27

6.9K 1.4K 73
                                    

“Uuuu mau,” pinta Ruby dengan mata berbinar ketika menyaksikan sekuntum bunga madu di tangan Cerkho. Bunga tersebut mirip bunga sepatu berwarna putih, mengeluarkan aroma manis, dan sangat disukai pixy. Jenis tanaman yang biasa dikonsumsi bangsa peri dan sangat terkenal. Manusia tidak bisa mengonsumsi bunga madu karena tanaman tersebut hanya tumbuh di tanah para peri saja. Cerkho sudah memberikan satu bunga madu kepada Ruby agar gadis cilik itu berhenti menangis. Cara tersebut terbukti berhasil dan sekarang Ruby ingin jatah kedua.

“Lagi,” Ruby memohon. “Uuuu lagi.”

Cerkho memangku Ruby. Mereka berdua masih berada di kamar yang berpenerangan muram. Adapun perbedaannya hanyalah respons Ruby: Dia menerima kehadiran Cerkho.

“Kau mau lagi?”

“Uuuung,” jawab Ruby sembari mengangkat kedua tangan, lupa akan keberadaan Armand yang tengah tertidur pulas. “Lagi!”

“Aku akan memberimu bunga madu,” Cerkho menawarkan. “Namun, kau harus ikut denganku menemui teman-teman yang lain.” Teman-teman yang dimaksud Cerkho tidak lain ialah para makhluk elok yang berada di luar Damanus. Mereka, tidak seperti manusia yang memandang Cerkho sebagai bagian dari kejahatan, sangat mengagumi dewa kegelapan dan memperlakukannya setara dengan dewa dan dewi lain. Tidak ada perbedaan. Adil.

Alih-alih lekas mengiakan permintaan Cerkho, Ruby menunjuk Armand. “Paman?”

“Nanti akan aku bangunkan.”

Gagak mungil yang bersarang di rambut Ruby pun berkoak, seakan mengamini ucapan Cerkho.

“Janji?”

“Dewa tidak bisa berbohong,” kata Cerkho. “Hanya manusia yang punya kegemaran memperdaya satu sama lain.”

“Ilkhi!” seru Ruby menyebutkan nama dewa tipu daya seakan menuduh Cerkho sebagai pembohong.

“Kecuali dia.”

“Tidak mau.”

“Baiklah kita akan berbicara di sini saja agar kau merasa aman, begitu?”

“Uuuung!”

Cerkho menyerahkan bunga madu kepada Ruby. Dengan senang hati Ruby mengulum putik bunga madu dan mulai mengisap sarinya. Kedua pipinya bersemu merah. Melihat itu Cerkho merasa sedikit senang. “Di sini terlalu gelap,” katanya sembari menyalakan lampu gantung beserta perapian.

Begitu cahaya menyinari kegelapan, tampak jelaslah keindahan wajah Cerkho yang membuat Ruby menganga. Dia bahkan sampai menjatuhkan bunga madu dan lupa pada rasa manis yang ditawarkan tanaman tersebut. Gagak terbang, mencengkeram kelopak bunga madu, dan menyerahkannya kepada Ruby yang tak kunjung merespons.

“Wah, akhirnya kau tahu ketampananku,” Cerkho menyuarakan kepuasaan. “Aku sampai patah hati kau menyamakanku dengan seorang pencuri rendahan. Dasar anak nakal, lain kali kaupuji aku dengan kata-kata indah seperti rupawan, menawan, atau tampan.”

“Unng?” Ruby menelengkan kepala, membuat rambutnya berayun pelan.

Cerkho meraih bunga madu dari gagak dan menyuapkannya ke mulut Ruby. Dengan senang hati Ruby mengisap bunga madu sembari memperhatikan paras Cerkho.

“Nah, kita akan membahas hal penting, Nak.”

“Kaaak!” Si gagak yang menyahut, menggantikan Ruby yang sibuk minum sari madu.

“Kau pasti sangat hebat hingga bisa meraih perhatian semua dewa dan dewi agar memberimu berkat. Aku bisa merasakan energi besar terpendam dalam tubuhmu yang mungil ini.”

Usai menghabiskan madu, Ruby pun berseru, “Kuat!”

“Sayang kau tidak mendapat perlakuan baik,” kata Cerkho dengan nada suara yang terdengar terluka. “Pamanmu yang di desa kurang tegas hingga membiarkan wanita itu menyiksamu. Kau kekurangan gizi hingga pertumbuhan tubuhmu terhambat karena faktor genetik Aveza yang selalu menuntut nutrisi. Namun, jangan cemas. Bukan berarti kau akan jadi kerdil, melainkan masa hidupmu akan berbeda dengan kebanyakan manusia di luar sana.”

“Paman?”

“Seperti paman dan kakekmu,” Cerkho menjelaskan. “Mereka seharusnya terlihat jelek dan keriput, bukan? Genetik Aveza selalu membuat pewarisnya tumbuh cepat dan ketika pada usia tertentu, dan tentunya setiap orang berbeda, mereka akan tetap memiliki penampilan seperti itu.”

“Aku?” Ruby menunjuk dirinya sendiri. “Awet muda!”

“Benar, kau akan awet muda.”

Ruby terkikik. Tawanya terdengar merdu seperti suara lonceng. Benar-benar enak didengar telinga.

“Salah satunya,” kata Cerkho sambil menyentuh pipi Ruby. “Namun, kau memiliki kelebihan lain. Kau bisa berkomunikasi dengan dewa dan dewi mana pun. Bagaimana caranya? Itu hanya bisa dijawab oleh dirimu seorang.”

“Uuuung,” protes Ruby, kedua matanya berkaca-kaca.

“Aku sengaja mendatangimu karena alasan khusus,” Cerkho menjelaskan. “Kau tahu jarang ada manusia bersedia menerima kedatanganku. Mereka selalu mengasosiasikan dewa kegelapan dengan tindak buruk. Padahal bukan aku yang bertanggung jawab atas sejumlah masalah di sini!”

“Peluk.” Ruby memeluk Cerkho. Sayang tangan Ruby pendek dan dia hanya bisa menempelkan diri saja seperti koala. “Kasihan.”

“Ya, memang menyebalkan.” Cerkho balas memeluk. “Karena kau manis aku akan membiarkan anak ini bersamamu. Kau boleh memberinya nama. Dia akan membantumu dalam berbagai hal.”

“Hanya bisa berkomunikasi dengan dewa?”

“Tidak,” jawab Cerkho. “Kau bisa belajar menggunakan sejumlah kemampuan dari dewa dan dewi tertentu, tergantung kebutuhanmu.”

“Waaaa!” Ruby menempelkan wajah ke dada Cerkho. “Waaa.”

“Aku tahu diriku memang indah, tapi jangan terlalu terpukau kepadaku,” Cerkho menasihati. “Kau juga harus melihat ke manusia.”

Cerkho berkata demikian, tapi dia tidak melarang Ruby menempelkan wajah kepadanya sama sekali. Justru senyum mengembang di bibir Cerkho.

Usai puas, Ruby mendongak dan berkata, “Orangtuaku!”

Beberapa kali Cerkho menghela dan mengembuskan napas. Dia melirik ke Armand yang tergeletak tidak berdaya, lantas memberi jawaban:

“Maaf, Nak. Sofia, ibumu telah tiada. Aku tidak akan menyarankanmu agar mencari cara membangkitkan orang yang jiwanya telah kembali bersama saudariku, Yula, sang dewi kematian.”

Gagak mulai terbang di sekitar Ruby, mengoak, kemudian mendarat di kepala.

“Akan tetapi,” Cerkho memberi pengecualian. “Aku bisa memberitahumu mengenai Nicholas Aveza, ayahmu.”

Kedua mata Ruby berbinar. Dia menyatukan telapak tangan dan berseru, “Ayah!”

“Ya,” Cerkho membenarkan. “Ayahmu masih hidup. Dia terjebak di suatu tempat bernama Ghuya. Sebuah tempat yang berisi monster serta iblis haus darah. Butuh penyihir tingkat atas, pendeta suci, dan bantuan luar biasa untuk mengeluarkan ayahmu dari sana. Kau boleh memberitahu Armand dan katakan bahwa Cerkho, dewa kegelapan, yang memberitahukan informasi ini kepadamu agar mereka bersedia mempertimbangkan saranmu.”

Cerkho paham bahwa ucapan anak kecil akan ditampik orang dewasa. Karena itu, dia pun menyentuh pergelangan tangan Ruby dan menciptakan tato berbentuk rangkaian bungan melati hitam. Bukti bahwa Cerkho telah berkunjung dan menemui Ruby.

“Hati-hatilah dalam memercayakan informasi yang aku berikan kepadamu,” kata Cerkho kepada Ruby. Dia mengecup kening Ruby dan mulai memberi berkat. “Kau akan mendapat banyak hal baik asal paham jalan mana yang harus dipilih olehmu. Jangan terlalu terpikat wajah tampan, mengerti?”

“Uuuung.” Ruby menggeleng, menolak ide menjauhi pria tampan.

“Ada banyak pria tampan dengan hati sebuas serigala. Kau tahu? Apa kau tidak cemas akan tertipu rupa tanpa mempertimbangkan kualitas seseorang?”

“Huweee,” Ruby merengek dan membuat gagak turun ke pangkuan Ruby.

“...”

“Hiks susah.”

“Pengikutku jauh lebih tampan daripada pria mana pun.”

Gagak pun menyerang kepala Cerkho.

Diterbitkan pada 17 Juli 2022.

Ruby mendapat urutan kedua prioritas setelah Lady Antagonis, ya? Hehe, terima kasih.

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now