhnya dengan Armand Aveza. Keduanya, Armand dan Rudolph, pernah melakukan duel pedang yang berakhir seri semasa belia. Tidak ada satu pun kesatria, pada masa itu, yang cukup gila menantang Armand maupun Rudolph ketika kedua lelaki itu dalam kondisi apa pun. Terkecuali segelintir orang yang menyukai pertumpahan darah.

Di antara kerumunan, Alex bisa mengenali keberadaan Rayla. Pemuda itu tengah berdiskusi dengan Count Veremon. Busur silang terpasang di punggung, lengkap dengan anak panah.

“Aku ingin lekas pulang,” Alex mengeluh. Kuda jantan berwarna hitam yang akan dia tunggangi sedang mengalami pengecekan terakhir. Berkali-kali berusaha menggigit jari seseorang. Berkali-kali seseorang mengumpat karena hampir kehilangan jari. “Ayah, perwakilan Kuil Gihan belum hadir.”

Bahkan Putra Mahkota pun sudah bersiap di samping kuda jantan berwarna cokelat tua. Kebanyakan pemuda seusia Alex, pemuda dengan bakat perang, telah siap. Hanya orang-orang dari Kuil Gihan saja yang belum tiba.

“Mereka akan datang,” Armand menjawab. Sama seperti Raja Rudolph, dia pun mengenakan seragam. Sekarang dia berdiri tepat di samping Alex, sekali-kali menilai saingan putranya. “Tidak mungkin mereka undur diri. Perwakilan akan selalu siap menerima tantangan.”

Di otak Alex hanya ada pikiran mengenai Ruby. Di luar dugaan Carlos menolak kembali ke Provinsi Zubar. Begitu mengenal Ruby pria tua itu mencetuskan ide mengajak sang cucu tinggal bersama. Ide yang membuat Alex maupun Pearl kebakaran jenggot.

“Ayah, coba usir Kakek,” Alex memohon. “Gara-gara dia aku tidak bisa menghabiskan waktu bersama Ruby.”

Waktu berkualitas telah lenyap. Setiap usai berlatih pedang, Alex selalu mencari Ruby. Dia ingin menggendong dan mengajak gadis cilik itu jalan-jalan sore ataupun minum teh bersama. Usaha yang selalu gagal karena Carlos telah terlebih dahulu mengajak Ruby. Aveza tua yang menikmati masa tenang bersama kedua cucu perempuan.

Armand bersedekap, kerutan muncul di kening ketika dia mendengar permintaan Alex terkait keberadaan Carlos. “Anak Nakal,” katanya. “Bagaimana mungkin aku sanggup melawan ayahku?”

Tiba-tiba Alex merasa senasib dengan Armand dalam cara berbeda. Dia pun merasa kalah setiap kali bersaing menyuapi Ruby. Armand selalu menjadi pemenang. Selalu. “Ayo, Ruby. Biarkan Paman menyuapimu.” Begitulah yang Armand katakan setiap kali acara makan.

Di saat Alex hendak melontarkan kemalangan terkait penderitaan seorang putra, terdengar suara arakan. Kuda mendengih, bunyi roda menggilas tanah, dan teriakan kusir. Kereta kuda berwarna putih tengah dikawal oleh sepuluh penunggang kuda. Salah satu di antara penunggang kuda adalah seorang pemuda sepantaran Alex. Mereka mengenakan jubah putih, kecuali si pemuda yang mengenakan pakaian berburu. Begitu arakan berhenti, salah satu penunggang kuda membantu membuka pintu wagon dan mempersilakan seorang wanita berjubah putih muncul.

Saint Magda. Pendeta suci yang berhasil menduduki posisi saint usai Pendeta Sofia memutuskan mundur dari persaingan. Rambut pirang bergelombang yang seperti madu, sepasang mata biru, dan wajah berbentuk hati. Secara garis besar, Saint Magda merupakan wanita menarik. Dia langsung berjalan menuju Raja Rudolph yang telah turun dari punggung kuda. Di kejauhan Alex bisa menebak bahwa Saint Magda tengah memberi salam.

Kedatangan Saint Magda adalah untuk membuka gerbang Hutan Bencana. Hanya pendeta maupun penyihir yang mampu menggerakkan gerbang. Membuka gerbang sembari menahan monster agar tidak lepas merupakan pekerjaan berat. Bukan hanya pendeta, melainkan sejumlah penyihir pun disiagakan.

“Ayah,” Alex memanggil. “Bocah yang menjadi perwakilan paladin terlihat aneh.”

Pandangan Alex terpaku kepada pesaingnya. Entah mengapa dia menganggap bocah kuil sama berbahaya sekaligus menjengkelkan seperti Putra Mahkota Sislin. Intuisi Alex selalu memberi peringatan dan jarang salah. Moto utama Alex ialah, jangan abaikan firasat apa pun.

“Aku tidak suka dia.”

“Kau tidak pernah menyukai siapa pun selain keluargamu,” Armand membalas. “Sebentar lagi pertarungan akan dimulai. Ayah sarankan cari monster dengan bulu lebat. Ruby pasti senang bila kau memberinya karpet baru.”

Kedua Aveza itu tidak sadar bahwa Ruby hanya menyukai pria berpenampilan menarik.

“Aku ingin mencari monster yang memiliki bulu emas,” Alex menyenandungkan impian kecil miliknya. “Sebisa mungkin warnanya menyerupai bulu anak ayam.”

“Alex, aku tidak yakin ada monster seperti itu.”

“Pasti ada.”

*

Begitu Saint Magda membuka gerbang dan mempersilakan peserta masuk ke dalam Hutan Bencana, Viren bergegas melesat ke pedalaman. Dia tidak peduli dengan peserta lain yang sama mengerikannya dengan dirinya dalam hal bertarung. Satu-satunya fokus Viren hanyalah memburu monster terkuat agar bisa diakui sebagai pemenang.

Hutan Bencana memang bukan sekadar julukan belaka. Pohon-pohon di Hutan Bencana memiliki wujud raksasa. Batang tebal, kulit gelap berlumut, daun-daun lebat yang menghalau curahan sinar matahari, dan udara berbau lembap. Tempat terbaik bagi monster berkembang biak.

Begitu masuk ke inti luar dari Hutan Bencana, seekor monster burung seukuran anjing mencoba menyerang Viren. Lekas Viren meraih pedang dan menebas, dengan tepat, leher si monster. Makhluk itu langsung jatuh terkapar di tanah, terjerembap bersama lumpur dan sampah daun.

Monster burung serupa pun muncul dan mengincar Viren. Suara KWAA KWAA KWAAA terdengar nyaring. Darah hitam membasahi bahu dan tangan. Sebagian darah menempel di wajah. Benar-benar tampilan sempurna bagi seorang pembantai.

Pembantai dari Kuil Gihan.

***
Selesai ditulis pada 3 Juni 2022.

***
Maaf Ruby molor. Bagi teman-teman yang menunggu Deborah, hmmm molor juga karena saya belum dapat buku incaran dan itu ngaruh ke semangat nulis Deborah. :”) Hahahahahahaha. Saya pengin buku itu! (Menangis siang dan malam.)

Oh ya, tolong kasih tahu misal ada typo dan salah informasi. Saya nggak melakukan pengecekan dan langsung publish.

:”) Dah itu saja.

Salam hangat,

G.C
P.S: Meski tahu ada 3 cerita belum tamat, tapi otak saya justru ngasih ide tulisan baru. (Menangis!)

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now