20

7.9K 1.5K 87
                                    

Alex hanya bisa tersenyum kecut. Posisi pemenang tidak jatuh di tangannya, melainkan kepada orang lain. Lebih tepatnya, seorang paladin. Bocah yang sedari awal tidak Alex sukai kemunculannya. Sekarang dia hanya bisa menahan diri agar tidak mengamuk dan menghancurkan apa pun yang berada di hadapannya. 

Bukan berarti Alex tidak mampu melenyapkan satu monster pun, melainkan semua penghuni Hutan Bencana memilih kabur begitu berhadapan dengan dirinya. Kalaupun ada makhluk yang berani melintas, sudah pasti berasal dari kelas rendahan. Semisal monster umbi, lendir, ataupun jenis burung yang senang mengeluarkan tawa konyol bernada KUWAKAKAKAKAKAAAAK! Jelas itu bukan buruan manis yang bisa Alex hadiahkan kepada Ruby.

“Ruby, terimalah monster burung dengan suara unik dariku.” Mana mungkin Alex bersedia menyerahkan hadiah berupa burung pemakan bangkai yang hobi menertawakan manusia dengan suara konyol? Bisa-bisa posisi Alex di hati Ruby merosot jatuh. Tidak tertolong.

Begitu Alex berhasil menemukan monster rubah api, makhluk itu telanjur mati di tangan si paladin muda. Bisa saja Alex menantang paladin itu dan meminta si bocah menyerahkan buruan. Namun, itu bukanlah sifat seorang Aveza; pengecut, pemalas, penindas, dan sebutkan saja sifat buruk manusia maka sudah pasti itu bukan milik Aveza.

Putra Mahkota Sislin berhasil mendapatkan seekor menjangan emas. Makhluk itu hanya tinggal kepala. Dari luar saja menjangan emas terlihat menawan, tetapi makhluk tersebut sebenarnya senang meminum darah makhluk apa pun termasuk monster sekalipun. Levelnya berada di bawah rubah api, terutama jenis rubah api berekor ganda. Konon mata rubah api bisa dijadikan sebagai ramuan kekebalan terhadap panas. Cukup menarik bila ingin menghadapi naga. Namun, tidak seorang pun di Kerajaan Damanus tertarik melawan naga. Sekalipun naga itu berupa bayi berusia dua puluh tahun.

Rayla berhasil menembak mati seekor monyet berekor ular. Makhluk itu membuat Alex ingin melemparnya ke suatu danau agar tidak mencemari pemandangan. Jenis monster yang satu ini bisa meniru suara manusia. Bahkan bila tidak berhati-hati, bisa jadi manusia tertipu dan berakhir mati dengan cara yang tidak sanggup dijelaskan oleh siapa pun yang bersedia menodai pikirannya dengan deskripsi mati tertipu monyet.

Hadiah yang diberikan Raja Rudolph adalah sebuah bros dan mahkota dari mawar emas. Padahal Alex ingin menyerahkan mahkota itu kepada Ruby. Sayang semua monster memilih kabur begitu Alex tiba. Benar-benar mengesalkan.

“Alex, jaga ekspresi wajahmu,” Armand memperingatkan. Mereka berdiri jauh dari prosesi penyerahan. “Aku tahu kemarahanmu, tapi jangan sampai berulah. Ingat, Ruby menunggu kita.”

Bayangan mengenai wajah Ruby yang menggemaskan berhasil mengusir kekecewaan serta kemarahan dalam diri Alex. Setidaknya begitu sampai rumah dia akan memeluk dan mencium pipi Ruby yang bulat sampai merah. Sungguh menyenangkan. Tidak terlalu buruk.

Usai kegiatan yang bagi Alex membosankan, kelompok Aveza memilih lekas undur diri dan lenyap.

Ada anak ayam yang perlu mereka temui.

Anak ayam yang sebenarnya lebih menyukai pria tampan daripada benda apa pun.

*

Carlos ingin menghabiskan waktu bersama kedua cucu perempuan. Namun, Pearl sudah mulai mengikuti latihan berpedang. Hanya ada Ruby yang masih bebas dari kewajiban belajar pertahanan diri.

“Ruby, apa kau suka Kakek?”

Carlos menggendong Ruby dan mengajaknya berkeliling, sama sekali tidak peduli dengan larangan Armand mengenai menghabiskan waktu bersama Ruby tanpa persetujuan Armand.

‘Masa bodoh,’ kata Carlos dalam hati. ‘Aku bebas bermain dengan cucu.’

Hari ini pelayan mendandani Ruby dengan gaun berwarna oranye terang dan kuning cerah. Rambut Ruby dihias pita sutra kuning. Sepasang sepatu kuning terpasang di kaki. Makin lama obsesi orang-orang, terutama Alex, mengaitkan Ruby dengan anak ayam makin menjadi. Terbukti dari adanya boneka anak ayam yang baru-baru ini dipesan Alex. Dia bahkan menyarankan agar Ruby memakai gaun kuning selamanya.

“Kakek,” Ruby memanggil. Kedua tangannya menyentuh sebutir jeruk yang diberikan Carlos kepadanya. “Jeruk.”

Carlos memilih beristirahat di gazebo, memangku Ruby, dan mulai mengupas jeruk. Dengan sabar dia menyuapi Ruby dan tersenyum ketika Ruby tidak sengaja meneteskan sari jeruk ke gaunnya.

“Apa Ruby ingin ikut Kakek?”

Ruby menelengkan kepala, membuat rambutnya berayun pelan. “Pantai?”

“Kau bisa melihat pemandangan pantai setiap hari,” Carlos menjelaskan. “Ada camar, kepiting merah yang merayap setiap matahari akan terbit dan tenggelam, lalu kau tidak perlu belajar ilmu politik.”

Kedua mata Ruby berbinar mendengar “tidak perlu belajar politik”.

“Aha, cucuku tidak suka belajar mengenai pemerintahan.”

Ruby mengangkat kedua tangan dan berseru, “Tidak suka!”

Nicholas, ayah kandung Ruby, pun tidak menyukai politik. Barangkali itulah yang menjadi alasan putra kedua tidak turut serta dalam ajang perebutan posisi duke. Alih-alih mengamini permintaan Carlos agar menetap sebagai tangan kanan kepercayaan Armand, Nicholas justru memilih jalur curam; menjadi kesatria, penyihir, dan entah apalagi yang dia inginkan.

Besar harapan Carlos menemukan Nicholas dalam keadaan hidup. Dia yakin Nicholas masih hidup. Insting seorang ayah, katakan saja begitu. Lagi pula, Nicholas bukanlah jenis lelaki yang mudah dibunuh. Butuh kekuatan iblis untuk menumbangkan pria sekuat Nicholas.

Kekuatan yang sangat besar dan mengerikan.

Amat mengerikan hingga bisa mengguncang jagat dan membuat tsunami melanda suatu negeri.

Kekuatan sejenis itu pastilah mengerikan dan Carlos takut ada hal buruk yang harus diwaspadai oleh semua orang. Bukan hanya Aveza, melainkan semua manusia di dataran Damanus.

“Kakek,” Ruby memanggil. “Jangan sedih.”

Wajah Ruby terlihat merah. Kedua mata bocah cilik itu terlihat berair dan siap menumpahkan air mata.

“Ruby, Kakek tidak akan menangis.”

“Janji?”

Pelayan yang menyaksikan Ruby pun mulai ber-kyaaaa. Natalie, pelayan pribadi Ruby, pun memanfaatkan momen tersebut dengan cara merekam Ruby sebanyak mungkin.

Tidak lama kemudian Pearl bergabung. Dia menangis dan merengek kepada kakeknya agar tidak membawa Ruby pergi. “Huwaaa, Kakek tidak boleh membawa Ruby! Dia harus di sini! Di sini!” Kedua tangan Pearl mengepal dan memukul-mukul lutut Carlos.

“Pearl, bagaimana kalau kau juga ikut Kakek?” Carlos mencoba membujuk Pearl. “Kau tidak perlu belajar hal yang tidak kau sukai. Kakek akan membebaskanmu belajar apa pun.”

Sejenak Pearl berhenti menyerang Carlos. Barangkali dia sedang membayangkan kemungkinan belajar hal baru tanpa gangguan Armand.

“Kau bisa bermain di tepi pantai,” Carlos menawarkan. “Kalian, kau dan Ruby, akan berjalan-jalan di bukit yang ditumbuhi bunga-bunga langka dan cantik. Setiap pagi kalian akan mendengar nyanyian laut dan burun. Merdu. Indah.”

Ruby memeluk leher Carlos. “Indah? Ada Jarga?”

“Kenapa namanya disebut?” Pearl tidak bisa menyembunyikan kecemburuan dalam nada suaranya. “Dia tidak sehebat itu.”

“Jarga?” Kedua mata Ruby berbinar-binar. Sekarang Carlos mengangkat Ruby hingga kedua mata mereka bersitatap. “Jarga tampan.”

‘Benar kata Armand,’ Carlos merintih dalam hati. ‘Ruby menyukai pria berpenampilan menarik.’

Tiba-tiba Carlos mencemaskan masa depan Ruby.

Sungguh mencemaskan.

***
Selesai ditulis pada 24 Juni 2022.

***
Halo, maaf lama. Hehehe, semoga kalian suka.

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ