62

3.7K 693 11
                                    

Dalam surat Alex menuliskan bahwa ia berharap menjadi pendamping. Tentu saja pendamping yang ia maksud ialah, pasangan ketika debut. Tidak jarang peserta debut ditemani oleh orang terdekat maupun kesatria tertentu. Jelas Alex memiliki motif tertentu. Berhubung aku memilih debut di istana, bersama para lady lainnya, kemungkinan besar sepupuku ini berniat memonopoli diriku. 

Gawat. Padahal debut merupakan salah satu prasarana bagiku mencari koneksi. Bukan berarti aku hendak membina hubungan romantis dengan seseorang, melainkan murni urusan bisnis. Apabila Alex memilih terjun dan menjadi batu sandunganku, maka tidak ada pilihan selain memberi peringatan keras!

“Natalie, apa Ayah memiliki janji temu dengan seseorang?” tanyaku sembari melipat surat dan memasukkannya ke laci. “Sepertinya aku ingin mengucapkan sepatah dua kata.”

“Nona, Count pasti akan meluangkan waktu untuk Anda. Apa pun yang Anda inginkan, pasti Count penuhi.”

Totalitas Nicholas sebagai orangtua kadang bisa membuatku dilanda migren. Dia menolak perjodohan dengan lady maupun madam mana pun. Untung perjodohan tidak datang dari Raja ataupun Ratu. Pasti sulit menampik perintah dari orang nomor satu di Damanus.

Sejenak aku memperhatikan pantulan diriku dalam cermin. Siapa pun pasti setuju bahwa Ruby mewarisi keelokan Nicholas. Barangkali akulah Nicholas versi perempuan. Bedanya, aku tidak menggigit kecuali terpojok dan kondisi mengharuskan diriku bertahan hidup.

“Ada yang Anda butuhkan?”

Aku menggeleng. “Tidak, Natalie. Kau boleh pergi.”

Natalie meninggalkanku seorang diri bersama Ung.

Begitu yakin tidak ada siapa pun yang akan menginterupsi diriku, lekas aku memanggil Cerkho.

Asap hitam menguar di sekitar ranjang. Makin lama makin menebal hingga Cerkho muncul di hadapanku. Tidak seperti biasanya wujud Cerkho hanya berupa asap yang bisa lenyap kapan saja.

“Kau selalu saja memanggilku di saat genting,” katanya kepadaku.

“Beri tahu aku mengenai keberadaan laba-laba taring besi,” ucapku penuh semangat. Kali ini aku bangkit, menghampiri sosok Cerkho yang seolah akan lenyap seketika. “Ayolah, kau pasti tidak ingin melihatku merana, bukan?”

“Ruby, makhluk yang kauinginkan itu tidak bisa dipelihara siapa pun.”

“Siapa yang ingin memelihara mereka? Aku hanya ingin memanfaatkan kepompong dan barangkali sarangnya?”

“Apa untungnya?” Asap mulai menipis, tanda bahwa Cerkho tidak bisa lama menemaniku. “Kau tidak bisa memakan sarang laba-laba.”

Seulas senyum menghias wajahku. “Tunggu saja.”

***

Pekik nyaring saling bersahutan antara satu monster dengan yang lain. Viren berhasil menumbangkan seekor monster. Makhluk itu tidak seperti monster mana pun yang pernah ia temui. Seperti pelikan, tapi tidak bersayap. Berdiri di atas dua kaki berkuku satu. Memiliki sepasang tangan pendek dengan tiga cakar di masing-masing sisi. Mereka, para monster, tidak segan memburu pendeta mana pun yang hendak melaksanakan ziarah menuju ritus suci di pesisir Provinsi Zubar. Dulu jalan yang dipilih oleh para pendeta bersih dari ancaman, tetapi akhir-akhir ini monster aneh mulai bermunculan dan tampaknya mengincar manusia.

“Hiiik!”

Seorang pendeta perempuan hampir saja menjadi incaran monster andai Viren tidak menumbangkan monster itu dengan cara memenggal kepala.

“Minggir,” kata Viren, pandangan matanya tajam dan begitu menusuk.

Lekas pendeta itu berlari ke tempat aman, bersatu dengan pendeta lain, dan membiarkan paladin menyelesaikan tugas.

Begitu tidak ada lagi pengganggu, Viren memusatkan perhatian sepenuhnya kepada monster. Tidak ada keraguan. Dia mencengkeram pedang, berlari cepat, dan melompat ke atas salah satu monster. Pedang pun terayun dan memotong leher si monster. Darah menyembur seperti air mancur, membuat tanah dan rumput dihiasi warna hitam pekat.

Viren melompat dari satu monster ke monster lain. Berkali-kali dia memutus leher, tangan, maupun kaki para monster. Paladin lain pun tidak kalah sengit menghabisi monster. Namun, hanya Viren seorang saja yang terlihat berkobar menyelesaikan misi.

“Kau seperti monster saja,” komentar Hugo Jachim usai menyelesaikan misi. “Aku belum pernah melihat paladin membantai monster seperti caramu. Bahkan Ketua Zeni pun tidak seberingas dirimu.”

Saint Magda sempat berpesan kepada Hugo Jachim agar membuarkan Viren menyelesaikan tugas dengan caranya. Hugo Jachim menepati jani: Dia membiarkan Viren menghabisi monster mana pun.

“Apa hanya ini saja?” Viren menatap langit. Ada beberapa awan putih berarak. “Monster, manusia, penyihir. Mana yang paling menyeramkan?”

Hugo Jachim menelengkan kepala. Dia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal. “Aku tidak bisa memberi jawaban tepat. Kau ingin jawaban yang bagaimana? Monster bisa lebih manusiawi daripada manusia dan manusia pun tidak kalah mengerikan daripada monster. Penyihir? Ada masalah apa kau dengan penyihir?”

Viren tidak membalas.

“Hei,” Hugo Jachim memanggil, “kita nanti bisa mampir ke kediaman Count Nicholas. Kau tahu, aku memiliki hubungan baik dengan Count.”

Count Nicholas. viren tidak berniat menemui Nicholas maupun penghuni kediaman Eremond selain....

Ruby! Gadis cilik itu pasti telah beranjak dewasa. Barangkali sebentar lagi akan mengikuti debut.

“Sayang sekali,” kata Viren sambil menggeleng pelan, “aku tidak bisa melihatnya.”

“SIAPA YANG INGIN KAULIHAT?”

***

August Sika seperti tikus di hadapan pemangsa ketika Emir mendadak berkunjung ke Giham. Duke Khosrow sempat memberi wejangan terkait putranya. “Putraku tidak seperti diriku. Dia buas.”

Duke Khosrow, menurut August Sika, lebih seperti ular beracun. Namun, putranya....

“Aku ingin bertemu Saint Magda.”

“Tuan, Saint Magda sedang berkunjung ke Aveza.” Keringat mulai membasahi pelipis. Hawa dingin terasa akan membekukan August Sika andai ia tidak bergegas pergi sejauh mungkin dari Emir Khosrow. Insting dalam dirinya menjerit, menuntut perhatian. “Saya tidak yakin bisa mengabulkan permintaan Anda. Lagi pula, hubungan saya dengan Saint Magda terbilang buruk.”

Sekalipun mereka berdua terpisah oleh meja, August Sika merasa dirinya bisa saja mati dalam posisi duduk.

Emir meraih cangkir. Dia tidak langsung meminum teh. “Dia bersama Aveza.”

Pernyataan bukan pertanyaan. August Sika tidak berani memberi tanggapan.

“Kau pernah berkata akan membereskan Saint Magda,” kata Emir, dingin. “Aku bisa melihat kemajuannya, Sika.”

Pengelihatan August Sika barangkali tengah bermasalah karena ia merasa bisa melihat sosok makhluk bercakar dan bertaring tengah menatapnya dengan sepasang sorot mata mengerikan. Makhluk itu berdiri di belakang Emir, mulai memamerkan deretan taring dan cakar-cakar tajam.

Tubuh August Sika pun gemetar bukan main. Makluk itu tampak perkasa, tinggi menjulang seakan hendak membuktikan kepada August Sika perihal betapa kerdil dirinya di hadapan maut. Sontak dia pun terjungkal. Kursi terbanting. Oh betapa agung sosok yang kini berusaha mendekati August Sika.

“Bukan Yula, dewi kematian, yang harus kaucemaskan.” Emir membiarkan monster menjilat wajah August Sika. “Kau pasti paham, bukan?”

Tidak ada suara yang berhasil dikeluarkan August Sika. Monster seolah berhasil memakan setiap ons keberanian yang mengalir dalam diri August Sika.

“Mungkin aku harus menyelesaikannya.”

Itulah saat terakhir August Sika melihat wujud asli sang maut.

Selesai ditulis pada 19 Oktober 2022.

Halo, teman-teman.

Akhirnya Ruby bisa update! Yes!

Jangan lupa jaga kesehatan, ya. Love youuuuuu!

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang