63

3.4K 646 10
                                    

Emir tidak benar-benar menghabisi August Sika. Dia hanya memorakporandakan kewarasan pendeta itu. Akal, kemampuan berpikir, dan nalar. Semua telah hancur. Lagi pula, ajal bisa diwujudkan dalam bentuk apa pun. Matinya kewarasan dan kemampuan berpikir pun termasuk salah satu rupa dari kematian. Justru kematian perlahan, hidup tapi telah mati, merupakan hukuman paling mengerikan. Lebih baik lekas mengakhiri penderitaan dalam satu tarikan napas daripada menjalani ketidakpastiaan maupun penjajahan, begitulah kata para budak kepada seseorang yang ingin memenjarakan mereka dalam penaklukan. Sayangnya pada kasus August Sika, yang bersangkutan tidak sadar dirinya telah terpenjara dan menjadi budak. Semua hak beserta pilihan menjalani hidup telah dirampas oleh Emir.

“Membunuhmu tidak akan meredakan kemarahanku,” kata Emir kepada August Sika. Kondisi August Sika seperti mayat hidup; kedua mata merah meradang, pupil mengecil, mulut menganga meneteskan liur, dan hanya kata-kata tidak bermakna yang keluar dari dalam bibirnya. “Membiarkanmu hidup hanya akan menambah beban. Berkali-kali aku memberimu kesempatan. Berkali-kali pula kau sia-siakan.”

Bayangan bermata jahat mulai kembali kepada tuannya. Dia perlahan menyatu dengan bayangan milik Emir dan bersembunyi dalam kegelapan sampai majikan memanggil.

“Aku tahu kau ingin menyerang Aveza,” lanjut Emir sembari tersenyum. Namun, senyum yang dia tampilkan sama sekali tidak mengandung keindahan. Justru kesan angker dan kejilah yang tampak di sepasang mata yang memendarkan kemarahan. “Membuat rencana yang tidak perlu. Tidak ada yang boleh menyentuh dia selain aku.” August Sika mengerang, liur menetes di sudut bibir. “Hanya aku. Kau berani melewati batas dan memancing amarah.”

Dalam masa kehidupan sekarang Emir masih bisa mengingat setiap keping kenangan mulai dari kehidupan sejati dan kehidupan setelahnya. Hanya Ruby dan Viren saja yang tidak mampu mengingat barang secuil keping ingatan baik sejati maupun fana. Benar-benar neraka tak berkesudahan. Mengulang sekian kehidupan hanya untuk menyongsong penderitaan dan patah hati tak berkesudahan. Dia sudah muak!

Monster kembali memamerkan sepasang mata miliknya. Seolah merespons perasaan Emir yang diliputi oleh kekecewaan.

“Sekarang jalan ceritanya akan berbeda.”

Tidak seorang pun di Damanus sadar bahwa ajal sedang mengasah cakar-cakarnya agar bisa mengoyak setiap manusia yang berdiam di sana.

Ajal itu bernama Emir.

***

Alex tiba tepat ketika aku ingin menikmati anggur musim semi. Dia mengendarai seekor kuda perang berwarna hitam. Di belakangnya berbaris kereta pengangkut barang. Nicholas kebetulan sedang tidak ada di tempat, maka akulah yang menggantikan dirinya sebagai tuan rumah.

“Ruby, apa kau merindukanku?”

Masalahnya Alex datang tanpa pemberitahuan. Dia hanya menuliskan keinginan berkunjung, tanpa detail waktu dan oh kepalaku sakit! Apabila nanti aku terkena tekanan darah tinggi, maka sudah jelas oknum yang berkontribusi dalam menyumbangkan masalah itu!

“Ruby, anak ayamku!”

Dengan mudah Alex turun dari kuda. Dia menghambur ke arahku, memberi pelukan hangat. Sekian tahun tidak jumpa, dia sudah bertambah tinggi. Amat tinggi, sebenarnya.

“Bisakah kau longgarkan pelukanmu, Sepupu?” Aku berusaha lepas dari pelukan Alex, tapi dia makin erat memelukku seolah melewati seratus tahun perpisahan. “Hei, kau membuatku sesak napas!”

Barulah Alex membebaskanku ketika aku mengeluh mengenai kemungkinan terkena asma. “Maaf,” katanya sembari mengacak-acak rambutku. “Wah Ruby-ku sudah besar. Apa kau tidak ingin berkata, ‘Unnnng.’ Sebenarnya aku sangat merindukan suaramu yang imut itu. Sekarang kau sudah besar dan aku merasa masa-masa emas itu telah lewat dengan gemilang, meninggalkan orang tua ini sendirian.”

Jangan tanya, aku tidak paham dengan omongan Alex. Sama sekali.

Andai Ung tidak terlalu rakus memakan seluruh anggur yang ada di mangkuk, mungkin dia sudah menyerang Alex dengan beberapa patukan ringan dan cakaran kasih sayang. Memang benar, hanya Ung saja yang bisa aku andalkan.

“Bukankah kau seharusnya menyelesaikan urusan mengenai, kau tahulah, penerus?”

Sudah bukan rahasia umum bahwa Alex menjadi calon pengantin impian semua lady di Damanus. Di surat kabar saja sampai diadakan pilihan terkait pria lajang yang menarik perhatian semua gadis dan Alex masuk kategori teratas.

“Ruby, aku tidak peduli dengan perkara administrasi. Bagaimanapun akulah yang akan menjadi duke selanjutnya karena Pearl memilih menghabiskan waktu memerangi monster di setiap tempat bersama sekelompok paladin.”

Pearl. Aku sempat mengira dia akan berakhir dengan tokoh utama, Putra Mahkota Sislin, tapi ternyata tidak seperti itu. Dia memilih mengikuti jejak ibunya dan sama sekali tidak peduli terhadap tanggapan masyarakat kaum elite terhadap pilihan hidupnya.

Aku sebentar lagi harus mengikuti setiap undangan teh ataupun pesta. Biasa, melebarkan sayap dan memajukan bisnis. Hidup di era monarki tidak seindah penggambaran novel harlequen!

“Ayo, pelayan akan membereskan segalanya.”

Aku mengajak Alex menuju taman. Sebuah gazebo yang dibentuk menyerupai sangkar burung pun terlihat di balik deretan pohon mawar. Tanaman merambat menghias setiap sisi dengan aneka bunga berkuntum merah jambu. Natalie menyajikan teh lavendel dan beberapa kudapan asin serta manis.

Kami berdua seperti tengah berada di suatu bab dalam buku dongeng. Judulnya mungkin akan sangat romantis. Lalu, narasi ditulis dengan indah seperti nuansa musim hangat dan keajaiban.

“Aku ingin jadi pendampingmu saat debut di istana,” Alex menuntut. “Jangan berikan kesempatan itu kepada Ayah maupun Kakek. Kau harus berdansa denganku. Paham? Oh ya, jangan terima ajakan dansa dari lelaki mana pun. Sekalipun dia putra marquis tersohor. Aku tidak mungkin rela!”

“Bukankah seharusnya kau mencemaskan Pearl? Bagaimanapun dia merupakan gadis paling menarik dan cantik yang ada di Damanus.”

“Pearl bisa melindungi dirinya sendiri,” Alex membantah. Dia meraih cangkir, menghidu sejenak aroma harum dari lavendel, kemudian meminum beberapa teguk. “Kau akan menjadi sasaran empuk bagi manusia tidak tahu diri. Percayalah kepadaku, Ruby. Kakakmu ini tidak akan berbohong.”

Tawa lolos dari bibirku. “Justru engkaulah yang paling aku cemaskan. Alex, semua orang mulai mempertanyakan pilihanmu. Ada banyak lady yang ingin menjadi pendampingmu. Oh asal kau tahu, aku rajin membaca surat kabar. Jangan sampai kehilangan momentum!”

“Kenapa kau gemar mengikuti gosip payah?” Alex meletakkan cangkir dan mulai bersedekap. “Mereka, surat kabar, hanya menjual skandal. Kau mungkin belum terendus oleh anjing-anjing itu, tapi percayalah, PERCAYALAH, suatu saat mereka tidak akan meninggalkan kesempatan untuk menancapkan taring ke dagingmu.”

“Aku bukan orang penting,” balasku, sengit. “Alex, aku ingin memajukan bisnis. Ayah butuh orang sepertiku, dan itu artinya, aku tidak ingin menarik perhatian siapa pun.”

“Bagus,” Alex menyetujui ideku. Dia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Puas. “Kau juga tidak boleh menerima ajakan dansa dari Putra Mahkota. Tolak saja, paham?”

“Dia tidak mungkin mengajakku.”

... dan ternyata aku salah menilai kecemasan Alex. Suatu hari insting Alex-lah yang justru memberiku jawaban sekaligus arahan dalam melarikan diri dari masalah.

***

Selesai ditulis pada 28 Oktober 2022.

Halo, teman-teman.

YES. Akhirnya saya bisa mempersembahkan bab terbaru Ruby untuk kalian, teman-teman. Maaf ya, lama. Maklum, memasuki bab genting saya kadang butuh waktu untuk menyelesaikan tulisan. Semoga bab selanjutnya bisa lekas menyusul terbit.

Hei, saya ada proyek baru lho. Hehehehehe. Tolong mampir dong. :”) Judulnya Fantastic Love. Sekalian saya ingin tahu pendapat kalian. Huhuhu.

Hari ini di sini terang dan panas. Saya suka cuacanya. Jadi, membakar semangat saya untuk lekas menuntaskan semua naskah. Meski cuaca cerah dan indah, kalian jangan lupa jaga kesehatan, ya? Minum air putih secukupnya dan bila perlu konsumsi vitamin C. I love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें