16

9.5K 1.5K 34
                                    

Setelah Carlos menyerahkan posisi duke kepada Armand, putra pertama, ia memutuskan menyepi di salah satu vila yang terletak di Provinsi Zubar. Posisi vila dibangun tidak jauh dari Pantai Kalandis. Biasanya Carlos akan menghabiskan waktu selama beberapa saat sekadar menikmati matahari terbenam di tepi pantai. Semua orang mengakui keindahan Kalandis. Pantai berpasir merah muda dengan karang-karang terjal—konon masyarakat meyakini bahwa peri laut bersembunyi di sana. Kepiting merah kadang muncul setiap pagi dan sore. Adapula pohon palem dan kelapa tumbuh subur di sekitar pantai. 

Itulah pemandangan kesayangan Carlos. Pantai Kalandis. Manusia bisa saja mengecewakan, tetapi alam selalu tahu cara mengembalikan kedamaian dalam diri Carlos.

Meski telah lama memilih mundur dari dunia politik, beberapa orang tetap mengenali Carlos sebagai salah satu sosok berpengaruh di Kerajaan Damanus. Penampilan Carlos pun terbilang bugar. Rambut hitam yang dulu dia miliki telah memutih sempurna. Kerutan halus muncul di kening dan kelopak mata. Mata Carlos berwarna biru sempurna, masih jernih dan awas.

“Selamat datang, Ayah,” Clare menyapa.

“Aku ingin bertemu dengannya.” Carlos menggosok jenggotnya yang putih sempurna. “Biarkan aku melihat cucuku.”

Dia tidak tertarik berbasa-basi dengan undangan. Tujuannya datang jauh-jauh dari Provinsi Zubar menuju Kota Zeru adalah demi menemui cucu yang baru saja dia ketahui keberadaannya. Alex lebih menyerupai Armand versi cilik. Jenis bocah buas dan tidak menyenangkan. Sementara Pearl jarang bersikap imut. Gadis cilik yang satu itu lebih tertarik berlatih pedang daripada membiarkan Carlos menghujaninya dengan ciuman. Mendengar kabar mengenai cucu tersembunyi, harapan Carlos membuncah. Dia berharap cucu yang akan ia temui tidak seperti Alex maupun Pearl.

Armand memberi isyarat kepada salah satu kesatria Aveza agar lekas menjemput anak-anak.

Tidak lama kemudian tiga Aveza cilik pun tiba. Pearl dan Alex berjalan berdampingan. Kedua bocah itu terlihat sangat tidak tertarik memberi salam kepada Carlos, kakek mereka. Ada satu gadis cilik yang berada dalam gendongan si kesatria. Gadis itu mengenakan gaun kuning dan terlihat amat menggemaskan. Dalam hati Carlos tiba-tiba dilanda keinginan memeluk dan menjauhkannya dari ketiga Aveza. Andai bisa, dia ingin mengajak gadis cilik itu tinggal bersamanya. Setiap sore akan dia perlihatkan kecantikan Kalandis. Lalu, pada hari tertentu mereka akan berkunjung ke pasar rakyat dan menikmati kuliner serta permainan. Wacana hidup bersama cucu terasa tidak buruk.

Itu bisa terjadi bila Armand dan Clare tidak merintangi keinginan Carlos.

“Alex, Pearl, Ruby,” kata Armand dengan nada lembut. “Beri salam kepada Kakek.”

“Halo, Kakek,” kata Pearl dan Alex dengan nada suara tidak bersemangat.

Berbeda sekali dengan bocah cilik bernama Ruby yang mengucapkan salam dengan suara yang terdengar imut di telinga Carlos. “Kakek.”

Bukan hanya Carlos, melainkan semua orang pun dilanda perasaan hangat setiap kali mendengar suara Ruby. Jernih. Menenteramkan.

“Ruby,” Carlos memanggil. “Kemari, biarkan Kakek menggendongmu.”

Perlahan kesatria menyerahkan Ruby kepada Carlos.

Ada kebahagiaan bermekaran dalam dada Carlos. Seolah jantung dipenuhi aneka bunga musim semi hingga mampu membuat dirinya dilanda mabuk kepayang. Sudah lama Carlos tidak merasa damai dan senang. Hanya karena seorang anak perasaan dalam hati bisa berubah drastis.

Semakin diamati, maka kian erat pula kesamaan tampilan Ruby dengan Nicholas. Perasaan haru dan sedih membanjir masuk. Andai saja Carlos cukup tegas hingga berhasil menyelamatkan putra dan ibu kandung Ruby, maka mereka akan menjadi keluarga sempurna. Nasi telah menjadi bubur. Tidak ada hal yang bisa ia perbuat. Sekarang dia hanya perlu memastikan keselamatan cucunya.

Sekilas Carlos melihat kalung melingkar di leher Ruby. Bukan sembarang kalung, melainkan kalung peninggalan mendiang istrinya. Kalung tersebut diserahkan kepada Nicholas dan berakhir di tangan Ruby.

“Pilihan tepat,” pikir Carlos. Ruby memang pantas memakai kalung tersebut.

Carlos merasa ada sesuatu yang menarik-narik celananya. Dia menunduk dan mendapati Alex dan Pearl tengah mencengkeram kedua sisi celananya.

“Kakek, aku juga ingin menggendong Ruby,” Pearl memohon.

“Biarkan aku saja yang menggendong Ruby,” Alex menawarkan diri. “Dia berat. Tangan Kakek tidak akan kuat.”

Mendengar ucapan Alex mengenai berat, maka Ruby pun mulai menangis. “Huwaa aku tidak berat!”

Kali ini semua orang termasuk Clare memelototi Alex.

Bagaimanapun juga semua wanita tidak peduli tua maupun balita, jelas tidak suka komentar mengenai penampilan mereka. Carlos paham sebab mendiang istrinya pun bisa kejam bila dia salah mengomentari penampilan pasangannya.

‘Alex,’ Carlos meratap dalam hati. ‘Istrimu di masa depan pasti akan marah denganmu.’

“Ruby tidak berat,” Carlos mencoba menenangkan. “Jangan dengarkan perkataan Alex. Dia memang bocah nakal. Dengarkan Kakek saja. Ruby tidak berat.”

“Huwaaaa!”

Tidak berhasil.

*

Malam berhasil menguasai langit, menyingkirkan matahari dan memosisikan bulan sebagai penguasa tunggal. Serangga mulai bernyanyi bersama kodok yang bersembunyi di antara tangkai bunga teratai. Sesekali burung hantu menampakkan diri di antara cabang pohon fir.

Para penghuni Kuil Gihan bersiap melakukan doa malam. Dalam balutan jubah putih pendeta berlalu-lalang dengan tujuan masing-masing. Sebagian membawa perkamen, yang lain langsung masuk ke tempat doa, dan hanya ada satu pengecualian di antara kesibukan tersebut.

Viren.

Dia memilih menghabiskan waktu di lapangan panahan. Berkali-kali menembakkan anak panah dan hampir semua menancap tepat di sasaran. Sebagian anak panah menancap di tiang, tempat anglo dipasang sebagai penerang.

Tidak ada orang melarang siapa pun, terutama paladin muda, mengasah kemampuan. Mereka memang dipersiapkan sebagai martir. Pedang bagi kuil. Sejak Saint Magda memperlihatkan kemungkinan mengenai invasi iblis ke tanah manusia, tidak ada satu orang pun bisa tidur nyenyak.

Kecuali, pikir Viren amat muram, orang-orang bangsawan yang lebih mengutamakan menggemukkan kantong uang daripada memikirkan prospek keselamatan Damanus.

Satu-satunya yang bersedia dipuja oleh kaum ningrat adalah Semoa’. Semoa’ merupakan dewa kekayaan dan kemakmuran. Pada setiap kediaman bangsawan pasti setidaknya memasang potret Semoa’. Lelaki pirang berjubah putih tengah mengenakan mahkota salam emas. Tangan kanan Semoa’ mencengkeram permata, tangan kiri menggenggam pedang emas. Di bawah kaki Semoa’ berserakan beragam batu mulia. Itulah penggambaran sosok Semoa’ yang dipuja masyarakat Damanus.

Viren mengagumi Urmiz, dewi cahaya. Bagi Viren hanya Urmiz yang paling pantas mendapat posisi tertinggi di jajaran dewa dan dewi. Meski ada sederet dewa dan dewi lain yang dipuja masyarakat Damanus, tetapi Urmiz memiliki keanggunan yang tak terkalahkan di hati Viren.

Angin dingin kembali berembus, membuat keringat di tubuh Viren surut. Sebentar lagi dia beserta beberapa anak akan dimasukkan sebagai perwakilan di ajang perburuan di Hutan Bencana. Sesuai dengan namanya “bencana” tidak ada hal bagus yang hidup di dalam sana.

Monster.

Perburuan? Viren lebih suka dengan kata pembantaian. Kata yang pantas mendeskripsikan adu kekuatan di Hutan Bencana.

***
Selesai ditulis pada 24 Mei 2022.

***
Deborah nunggu dulu, ya. Saya nggak bisa nulis ngebut untuk yang satu itu. Ini saya pengin fokus namatin Adel. Oke?

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now