21

7.4K 1.5K 87
                                    

Aku menyukai Carlos bukan semata karena dia terlihat/bersikap/berbicara paling normal di antara pria Aveza, melainkan alasan sentimental. 

Dalam kehidupan pertamaku, sebelum menjadi Ruby, aku tidak memiliki ingatan bagus mengenai kakek dari pihak mana pun; baik ibu maupun ayah bahkan dari kerabat jauh sekalipun. Hanya ada ingatan jelek. Semisal perlakuan. Lantaran aku tidak termasuk anak berwajah manis, setiap ada perayaan besar pastilah sepupuku yang mendapat uang maupun hadiah dari kakek.

Aku masih ingat ketika menginginkan harmonika berwarna merah. Instrumen musik sepanjang telapak tangan manusia dewasa, berbentuk pipih, dan tampak seperti benda mewah di mata anak-anak sepertiku pada waktu itu. Hal semacam itu masih bisa menciptakan ilusi hebat. Aku suka mendengarkan permainan harmonika dan merengek agar beliau, kakek itu, bersedia memberikan harmonika ke tanganku.

Akan tetapi, kakek tersebut memilih menghadiahkan harmonika ke tangan sepupuku. Seorang bocah lelaki yang lima tahun lebih muda daripada diriku. Anehnya pada waktu itu aku tidak menangis. Hanya diam dan merasa ada lubang dalam dadaku. Jenis lubang yang awalnya hanya berupa satu titik mungil kemudian perlahan membesar dan makin lebar hingga tidak bisa aku sembunyikan.

Sampai sekarang, ketika beranjak dewasa, perasaan tidak menyenangkan itu masih sanggup membuatku merasa sakit.

Sekarang segalanya berbeda.

Meskipun aku menjadi Ruby, tokoh antagonis, tetapi keadaanku jauh lebih baik daripada kehidupan lama milikku.

Semisal Carlos.

“Ruby, biarkan Kakek menggendongmu.”

Aku mengangkat kedua tangan, isyarat bahwa Carlos boleh menggendongku.

Dengan sekali raup Carlos merengkuh dan membawaku pergi dengan mudah. Di belakang kami ada beberapa pelayan yang mengekor. Armand dan Alex sudah pulang dari perburuan. Mereka berdua terlihat suntuk dan tidak bahagia. Aku sampai harus terjebak dalam pelukan Armand selama sekian menit hanya karena dia merasa kecewa tidak ada monster bagus yang bisa ditangkap Alex.

Yah itu bukan kabar yang penting. Monster pasti menakutkan dan aku tidak suka melihat hal-hal yang mengerikan. Jauh lebih bagus melihat wajah Jarga yang menawan. Kyaaa dia yang terbaik. Aku tidak keberatan digendong Jarga selama apa pun. Asal ada dia semuanya pasti akan baik-baik saja.

Hari ini cuaca cerah. Natalie mendandaniku dengan gaun berwana kuning cerah berhias gambar bunga dan daun jeruk. Sepasang sepatu kuning berbahan empuk dipadukan dengan kaos kaki berenda. Tidak lupa topi bonet yang dilengkapi pita sutra hijau. Secara keseluruhan aku siap menyambut satu hari sebagai boneka bagi Aveza.

Hmmmh aku kuat! Harus kuat!

“Ayah, sekarang saatnya aku pergi bersama Ruby.”

Clare dan Armand berdiri di depan kereta kuda. Hari ini Clare terlihat cantik dengan gaun bernuansa ungu gelap. Untung Pearl dan Alex sedang sibuk dengan pelajaran mereka. Andai tidak ... sudah pasti aku akan menjadi bulan-bulanan alias penyet.

“Apa Ruby harus diberkati pendeta?” Carlos tampak enggan menyerahkanku kepada Armand. “Bolehkah kita lewati ritual apa pun itu? Ruby sepertinya tidak keberatan menghabiskan waktu bersamaku,” ujar Carlos sembari menempelkan pipi kepadaku. “Dia sangat suka mendengar ceritaku.”

“Ayah....” Armand berusaha tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke kedua matanya.

Clare terkikik melihat perilaku suaminya. “Ayolah,” ia membujuk Carlos. “Tidak akan lama.”

“Ruby, Kakek tidak suka ide ini.”

Aku mengerjapkan mata. Ingin mengatakan bermacam hal, tetapi mental anak-anak ini benar-benar sukses memerangkap nalar orang dewasa dalam diriku. Sial. SIAL!

Mau tidak mau Carlos menyerahkan diriku kepada Armand.

Sama seperti Carlos, Armand langsung memeluk dan menempelkan pipi kepadaku. “Aaaa Ruby, kau sungguh mampu membuat suasana hatiku cerah.”

“Suamiku, Ruby sepertinya ingin menangis,” Clare memperingatkan.

“Hiiiik.” Aku mencoba menahan diri, tapi air mata telanjur berderai. “Huwaaaa Kakek! Kakek!”

Akhirnya Carlos terpaksa ikut lantaran aku, si mental anak-anak ini tepatnya, menolak dipisahkan dari Carlos.

Sepanjang perjalanan Armand tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya melihat diriku meringkuk dalam pangkuan Carlos.

“Ruby,” Armand memanggil, nada suaranya terdengar pilu dan sedih. “Paman tidak keberatan bila kau duduk di sini, bersama Paman.”

“Nnnngh,” gumamku sembari membenamkan wajah ke lengan Carlos. “Kakek!”

Semenjak Alex mengataiku berat, enggan rasanya duduk di pangkuan Armand. Kata-kata Alex menggema seperti hantu di gua. “Beraaaat. Beraaat....”

Benar-benar menyebalkan.

Kereta berhenti, salah satu kesatria Aveza membukakan pintu dan mempersilakan kami keluar dari wagon.

“Selamat datang,” sapa salah satu pemuda berpakaian jubah serbaputih dengan hiasan sulaman huruf melengkung di bagian kerah dan lengan. “Saint Magda telah menunggu kehadiran Anda.”

Tidak seperti di kediaman Aveza, pemandangan sekeliling kami dihiasi dengan bangunan dari batuan gelap yang tinggi menjulang. Pohon-pohon raksasa berdaun lebat dengan bunga-bunga mungil berwarna kuning. Semak mawar dan melati kuning tumbuh subur di sepanjang jalan menuju bangunan utama yang terbuat dari bata merah. Ada segelintir orang yang berpakaian serupa dengan yang menjemput kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tidak ada tatapan ingin tahu. Benar-benar biasa. Berbeda sekali dengan tetanggaku yang gemar mengorek informasi mengenai diriku sekadar demi kepentingan gosip dan fitnah.

“Unnnngh,” rintihku ketika ada seekor burung mungil yang hinggap di kepala Armand. Burung itu mengamatiku dengan sepasang mata gelapnya, seolah tengah menimbang, kemudian terbang menjauh ketika Armand mengusirnya. Burung tersebut memilih bertengger di ranting pohon terdekat, menolak pergi.

“Kheli,” kata si pemuda berjubah putih. “Burung pembawa kabar baik dari dewi alam, Runa.”

“Hanya petani yang memuja Runa,” kata Carlos. “Karena Runa memberikan panen yang baik. Bukan begitu?”

“Tepat sekali,” si pemuda membenarkan. “Nama lain Runa adalah dewi para petani.”

Kesatria Aveza hendak turut serta, tetapi si pemuda berkata, “Tidak boleh ada senjata. Kami berani bersumpah tidak akan ada ancaman maupun bahaya. Saint Magda sendiri yang menjamin dengan namanya.”

Meski enggan, para kesatria pun mematuhi perintah Armand. Mereka memilih menunggu.

Si burung kuning terbang dan berkicau merdu. Carlos sampai terkagum-kagum menyaksikan burung tersebut yang seperti mengekori kami bahkan sampai melewati lorong dan masuk ke dalam salah satu bangunan.

“Tampaknya ada yang disukai oleh Runa.”

“Pendeta,” kata Armand, gusar. “Berhentilah menghubungkan Aveza dengan kuil.”

Pendeta?

Sungguh mubazir ketampanannya! Pembuangan DNA dan gen!

Aaa tapi masih ada Jarga. Dia tampan.

“Uhuhuhu,” aku tertawa sembari menutup mulut dengan telapak tangan.

“Ruby kita sepertinya sedang dalam suasana hati senang,” kata Carlos.

“Semoga dia tidak memikirkan Jarga,” Armand mengomel, sesekali memelototi hiasan dinding berupa gambar paladin yang tengah menusuk jantung naga hitam. “Aku biasa melihat Ruby tertawa seperti itu di dekat salah satu kesatriaku yang berwajah tampan.”

“Ruby, kau tidak akan meninggalkan Kakek demi lelaki berwajah tampan, bukan?”

Hmmm bagaimana ini? Itu permintaan sulit.

Sangat sulit.

***
Selesai ditulis pada 29 Juni 2022.

***
Anak ayam telah kembaliiiiiiii! Siapkan spanduk dan yel-yel!

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now