47

5K 1.2K 130
                                    

Tidak semua makhluk, bahkan dewa sekalipun, memiliki kesabaran menghadapi anak-anak. Zan paham bahwa menghadapi anak-anak, terutama yang sensitif, amatlah sukar. Ada anak-anak yang akan melempar barang dan berteriak ketika tantrum. Ada anak-anak yang suka berceloteh mengenai apa pun kepada siapa pun. Ada tipe anak-anak yang suka berlari tidak peduli kondisi dan situasi. Pada dasarnya semua anak-anak tetaplah menggemaskan dalam cara yang berbeda.

Kecuali bila anak-anak tersebut terkena pengaruh buruk. Suka menyakiti hewan, berkata jorok (yang Zan curigai akibat dari meniru orang dewasa bangsat), merebut mainan teman seolah hal wajar, dan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Semua itu, sikap buruk yang menurun pada anak-anak, pastilah akibat dari lingkungan dan pola asuh.

Ruby Aveza?

Khusus yang satu ini, bagi Zan, terlalu sensitif. Dia tidak keberatan ketika Ruby menangis. Lebih baik menghadapi anak kecil yang suka menangis daripada tipe perusak; gemar menyiksa kucing, membuat suara gaduh dengan cara memukul gerbang, dan meremehkan anak lain. Ruby termasuk dalam kategori bocah manis.

Seperti saat ini. Zan memangku Ruby dan membiarkan gadis cilik itu mengisap bunga madu. Ung mendarat di atas bunga matahari, sibuk membersihkan diri dalam siraman sinar matahari, dan mengabaikan pelototan sejumlah pixy yang ingin memamen sari bunga di sekitar bunga matahari.

Zan sengaja memilih duduk di bawah naungan pohon pir. Di sini, di Sevie, tidak mengikuti aturan waktu seperti di dunia manusia. Semua tergantung pada kehendak Zan. Bunga mawar bisa tumbuh pada musim salju. Pir, apel, buah apa pun akan memberikan buahnya setiap kali Zan berkehendak. Lalu, peri dan sejumlah makhluk hidup damai dalam perlindungan Zan.

“Merasa baikan?”

“Uuuung,” jawab Ruby sembari sesengukan. Ada seekor pixy merah muda yang hinggap di kepala Ruby. Beberapa pixy lainnya sibuk menghias rambut Ruby dengan jalinan bunga liar. “Lagi,” pintanya sembari mengayunkan bunga madu.

Zan menuruti keinginan Ruby. Sekuntum bunga madu dipetik oleh dua ekor pixy. Mereka menyerahkan bunga madu ke tangan Zan. “Silakan,” katanya dengan nada suara yang terdengar riang.

“Uuuu manis,” kata Ruby. Dia langsung mengisap sari bunga, lupa bahwa beberapa saat yang lalu sempat merasa terancam oleh pikiran bahwa Nicholas kalah tampan. “Zan?”

“Ya?”

“ZAN?”

“Kau boleh memanggil namaku ribuan kali dan aku tidak akan bosan.”

“Ragnok!”

“Mengapa kau ingin bertemu Ragnok?” tanyanya seraya mengusap kepala Ruby. Setiap kali bunga-bunga yang terjalin di rambut Ruby tersentuh tangan Zan, maka kuntum-kuntum tersebut akan mekar dan memendarkan cahaya. “Kau masih kecil dan tidak bisa menunggang Ragnok. Bagaimana kalau akan rekomendasikan salah satu unicorn atau pegasus? Sepertinya ada beberapa ekor yang singgah di Sevie.”

“Bukan untukku,” Ruby menjelaskan. Sekarang bunga madu jatuh ke pangkuan Ruby, sari bunga menetes dari putik dan menyebar ke pakaian Ruby. “Ayahku. Aku butuh Ragnok untuk ayahku!”

“Kau tidak takut melihat Ragnok?”

“Lebih takut melihat Bibi Aiya,” jawab Ruby dengan nada suara menggemaskan. “Dia suka memukul,” katanya seraya menirukan gerakan menghajar. “Pukul wajah. Pipiku. Ragnok tidak akan memukulku. Ada Zan! Zan baik! Zan tidak akan memukulku.”

Sesuatu dalam diri Zan seolah diremas-remas, sakit. Dia tahu bahwa manusia kadang bisa berbuat di luar nalar. Namun, menyakiti anak kecil termasuk dalam perbuatan yang tidak bisa Zan maafkan. Sebagai dewa para makhluk suci dan peri, Zan sama seperti seorang ayah yang mengayomi anak-anaknya.

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now