56

4K 897 20
                                    

Bocah macam apa yang berani merayu anak-kecil-sangat-kerdil-korban-kekurangan-gizi?

“Bisakah kau melupakan mereka?” pintanya dengan mata berkaca-kaca. “Kali ini mari kita hentikan lingkaran kelahiran sialan ini. Kau bukan ibu alam. Seberapa lama lagi kita akan terjebak dalam dilema sepanjang hidup?”

Sungguh omong kosong. Aku sama sekali tidak bisa menangkap inti pembicaraan. “Kembalikan Pearl dan Natalie,” tuntutku kepada Emir. “Mereka sakit. Nanti sakit.”

“Kau sampai kehilangan kemampuan berbicara layaknya bocah sakit,” ujarnya mengabaikan keinginanku. “Kita bisa saja melupakan manusia dan semua urusan perdewaan. Apa kau masih saja mementingkan manusia daripada perasaanku?”

“Aku tidak paham!”

“Berapa kali aku harus menyaksikanmu mati di hadapanku?”

Sontak gigilan dingin menjalari tubuh. Perlahan-lahan aku merasa seperti ada ribuan laba-laba mungil tengah merayap di sekujur tubuh, menancapkan kaki-kaki berbulu ke kulit dan meninggalkan noda merah gatal.

“Kau masih saja memilih orang lain,” katanya dengan nada suara amat pilu. “Sama seperti sebelumnya, kau akan mati dan aku harus merana seorang diri. Aku akan tertinggal di belakangmu, mencari jejak dan berusaha menemukan jalan keluar seorang diri. Sepantas itukah mereka, para manusia, daripada hubungan kita?”

Gila! Budak cinta? Aku?

“Pergi,” kataku sembari berusaha mengusir Emir dengan cara mendorongnya. Namun, sekeras apa pun usahaku mengenyahkan Emir tetap saja dia bertahan dan menolak enyah. “Kau menyakiti Pearl dan Natalie.”

“Aku ingin menyelamatkanmu dari keharusan menjalani kehidupan lainnya! Apa kau masih tidak mengerti? Aku yakin hanya ragamu saja yang berupa anak-anak, tetapi tidak dengan nalarmu.”

‘Gawat,’ kataku dalam hati. ‘Bocah ini tahu rahasiaku.’

Jantung bertalu seakan sanggup meledak kapan pun. Susah payah aku mempertahankan topeng kepura-puraan di hadapan Emir dengan harapan dia lekas pergi dan mengabaikanku. Entahlah.... Firasat dalam diriku memperingatkan agar tidak mengikuti permaianan Emir.

“Mari,” ajaknya sembari mengangkatku dalam pelukannya, “kita tinggalkan dunia manusia ini. Aku sudah muak melihatmu mati berkali-kali hanya demi menolong makhluk tidak tahu diri. Sudahi saja lingkaran penderitaan ini. Aku tidak peduli dengan Cerkho maupun yang lain. Kau harus kembali sebagai dirimu, bukan tumbal kebahagiaan orang lain.”

Air mata pun menggumpal di pelupuk mata. Tanpa bisa ditahan tangis pun pecah. Aku berusaha meraung dan memohon agar Emir melepaskanku, tetapi dia tidak mau mendengar permohonanku. Dia justru berjalan menjauh dari gazebo, semakin jauh, dan jauh hingga aku mulai terserang kepanikan.

“Ayaaah!” teriakku, nyaring. “Paman! Kakek!”

“Mereka bukan keluargamu,” kata Emir. “Semua orang yang ada di sini tidak berhubungan denganmu.”

Kedua tanganku mengepal. Aku berusaha mendaratkan pukulan secara serampangan. Emir tidak melawan maupun melarangku. Dia menerima begitu saja seakan setiap pukulan yang aku arahkan kepadanya itu sama sekali tidak berdampak apa pun terhadap dirinya.

“Lepaskan aku!” teriakku. “Pearl! Alex!”

“Kita akan pergi.”

“Lepaskan dia!”

Orang yang tidak pernah aku perkirakan akan datang justru muncul di hadapanku.

“Lepaskan dia,” Viren mengulangi perintahnya. “Sekarang!”

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now