23

7.6K 1.4K 95
                                    

Carlos dan Armand memercayakanku kepada empat kesatria Aveza. Mereka dengan sabar menungguiku di taman. Jangan tanya nama taman, letak, dan sebagainya. Aku tidak tahu. Carlos dan Armand langsung berembuk dengan wanita siapalah begitu orang-orang aneh, orang tampan dan cantik yang memendarkan cahaya, lenyap. Jadilah sekarang aku berkeliaran bebas di taman. 

Nalar orang dewasaku ingin duduk diam dan tidak melakukan apa pun. Namun, jiwa balita dalam raga ini sangat BERSEMANGAT menjelajah. Sama sekali tidak peduli dengan permohonanku!

Nalar: Rebahan. Aku ingin rebahan.

SEMANGAT BALITA: Kyaaa bunga!

Nalar: Tu-tunggu!

SEMANGAT BALITA: BUNGAAAAA!

Nalar: Chotoooo matttteeeeee!

Kalah telak.

Mau tidak mau kesatria Aveza pun mengekoriku ke mana pun kaki si balita melangkah. Apa pun bisa menjadi tontonan menarik. Burung, kupu-kupu, bahkan sekelompok anak-anak berjubah putih pun bisa menarik perhatianku.

“Nona, Anda sebaiknya bermain di sini saja,” salah satu kesatria Aveza menyarankan. “Kita bisa mulai bermain naik kuda. Biarkan Mei yang menjadi kuda,” katanya sembari menunjuk kesatria berambut cokelat yang sepertinya tidak sependapat menjadi tunggangan balita. “Pasti menyenangkan.”

“Vas,” panggil Mei. “Kenapa bukan dirimu saja yang menjadi kuda?”

“Nona dengar? Ada kuda yang meringkik.” Vas mengabaikan protes Mei. Dia memilih merentangkan kedua tangan, memasang senyum cemerlang, dan berkata dengan nada membujuk, “Atau Anda bisa jalan-jalan sembari saya gendong?”

“Hei!”

Mendadak ketiga kesatria menyatakan keberatan. Mereka langsung berlutut di hadapanku sembari mempromosikan diri.

“Saya punya anak seusia Anda. Pasti saya paling berpengalaman dalam menggendong!”

“Nona, saya punya sertifikat menggendong anak-anak.”

“Sejak kapan ada sertifikat menggendong?” Mei menampik ide penggendong profesional. “Saya paling tampan. Anda pasti suka bersama saya.”

Bagiku Jarga masih yang tertampan.

Hmm baiklah, Armand juga tampan. Dia, kan, pamanku! Mana bisa aku ngiler dan memujanya dengan cinta? Tidak. Berbeda dengan Jarga. Dia mungkin masih lajang dan belum memiliki calon pendamping. Uhuhuhu tunggu aku sepuluh tahun lagi. Pasti saat itu aku sudah legal merayu Jarga.

“Huhuhuhu,” aku terkikik sembari menutup mulut dan memalingkan wajah dari para kesatria.

“Sepertinya suasana hati Nona Ruby sedang baik,” Vas berkomentar.

“Barangkali dia suka melihat bunga di sini,” Mei menimpali.

Apa pun yang mereka duga, salah. Aku sedang membayangkan berdiri di samping Jarga dan menjadi pengantinnya.

“Kotor!”

Teriakan.

Terdengar teriakan. Aku tebak dari nada suaranya teriakan itu merupakan milik bocah lelaki.

Kedua kakiku langsung melaju mencari sumber suara. Di belakangku para kesatria mengekor dan memberi peringatan bahwa bisa saja aku terjungkal bila tidak mau digendong oleh salah satu dari mereka.

‘Teruslah bermimpi,’ kataku dalam hati.

Di suatu sudut, tepat di bawah pohon yang tengah memamerkan buah-buah mungil berwarna oranye dan kuning, ada sekelompok anak bangsawan tengah mengerumuni pendeta muda. Pendeta itu kira-kira sepantara Alex. Berambut hitam dan ... aku tidak bisa menebak warna matanya.

“Kau pikir bisa hidup tanpa sokongan keluarga ningrat?” cemooh bocah lelaki berambut cokelat. “Jangan berani! Kami berbaik hati memberi sumbangan kepada Gihan. Kau dan saudara-saudarimu hanyalah kutu.”

Mei menunduk di sampingku. “Paladin muda,” ia menjelaskan. “Meskipun mereka kuat, tapi tetap harus menahan diri di depan keluarga bangsawan.”

Si paladin muda diam, tetapi aku bisa merasakan kemarahan bergolak dalam dirinya. Mungkin sudah mendidih hingga bisa melelehkan siapa pun yang ada di sekitarnya andai kata tidak ada pengendalian diri.

“Dasar sampah!” Si bocah bangsawan lain melempar batu, mengenai telak pelipis si paladin hingga berdarah. “Kau sama sekali tidak memberi sumbangsih terhadap kerajaan.”

Yang lain mulai ikut melempar batu. Benar-benar gila!

Tanpa sadar insting balita dalam diriku bereaksi. Aku berlari menyongsong sejumlah lemparan dan berteriak, “Hentikaaaaaan! Uwaaaaaa!” Tangis pecah. Air mata memburamkan pandanganku. Setidaknya bocah-bocah bangsawan berhenti melempari batu dan terbengong-bengong melihat ada bocah cilik muncul. Pelipisku berdenyut-denyut. Sepertinya ada batu yang mengenai diriku. Namun, aku tetap menangis dan mengabaikan rasa sakit yang menyengat-nyengat seperti jarum.

“Nona Ruby!”

Para kesatriaku bergegas mengamankanku dan mengusir para bocah perundung. Aku menangis sekuat tenaga seolah hanya dengan begitu bisa mengabaikan kekecewaan dan rasa sakit yang melanda pelipis.

“Kita akan dibunuh Duke!”

“Tutup mulutmu dan lekas cek bocah paladin,” Mei menyarankan.

Kemudian aku mengabaikan Mei dan Vas, langsung menghampiri si paladin muda. Begitu berhadapan dengannya, tahulah aku warna mata apa yang ia miliki. Kuning keemasan.

Raut wajah si bocah terlihat menyedihkan. Kemarahan, kekecewaan, bahkan rasa malu bergumul jadi satu. Dia masih terduduk di rumput, berdarah-darah, dan kemungkinan bingung mendefinisikan kehadiranku sebagai kawan atau lawan.

Aku mengulurkan tangan, mencoba menyentuh pelipisnya yang berdarah. Cairan merah langsung membasahi sarung tanganku, terasa lengket dan tidak menyenangkan. “Sakit? Huuuuwaaaaa jangan menangis. Jangan menangis.”

Awalnya bocah itu diam, kemudian beberapa detik kemudian dia bangkit dan membuat diriku terdorong mundur dan jatuh. “Enyah!” teriaknya sembari berlari menjauhiku.

“Uuuuwaaaaaaa!” tangisku makin menjadi. Aku meraung dan tidak bisa ditenangkan oleh apa pun. Vas dan Mei berjuang meredakan kesedihanku dengan bermacam bujukan sementara yang lain berdoa semoga leher mereka masih bisa menyangga kepala. Dengan kata lain, mereka takut Armand dan Carlos melakukan tindakan keji terhadap diri mereka.

Tangisku mereda ketika ada pendeta TAMPAN berambut putih yang menawari kami bantuan. Pendeta itu mengambil obat dan membantu membersihkan lukaku. Dia mendudukkan diriku di pangkuannya. Dengan senyum indah rupawan menenteramkan jiwa dia mulai menceritakan kisah sembari mengobatiku.

“Uuuu sakit,” kataku sembari menahan perih.

“Siapa orang yang berani menyakiti anak kecil?” Pendeta itu memelototi kesatria Aveza yang balas melotot. “Mengapa anak-anak zaman sekarang senang saling menyakiti? Kasihan sekali Nona Muda. Semoga tidak meninggalkan bekas di kemudian hari.”

Aku juga ingin tahu!

Mengapa ada anak bangsawan yang tega melakukan perbuatan terkutuk? Merundung bocah yang lebih lemah? Kebiasaan ini bahkan ada di dunia asalku! Mengolok anak-anak karena masalah finansial ataupun fisik. Bahkan ada orangtua yang tega merendahkan anak mereka sendiri di hadapan orang asing. Sungguh kasihan hati anak-anak yang lembut. Dunia bermain dan bersenang-senang tampaknya sekadar bualan belaka. Hanya segelintir anak yang bisa menikmati hal semacam itu.

Sebab di belahan dunia lain ada anak-anak yang harus berjuang demi orangtua mereka. Menjual balon, menjadi buruh cuci, bahkan mungkin mengemis. Adapula anak-anak gadis yang dinikahkan kepada lelaki yang usianya bisa dua kali lipat lebih tua daripada si anak. Menjual anak gadis demi mahar dan sejumlah uang. Menjual anak gadis demi alasan bertahan hidup dan meringankan beban keluarga.

Dunia anak-anak tidak lagi seindah negeri impian.

Negeri yang tersembunyi jauh di suatu tempat.

***
Selesai ditulis pada 3 Juli 2022.

***
Fans ANAK AYAM, majuuuu!

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now