32

6.5K 1.2K 54
                                    

Hari kedua Nicholas berada di kediaman Aveza, ia menyadari beberapa hal terkait Ruby. Pertumbuhan tubuh, Ruby kadang terpatah-patah ketika bicara, dan sifat Ruby yang sama sekali tidak mencerminkan bocah delapan tahun. Di mata Nicholas putrinya lebih pantas disebut balita empat tahun daripada anak delapan tahun.

Sekali lagi tusukan tajam menyengat Nicholas. Tusukan tajam yang disebut sebagai rasa bersalah.

"Uuuung," Ruby memanggil.

Suara Ruby menyadarkan Nicholas dari lamunan. Dia tengah duduk di bangku, menyaksikan Alex dan Pearl berlatih pedang. Armand menjadi pembimbing mereka berdua, sementara kesatria lain menyebar-memberikan ruang bergerak bagi tuannya.

Dahulu Nicholas pun sempat merasakan pengalaman serupa. Carlos tidak bisa disebut guru yang penyabar. Lelaki itu, Carlos, tidak segan menyuruh Armand maupun Nicholas berlari mengelilingi lapangan sebanyak dua puluh kali putaran. "Ayah dulu sempat mengalami neraka keji di bawah asuhan kakekmu," katanya sembari memeluk Ruby yang ada di pangkuan. Gagak terbang berputar-putar di sekitar Nicholas, mengoak, kemudian mendarat di bangku. "Ruby tidak perlu berlatih pedang."

"Uuuung," jawab Ruby sembari mencengkeram helaian rambut Nicholas. "Tidak perlu."

Beberapa pelayan wanita yang bertugas mengikuti Pearl dan Ruby tidak sanggup menyembunyikan rona di wajah mereka. Pertama, karena mereka, para pelayan, bermaksud mencuri pandang ke salah satu kesatria yang berstatus lajang. Kedua, Armand dalam balutan pakaian berlatih terlihat memukau. Ketiga, Nicholas yang tengah memangku Ruby sungguh sangat menenteramkan jiwa.

Apalagi siang ini Ruby mengenakan gaun putih berhias bunga-bunga merah muda. Natalie telah memasangkan topi bonet agar Ruby tidak kepanasan. "Paman," panggilnya sembari menjulurkan tangan. "Paman!"

Keringat membuat pakaian Armand melekat, memamerkan garis bahu dan dada yang kekar. Bahkan siluet otot perut pun terpampang sempurna bagi mata yang jeli. "Ah Ruby," sahutnya sembari melambaikan tangan, lupa bahwa kedua anaknya menatapnya dengan pandangan membara. "Paman akan segera ke sana," katanya dengan nada suara riang. "Pearl, coba berlatih menebas boneka jerami. Alex, sebaiknya kau berlari sepuluh putaran penuh."

"Ayah!" seru Pearl dan Alex, serempak. Tentu saja protes tersebut tidak dihiraukan oleh Armand yang langsung melesat melintasi lapangan dan menuju Ruby.

"Lima meter," kata Nicholas, dingin. "Jangan sentuh putriku."

"Kau penumpang gelap," balas Armand, sengit. "Bukan count apalagi baron, hanya kesatria. Menurutmu kau sanggup menghidupi Ruby hanya mengandalkan kebaikan peziarah. Setahuku kau bahkan belum berhasil memenangkan tanah mana pun. Dengan kata lain, kesatria Aveza jauh lebih berpenghasilan daripada dirimu, Nicholas."

Keduanya saling adu pandang. Semua orang bisa melihat petir khayalan menggelegar di balik tubuh mereka, Armand dan Nicholas. Apabila mata merupakan senjata tajam, maka sudah pasti pelototan mereka akan membuat orang sekitar mati bersimbah darah.

"Paman!" Kedua mata Ruby berbinar, fokus ke Armand yang tampak gemerlap oleh keringat. "Uhuuu, Paman!" Ruby meronta, mencoba turun dari pangkuan Nicholas. "Ayah, ingin bersama Paman!"

Armand pun memamerkan senyum kemenangan. Dengan penuh percaya diri dia meraih Ruby. "Sini, biar Paman hadiahi dirimu dengan ciuman sayang," ujarnya sembari mengecup pipi Ruby yang seperti bolu. Beberapa pelayan menghela napas menyaksikan Ruby yang terkikik dan menempelkan kedua tangannya di wajah Armand. "Kau harum seperti permen. Sebaiknya nanti malam kau tidur bersama Paman dan Bibi, ya?"

"Dia anakku," protes Nicholas. Dia bangkit, hendak merebut Ruby. "Kembalikan."

BRAAAK. Kedua lelaki itu pun menoleh ke sumber suara. Sebuah boneka jerami berhasil dihancurkan oleh Pearl. Sekarang gadis itu menghunjamkan pedang ke tanah dan langsung berlari menghampiri Armand. "Ayah, aku juga ingin menggendong Ruby!"

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now