26

7.1K 1.3K 78
                                    

“Uuuu huwaaa tidak mau,” Ruby merengek di pangkuan Armand. Gadis cilik itu menatap penuh harap ke luar jendela wagon. Bahkan meskipun telah dijanjikan mainan dan gaun baru, Ruby tetap bersikeras menuntut tidak mau dipisahkan dari pendeta yang namanya entah siapa. “Huwaaaaa!”

“Ke sini, Ruby,” Carlos memanggil. Dia duduk di seberang Armand. Kereta kuda melaju pelan, menyesuaikan penumpang mungil yang sedari awal terus menangis tanpa henti. “Kakek akan menghiburmu dengan cerita bagus.”

Ruby yang duduk di pangkuan Armand pun menangis tersedu-sedu. Pada hari biasa Ruby pasti menurut kepada Carlos. Namun, khusus hari ini dia menolak.

“Huwaaaa,” Ruby meraung.

Begitulah anak kecil ketika telah membulatkan tekad.

Carlos tampak terluka. Dia menyentuh dada seolah ada anak panah yang terbenam di jantung. Sakit.

“Akhirnya Ayah merasakan penderitaanku,” Armand mengomentari ekspresi Carlos yang pucat bukan main. “Ini tidak akan menjadi pertama dan terakhir,” ia memperingatkan. “Hal semacam ini bisa terjadi kapan pun dan di mana pun. Tidak mungkin kita mengajukan tuntutan kepada kerajaan agar semua pemuda rupawan harus hengkang dari Damanus. Paduka pasti akan memperolok permintaan kita dan menganggap ada yang salah dengan Aveza.”

Wajah Ruby terlihat merah sempurna. Persis tomat matang. Air mata tiada henti berderai membasahi pipi. Sementara pelipisnya yang telah diobati tertutup plester. “Huwaaaa!” jeritnya sekuat tenaga. “Tidak mau pulang!”

“Armand, ajukan permohonan kepada Saint Magda agar mengirim pendeta tersebut ke zona peziarah. Biarkan dia merasakan kerja keras di masa muda.”

“Abaikan pendeta itu,” Armand menasihati ayahnya. “Dia tidak penting. Adapun yang perlu kita perhatikan ialah, anak-anak konyol yang menyerang Ruby. Kita harus mengirim tuntutan dan pastikan kapal dagang mereka tenggelam. Biarkan mereka merugi dan menuai akibat perbuatan anak-anak mereka.”

Baik Armand maupun Carlos langsung mencapai kesepahaman. Tidak ada yang boleh melukai Ruby tanpa menerima balasan. Apa pun alasan mereka, bocah-bocah nakal tersebut, melempar batu kepada gadis cilik merupakan perbuatan tercela.

“Huwaaaa kembali!” Ruby menuntut, kedua tangannya mencengkeram tangan Armand. “Huweee kembali ... ke sana!”

Dengan penuh kasih sayang Armand mencoba meredakan tangis Ruby. Meskipun beberapa kali Ruby meronta di atas pangkuan Armand, tetapi ia tetap berusaha mengalihkan perhatian Ruby dari pendeta pujaannya ... pendeta yang sebentar lagi akan dipindahtugaskan ke wilayah baru berkat promosi dari Aveza. Jalur khusus yang tak mungkin ditolak begitu saja.

“Ruby, lebih tampan Penyihir Jarga atau si pendeta?”

Kali ini begitu mendengar pertanyaan Carlos, Ruby langsung terdiam. Sembari sesengukan dia memberi jawaban dengan suara sengau akibat ingus di hidung. “Jarga!”

Tubuh Armand mendadak kaku begitu nama Jarga keluar dari mulut Ruby.

“Kakek akan mencoba mengirim undangan kepada Jarga,” Carlos menjelaskan. “Ruby, tolong dengarkan permintaan Kakek. Jangan menangis, ya? Kakek pasti akan menepati janji. Nah, sekarang ayo kemari, temani Kakek.”

“Jarga?”

Carlos mengangguk. “Jarga,” ulangnya memberi penegasan bahwa itu bukan janji biasa. “Nanti akan Kakek undang.”

“Ayah....”

“JARGA!” Ruby langsung meronta dan meminta pindah pangkuan. Sesungguhnya Armand hendak menolak, tapi bila tidak dituruti maka Ruby akan menangis lagi tanpa henti.

“Jarga,” kata Carlos dengan nada suara yang terdengar bahagia. Dia menerima Ruby dari Armand yang terlihat terluka karena Ruby pindah tempat. Sekarang Carlos mendudukkan Ruby di pangkuannya. Ruby menguap, mulai menggosok kedua mata, sebelum kemudian jatuh tertidur. “Armand, pastikan agar Jarga tidak terlalu lama di rumah kita.”

“Lalu, kenapa Ayah berjanji mengundang Jarga?”

“Agar Ruby tidak berpaling kepada Giham,” Carlos menjelaskan. “Menara Sihir tidak semudah itu menerima sembarang orang sekalipun Aveza. Mereka memilah dan hanya mau menerima lelaki sebagai anggota. Itu artinya meski Ruby senang dengan Jarga, dia tidak akan bisa bergabung dengan Menara Sihir. Namun, beda cerita dengan kuil. Mereka tidak memilih. Semua orang, jenis kelamin, bahkan latar belakang mana pun tetaplah sama.”

Sekarang Armand paham siasat yang dipilih Carlos. Setidaknya dia bisa mengendalikan Jarga dengan beberapa hal, berbeda dengan kuil. Begitu Ruby jatuh ke tangan Kepala Pendeta, niscaya hal buruk pasti membentang di depan masa depan Ruby.

Perlahan napas Ruby mulai teratur, tapi wajahnya masih saja merah. Armand melepas sarung tangan, menempelkan telapak tangan ke pipi Ruby. Kening Armand pun berkerut begitu merasakan suhu badan Ruby. “Demam,” katanya. “Pasti karena terlalu sering menangis!”

“Ini karena kau yang tidak mau membiarkanku duduk di lingkaran suci!”

“Mana bisa kita mengusik ketentuan dewa dan dewi? Lupakan mencari kambing hitam!”

Kereta pun melaju kencang menuju kediaman Aveza. Pada waktu itu kusir bersumpah tengah mempertaruhkan nyawa demi bisa sampai secepatnya.

*

Suasana malam di kediaman Aveza terasa sunyi, terutama di kamar Ruby. Armand bersikeras mengajukan diri berjaga di dekat Ruby yang suhu tubuhnya belum juga turun. Gadis cilik itu tidur di ranjang dan berkali-kali mengigau.

Armand berusaha mempertahankan diri agar tidak jatuh tertidur, tapi kedua matanya mendadak sulit diajak berkompromi. Alhasil dia jatuh tertidur di samping Ruby.

Sebenarnya bukan Armand saja, melainkan seluruh penghuni Aveza jatuh tak sadarkan diri dalam tidur nyenyak.

“Kasihan.”

Cerkho, dewa kegelapan, menampakkan diri dalam wujud manusia. Dia mengenakan toga hitam berhias emas dan intan. Rambut Cerkho segelap sayap burung gagak, sementara kedua matanya berwarna merah muda, dan kulitnya amat pucat. Dia berdiri di dekat ranjang Ruby, memperhatikan gadis cilik yang tampak tidak nyaman dalam tidur.

“Anak kecil memang mudah sakit, ya?” ujarnya seraya menelusuri kening Ruby dengan ujung jemari. “Aku belum sempat menemuimu. Kau sepertinya suka dengan tampilan manusia daripada hewan. Padahal hewan lebih mudah dipahami daripada pikiran manusia.”

Perlahan suhu tubuh Ruby turun. Sekarang napas Ruby kembali stabil.

“Ayo bangun, Nak,” ujar Cerkho sembari mencubit pelan pipi Ruby. “Aku sengaja meluangkan waktu agar kita bisa berbincang.”

Kedua mata Ruby mulai terbuka. Pada awalnya dia terpukau menyaksikan Cerkho yang sedang tersenyum. Namun, tiba-tiba kedua mata Ruby berkaca-kaca. “Maliiiiiiiing! Huwaaaaaa!”

“...”

“Huwaaaa pencuri! Pencuri!” Ruby mulai berguling, bermaksud merangkak mendekati Armand yang tak sadarkan diri. “Bangun! Huwaaaa! PAMAN!” Dia menggoyang lengan Armand yang tidak juga merespons panggilan Ruby. Kemudian Ruby hendak turun, tetapi sisi ranjang yang ia pilih tidak ada bangku yang biasa ia pakai untuk turun. Alhasil dia menatap Cerkho dan kembali meraung.

“Aku bukan pencuri, Anak Manis.” Cerkho mengulurkan tangan. Dari dalam telapak tangannya muncul burung gagak mungil yang langsung terbang mendekati Ruby. Burung itu mendarat di kepala Ruby dan mulai mematuk beberapa helai rambut. “Lihatlah baik-baik.”

“Uuuu maling.” Ruby sesengukan. Sama sekali tidak peduli dengan penjelasan Cerkho. “Pencuri!”

“...”

***
Selesai ditulis pada 9 Juli 2022.

***
Selamat membaca, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang