44

5.1K 1K 65
                                    

Begitu tiba di Perkampungan Zemh penyihir dan pendeta pun langsung menanam ash dan mawar hitam sementara yang lain melawan sekelompok monster kelas kerdil. Tidak butuh waktu lama karena monster-monster tersebut pada dasarnya bukan tandingan sekelompok manusia yang telah menempa diri dengan dasar ilmu pedang dan latihan keras. Nicholas langsung memerintahkan kepada kesatria agar mengambil kulit monster yang memiliki tekstur keras seperti cangkang. Dia ingin cangkang-cangkang tersebut dikumpulkan agar bisa digunakan sebagai bahan baku senjata. Tentunya benda-benda aneh itu (cangkang, kuku, dan sejumlah bagian tubuh monster) dimasukkan ke dalam ruang penyimpanan sihir.

"Kakakku pasti tahu cara mengolahnya," kata Nicholas kepada asistennya, seorang kesatria Aveza kepercayaan Armand yang bernama lengkap Zeno Faun. Pemuda berusia 28 tahun dengan wajah tampan. "Aku ingin mempersenjatai Aveza."

Zeno membantu Nicholas melepas zirah. Sekarang mereka berada di salah satu tenda. Tidak ada satu rombongan pun yang menggunakan rumah penduduk Desa Zemh karena tidak ingin merepotkan. Mereka, penduduk Zemh, sudah cukup dipersulit dengan kehadiran monster yang merusak panen serta mengobrak-abrik hunian.

"Tuan, Duke pasti akan menerima hadiah dengan tangan lapang," kata Zeno seraya meletakkan ketopong di meja. "Saya yakin ini akan berhasil."

"Bagaimana dengan proses penanaman ash dan mawar hitam?"

"Penduduk bersedia mengulurkan tangan," jawab Zeno. "Mereka turut serta menanam bibit ash dan mawar hitam di sejumlah titik. Dengan begini Anda esok bisa langsung masuk ke jantung hutan dan menyelesaikan perkara."

Zeno Faun memiliki kemampuan berpedang yang tidak kalah hebat dibanding Hugo, si paladin. Mereka berdua bisa disetarakan. Beberapa orang mempertanyakan keputusan Nicholas mengumpulkan bagian tubuh monster, tetapi lain cerita dengan penyihir yang paham maksud tindakan Nicholas. Cangkang monster bisa dijadikan sebagai perisai sementara kuku, rencananya, akan Nicholas olah sebagai senjata.

Ide ini, mengolah senjata, tidak muncul begitu saja. Semua berkat Ruby. Suatu hari Ruby pernah menunjukkan gambar monster bertanduk yang memiliki cangkang sekeras besi. Dia berkata, "Ayah, buat ... buat ini."

"Buat apa, Ruby?" tanyanya sembari mencubit pelan pipi Ruby. "Mainan?"

"Bukan," Ruby membantah. "Senjata. Ini ... ini cangkang bagus. Ung suka. Tameng ... perisai bagus. Kuku untuk belati."

Selama ini Nicholas tidak sempat memikirkan bahwa anggota tubuh monster bisa diolah demi kebaikan manusia. Dengan begini Aveza tidak perlu mengimpor besi maupun senjata dari luar. Mereka bisa memanfaatkan monster. Eldez sesumbar bahwa mereka bisa membantu Aveza mengumpulkan besi bermutu, tetapi dengan harga yang tidak masuk akal. Sekarang urusan senjata dan perkara mempersenjatai Aveza terselesaikan.

"Zeno, lakukan panggilan," Nicholas memberi perintah. "Saat ini pasti putriku merindukanku."

Sekarang Nicholas hanya mengenakan pakaian ringan dan celana kulit. Dia duduk di kursi, membiarkan Zeno menyalakan komunikator dan menungu. Komunikator berbentuk kristal bulat pun langsung menayangkan Carlos. Memang selama ini Nicholas lebih suka menghubungi ayahnya daripada Armand. Kakaknya itu hanya bisa membantu meningkatkan tekanan darah saja.

"Uuuuung!"

Ternyata Ruby tengah bersama Carlos. Mereka berdua ada di perpustakaan. Komunikator milik Carlos berbeda dengan milik Nicholas. Benda tersebut berbentuk liontin bulat berwarna merah yang terpasang di kalung Carlos. Pasti sekarang kalung tersebut telah dilepas oleh Carlos dan diletakkan di meja.

"Ruby, apa kau merindukan Ayah?"

"Ung," jawab Ruby mengiakan.

Zeno tersipu menyaksikan Ruby yang duduk nyaman di pangkuan Carlos. Ada gagak gemuk yang bertengger di kepala Ruby. Makhluk itu memperhatikan komunikator dengan ketertarikan yang aneh.

"Sudah beres?"

"Belum semua," Nicholas menjawab pertanyaan Carlos. "Esok kami berencana memasuki jantung hutan dan langsung memburu bos terbesar."

"KAAAAK!" Gagak mengepakkan sayap dan mulai merapikan rambut Ruby.

"Ung bilang Ayah hebat," kata Ruby. "Siapa? Siapa?"

Kedua mata Ruby berbinar dan pahamlah Nicholas siapa yang tengah dimaksud olehnya.

"Halo, Nona," Zeno menyapa. "Saya Zeno Faun, kesatria kepercayaan Duke."

"Uwaaa, Zeno!"

"Ruby, Kakek ada di sini." Ucapan Carlos diabaikan Ruby yang kini terfokus memperhatikan Zeno.

"Ung ada Zeno!" Ruby mulai bersemangat dan memaksa gagak agar sependapat dengannya. "Zeno!"

Kali ini Nicholas memandangi Zeno Faun dengan tatapan sengit.

"Zeno tampan!"

"..."

*

August Sika mengunci diri di ruang khusus, ruangan yang hanya boleh ditempati olehnya seorang. Dia mengeluarkan komunikator, bola kristal merah seukuran genggaman tangan, dari saku dan meletakkannya di meja. Menunggu dan terus menunggu hingga koneksi terjalin. Beberapa saat kemudian seseorang muncul di dalam kristal.

"Lord, saya cemas bahwa kabar yang akan saya informasikan kepada Anda bukanlah berita baik."

"Sika, aku tidak suka segala bentuk pengulangan dan kegagalan."

Seolah ada laba-laba yang tengah merayapi tulang punggung August Sika. Dia diserang dilema dan gigilan. "Lord, saya yakin Tuan Muda bisa menduduki posisi terpenting di Damanus."

"Kau bahkan tidak bisa mempertahankan Count Eldez agar berpihak kepadamu."

"Itu karena dia menginginkan akses penuh ke wilayah Aveza," August Sika membela diri. "Saya berusaha menyabotase jalur dagang dan pengelanaan, sesuai arahan Anda, tetapi mereka selalu menemukan cara. Lord, yang saya hormati dan agungkan. Anda ingat Nicholas Aveza? Bukankah saya pun telah melaksanakan tugas mengirim makhluk buas agar dia celaka, seperti keinginan Anda?"

"Lantas mengapa sekarang dia ada di Zeru?"

Senyuman yang muncul di wajah lawan bicara August Sika amat dingin dan mengerikan, membuat August Sika terdiam tak berkutik.

"Justru kabar lain membuatku merasa ... Sika, kau tahu ada anggota keluarga baru di Aveza? Siapa sangka Nicholas memiliki putri hasil hubungan di luar nikah? Apakah aku perlu mendengar detail lain yang barangkali kausembunyikan dariku?"

"Lord, saya benar-benar tidak tahu-menahu perkara bocah cilik itu," August Sika mencoba meminta ampunan. "Saya yakin dia tidak sekuat dua Aveza lain. Saya dengar dia kecil dan memiliki masalah mental."

"Semua Aveza itu seperti makhluk buas. Kau bermaksud menenangkanku dengan cara yang amat tidak mengesankan, Sika."

Keringat bermunculan di kening dan punggung August Sika. "Saya akan mencoba mencari tahu."

"Kaki tanganku sudah terlebih dahulu menggali informasi. Ruby Aveza. Putri Nicholas Aveza. Sika, kau tahu siapa ibu kandungnya?"

Bibir August Sika terkatup rapat.

"Pendeta Sofia."

Kali ini August Sika seperti tersambar petir. "Lord, saya yakin ada kesalahan. Pendeta Sofia tidak memiliki catatan buruk. Dia hanya gadis desa yang sama sekali tidak berguna bagi Giham. Andai Saint Magda tidak berhasil membuktikan diri, maka pendeta pilihan Anda-lah yang menempati Giham."

"Pendeta Sofia memiliki keahlian khusus dan kau yang bodoh tidak bisa merayunya ke sisi kita. Aku tidak peduli dengan balita cilik itu. Kecuali putraku yang menganggap Aveza cacat itu sebagai buruan baru."

Sekali lagi gigilan dingin melanda August Sika. "Tuan Muda?"

"Untuk saat ini aku akan membiarkanmu lolos. Namun, tidak lain waktu."

***
Selesai ditulis pada 16 Agustus 2022.

Teman-teman, kapan-kapan mampir dong ke KaryaKarsa dan kunjungi akun saya @GaluhCahya8. Hehehe. Di sana juga ada cerita gratis kok dari saya. Cuma ya itu, harus cek satu per satu karena bentuknya mirip blog. Nggak seperti Wattpad.

Oke? Love you, teman-teman. Dukungan kalian akan membantu saya tetap menulis. Hehehehehe. Love youuuuuuuu.

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now