43

5K 1K 34
                                    

Ung sibuk menghabiskan anggur dan beri yang dibawa Natalie. Mau tidak mau, dengan maupun tanpa kesukarelaan, gagak itu sepertinya tidak mempermasalahkan pemberian nama. Padahal nama merupakan doa, tetapi aku suka memanggil gagak dengan nama yang sama sekali tidak memiliki arti khusus apa pun. Hanya tiga huruf. U, N, dan G. Membentuk satu kata yang tidak memiliki makna maupun harapan. Nihil. Kosong. Barangkali suatu saat aku akan menemukan nama bagus, nama yang mengandung harapan dan kebaikan, bagi Ung. Namun, sementara ini aku akan memanggilnya dengan nama-yang-mengandung-tiga-huruf. Bukan permanane, hanya sementara saja. Ibaratnya masih bisa direvisi olehku ... suatu saat nanti.

“Nona, mengapa Anda tidak menghabiskan waktu di taman?” Natalie menyarankan. “Bukan hanya perpustakaan saja yang bisa Anda datangi atau kita pergi ke dapur dan mengintip masakan koki yang terbaru?”

Perpustakaan merupakan tempat ternyaman sekaligus aman bagiku. Di sini tidak ada Alex yang sibuk mengekoriku ataupun Pearl yang mengajakku bermain boneka tapi ujung-ujungnya aku yang dijadikan boneka; bersabar menghadapi Pearl memasang hiasan rambut dan segala kawannya. Alex sudah membaca sebagian besar koleksi buku yang berhubungan dengan Aveza, sementara Pearl lebih menyukai mendalami seni berpedang. Pearl makin mirip ibunya, Clare. Semoga saja di kemudian hari Pearl akan bersama Sislin, sesuai plot cerita, dan tidak berencana menyerangku.

Aku memilih duduk berselonjor ditemani Ung dan Natalie. Ada semangkuk anggur dan beri. Buku mengenai dongeng dewa dan dewi ada di pangkuan, menampilkan sejumlah makhluk bersayap yang tengah terbang di sekitar ular berkepala tiga. Ular itu, ular berkepala tiga, memiliki nama: Ragnok. Ular yang konon menjadi perwakilan dari Zan, dewa peri dan makhluk suci. Sisik Ragnok berwarna hijau tua, mata merah seperti delima, dan masing-masing kepala memiliki tanduk melengkung seperti milik domba.
Ung mengaok. Dia menunjuk gambar Ragnok dengan paruhnya.

[Ragnok mempersembahkan tiga kepala pendosa kepada Zen. Kepala pertama berasal dari manusia kikir yang mencintai uang. Kepala kedua merupakan perwakilan dari iblis yang ingin menghancurkan kehidupan. Kepala ketiga akan ditenggelamkan di Sungai Zamu, sungai milik Yula, dewi kematian.]

Menarik, pikirku. Ragnok akan menjadi kawan yang bisa diandalkan dalam keadaan genting. Bukan bermaksud menghina Ung, melainkan dalam pertempuran Ung tidak bisa melawan monster setinggi tiga kaki dan aku tidak mau ambil risiko mempertaruhkan nyawa. Sekarang aku belum memiliki musuh, tetapi bukan jaminan di masa depan orang akan selamanya baik denganku. Manusia itu makhluk yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi. Berdasar pengalaman sebagai budak kapitalis, sedia payung sebelum hujan tidak ada salahnya.

Lalu, Nicholas sudah pergi selama beberapa hari. Aku ingin dia kembali secepat mungkin! Barangkali karena naluri anak kecil dalam diriku terbiasa dengan kehadiran Nicholas, sehingga begitu dia tidak ada maka ... hmm naluri anak-anak ini benar-benar meresahkan dalam level yang mencemaskan.

“Nona, buku ini bisa membuat Anda bermimpi buruk,” Natalie memperingatkan. Dia merebut buku dariku dan menggantinya dengan cerita anak-anak. “Nah sebaiknya Anda membaca sesuatu yang bisa mencerahkan suasana hati Anda.”

Satu hal yang bisa mencerahkan suasana hatiku: Jaminan masa depan!

“Natalie, mau Ragnok,” aku merengek, menarik-narik rok Natalie dengan harapan dia bersedia mengembalikan buku yang kupilih. “Aku butuh!”

“Di sini hanya berisi mengenai makhluk-makhluk mengerikan. Nanti Anda bermimpi buruk.”

Satu-satunya mimpi terburuk yang paling aku takuti hanyalah bermimpi kembali ke zaman modern sebagai budak kapitalis! Tidak ada waktu bersenang-senang, hanya ada keseharian memikirkan mengenai cara mencari uang setiap hari. Itu jauh lebih mengerikan daripada melihat laba-laba maupun ular dalam buku ilustrasi! Bayangkan tekanan dan beban dari kerjaan! Lambungku sudah menjadi korban dan aku bisa bersaksi bahwa itu nyata menyakitkan.

“Uwaaaa, Natalie. Boleh. Ingin lihat,” aku memohon. Ung pun ikut mengaok seolah sepaham dengan keinginanku. “Nanti aku penasaran dan tidak bisa tidur.”

“Nona....”

“Tidak akan mimpi buruk,” aku mencoba menenangkan Natalie. “Kakek pasti boleh. Kakek pasti mengizinkan.”

Natalie benar-benar tidak mau mengalah begitu saja. Dia bahkan memberiku persayaratan, “Andai Lord tidak memperbolehkan Anda membaca buku ini, maka Anda harus menurut.”

Rencana bersantai di perpustakaan pun gagal. Aku terpaksa bersedia menerima permintaan Natalie. Kami berdua berjalan bergandeng tangan menuju ruang kerja, berhubung Armand sepertinya sibuk menyelesaikan sesuatu dan butuh bantuan ayahnya, maka tempat itulah yang terpikir pertama kali akan kami kunjungi. Sepanjang perjalanan melalui koridor, kesatria maupun pelayan yang berpapasan dengan kami sibuk memanggil namaku dan melambaikan tangan. Akhir-akhir ini mereka semakin menjadi dan mulai menjadikanku sebagai pusat perhatian. Padahal aku tidak ada apa-apanya dibanding Pearl. Dia mirip boneka porselen mahal.

Sampai di ruang kerja, Armand berhenti mengerjakan apa pun yang tengah ia geluti dan langsung menghambur ke arahku. Dia mengangkatku, menimang kemudian memeluk. “Ruby, kau pasti merindukan Paman.”

‘Salah,’ kataku dalam hati.

“Natalie, ada apa?”

“Nona Ruby ingin membaca buku sejarah mengenai monster dan makhluk suci,” Natalie menjawab pertanyaan Carlos. “Saya pikir Anda perlu mengetahuinya.”

Kerutan di kening Carlos pun bertambah dalam ketika mendengar penjelasan Natalie. Dia menatapku seolah mencoba menggali sesuatu yang penting. Namun, aku terlebih dahulu berkata, “Boleh? Ya?”

“Ruby,” kata Armand. “Apa yang ingin kaulihat di sana?”

“Ragnok,” jawabku tanpa ragu. “Dia besar.”

“Kaaak,” sahut Ung yang sekarang memburu biskuit yang ada di meja. Gagak ini benar-benar tahu cara menikmati waktu dengan cara makan.

“Ragnok,” lanjutku mencoba mencari dukungan, “Zan. Aku ingin lihat Zan!”

Ini karena aku meyakini bahwa dengan bantuan Zan, menolong Nicholas dan yang lain akan makin mudah. Sebenarnya aku memiliki misi lain. Sekarang bukan saatnya mengutarakan ide. Ini ada hubungannya dengan monster yang bersarang di sekitar Provinsi Neteru. Ragnok akan menjadi bantuan terbesar di kubu Aveza. Ayahku akan terlihat kereeeeeen!

“Kakeeeek,” aku merengek seimut mungkin. “Boleh baca?”

“Armand, aku akan menemani Ruby sementara kau selesaikan urusan dari Raja,” Carlos memberi mandat.

“Hei!” Armand bermaksud protes, tetapi Carlos telanjur meraihku dan memisahkan kami.

“Natalie,” kata Carlos. “Ruby akan bersamaku dan kau tidak perlu mengikuti kami.”

“Baik,” jawab Natalie mematuhi perintah Carlos.

Ung terbang melesat melewati Armand dan Natalie, langsung mengekor di belakang Carlos sambil mengoak nyaring seakan berteriak, “Tunggu aku! Perutku belum mencerna makanan dengan sukses. Nanti aku bisa kena serangan kembung tahu!”

Seperti itulah.

“Kakek, Ung,” tunjukku kepada Ung yang sekarang berhasil menyusul.

Carlos berhenti sejenak, mempersilakan Ung bertengger di bahu. “Namanya Ung?”

Aku mengangguk. “Uuuuung!”

“Kaaaak!” protes Ung sambil mengepak-ngepakkan sayap.

“Nama pemberianmu benar-benar indah didengar,” Carlos memuji, mengabaikan Ung yang kini mematuk cravat yang melingkari leher Carlos dan menarik-nariknya. “Kakek sungguh bangga denganmu, Nak.”

Cinta buta memang mengerikan.

Selesai ditulis pada 16 Agustus 2022.

Halo, maaf saya update satu cerita dulu. Hari ini suasana hati saya mendung dan bawaannya pengin mewek. Ini bukan karena pengaruh cuaca atau hormon, melainkan alasan lain. Nggak bisa curhat di sini. Hmmm. Hahaha makanya saya nggak ngantuk dan memutuskan menulis Ruby saja. Maaf ya kalau nggak rapi atau yah gitu.

Selamat membaca. I love you, teman-temanku.

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now