66

2.6K 490 11
                                    

Hari-hariku berisi persiapan debut. Latihan dansa, etiket, sesuap pendidikan mengenai hierarki, belajar bertutur sebagaimana aristokrat, dan sebagainya. Intinya? Melelahkan. Ung lebih sering menemaniku dengan cara menghabiskan anggur yang Natalie persiapkan daripada “sunguh-sungguh” ingin memberi semangat berupa dukungan moral. Kadang aku bertanya-tanya perihal tubuh Ung yang tidak bertambah, selain perutnya, alias kenapa dia mungil—tidak seperti gagak kebanyakan?

Lupakan Ung, aku memiliki jadwal padat! Persiapan, persiapan, dan persiapan. Bisa saja Nicholas menyelenggarakan debut secara mandiri. Namun, aku menolak.

Pertama, buang-buang uang. Bayangkan jumlah dana yang perlu digelontorkan untuk biaya konsumsi, akomodasi, dan ekstra bagi para tukang lembur? Jauh lebih murah ikut ramai-ramai di istana daripada sok kelihatan elite. Bagiku, uang tidak baik dihamburkan untuk orang asing. Ini uangku! Uangku! MILIKKU!

Kedua, dengan ikut beramai-ramai jelas aku tidak akan terlalu menarik perhatian. Tentu saja aku butuh koneksi. Siapa yang tidak butuh relasi bisnis? Tidak ada. Di istana jelas berhamburan para ikan emas yang bisa kujala. Akuarium milikku akan dipenuhi ikan emas-ikan emas gemuk. Efisien, ‘kan? Sambil menyelam minum air. Akan kumanfaatkan debut istana sebagai batu lonjakan.

Ketiga, sekalian aku promosikan bisnis Nicholas. Berhubung papaku yang keren dan tampan itu sering ditugaskan membasmi monster, beberapa anggota tubuh monster pun diolah menjadi senjata dan pernik lucu. (Aku serius ini. Memang ada perhiasan imut.) Debut bisa dijadikan ajang iklan gratis. Oh betapa hebat otakku, Cerkho pasti bangga kepadaku hehehehehe.

♦♦♦

Begitu mendekati hari H, aku pun berangkat menuju ibukota. Alex dan Nicholas terlihat jauh lebih waswas daripada diriku. Sesekali mereka berunding mengenai putra dari lord A dan mungkin beberapa kesatria muda yang ikut hadir dalam debut di istana.

“Paman, aku akan pastikan tidak ada satu orang pun berani menyentuh Anak Ayam.”

Lalu, Nicholas pun tidak kalah seram memamerkan seringai yang bagiku amat menggelisahkan. “Keponakan, kali ini aku sependapat denganmu.”

Aku pura-pura tidak mendengar percakapan mereka dan lanjut menandaskan makan malam di hotel. Beberapa kali kami harus singgah ke hotel maupun penginapan sebelum akhirnya sampai di ibukota.

Keluarga lady yang tidak memiliki kerabat dekat di ibukota mungkin akan menginap di istana maupun di hotel. Aku tidak perlu melakukannya. Kediaman Aveza jaraknya tidak terlalu jauh (oh ya beberapa jam mungkin) dari istana. Setelah sekian tahun, rasanya aku dilanda emosi begitu menginjakkan kaki di tanah Aveza.

Armand langsung menyambutku dengan pelukan erat. Sembari menimangku dalam ayunan pelan dia berkata, “Ruby, Paman rindu sekali kepadamu.”

Tidak banyak perubahan di kediaman Aveza. Beberapa bunga eksotis berwarna merah ditanam di sepanjang pagar pembatas, mengundang kupu-kupu maupun burung mengisap madu. Pohon-pohon dengan bunga ungu pucat ditanam di dekat gerbang masuk. Sesekali aku merasa seolah-olah ada peri mungil tengah bersembunyi di antara daun maupun kelopak bunga—berharap mendapat perhatianku.

Hoh kepalaku mulai dipenuhi narasi Bronte mengenai taman, surga alam, dan langit musim semi akibat tersentuh sedikit perasaan rindu rumah. Andai saja aku bisa menyodorkan novel Bronte kepada Nicholas dan menunjukkan betapa keji cinta bila tidak diimbangi dengan empati dan nurani.

“Aku selalu menulis surat setiap minggu untuk Paman, bukan? Bukankah Ayah juga mengirim rekamanku?” Kubiarkan Armand melepas seluruh kerinduan kepadaku. “Jangan bilang aku harus menulis surat setiap hari, ya?”

“Mana bisa dibandingkan dengan bertemu langsung?” Armand mengeluh, tidak setuju dengan candaanku. “Pamanmu ini hatinya lembut dan mudah patah.”

Genetik Aveza bukan main....

Padahal aku merasa bangga sudah bisa tumbuh, walau bukan 160 sentimeter, dan berharap bisa menghapus image balita kurang gizi dari benak semua orang. Namun, begitu kembali ke kandang Aveza ternyata sia-sia belaka. Armand masih terlihat ganteng dan sepertinya hukum penuaan tidak berlaku untuknya. Sama seperti Nicholas yang justru makin terlihat ranum dan mengundang lalat-lalat mencicipinya. Oh tidak, bagiku semua lady maupun madam yang mengincar ayahku adalah hama. Andai saja mereka, para pelamar posisi ibu tiri, tidak terlalu pamer dada dan obral minyak wangi, maka aku tidak akan terlalu letal kepada mereka. Sayangnya, hmmmmm. Minyak, minyak, minyak oh!

“Cukup memeluk putriku.” Nicholas mencengkeram pinggangku, dengan lembut dan aman, kemudian menarikku menjauh dari jangkauan Armand yang kini mendesis. “Kau punya Pearl.”

“...”

Aku lupa, kadang Nicholas bisa sangat menyebalkan.

♥♥♥

Ketika para manusia sibuk berdebat mengenai Ruby, Ung—si gagak—memilih bersarang di rambut Alex. Dia sama sekali tidak tertarik turut campur dalam perebutan kekuasaan “siapa yang paling berhak menghabiskan waktu bersama Ruby”.

Dahulu pun selalu seperti ini. Ung menyaksikan dewi dalam setiap inkarnasi, dengan manusia, dengan monster, maupun iblis. Dia kadang bisa menemaninya, di lain waktu Ung terpaksa mundur karena keberadaannya akan membahayakan inkarnasi dewi atau keberadaannya berupa anomali bila dipaksakan berdekatan dengan dewinya. Monster, iblis, dan binatang tidak terlalu mempermasalahkan tampilan luar. Namun, beda cerita dengan manusia. Sebagai makhluk pecinta visual, manusia akan menilai seseorang dari tampilan terlebih dahulu sebelum memulai penjajakan. Ung di mata manusia pastilah setara dengan ancaman.

Sekarang Ung tidak bisa melindungi dewi sebagaimana dirinya dulu. Sebab ada syarat yang perlu dipenuhi yakni, ingatan. Dewi haruslah sadar mengenai eksistensinya apabila ingin memanfaatkan kesaktian utama. Kekuataan Ung terhubung dengan sang dewi, tapi sejauh ini dewi tidak pernah ingat kepada kehidupan sejatinya.

“Kaaaak,” rengek Ung, kesal. Dia mematuk sejumput rambut Alex dan menariknya seolah itu cacing yang bisa dimakan. “Kaaaaak!”

Ung patah hati.

♫♫♫

Alex mulai turun dari kuda, sama sekali tidak peduli dengan Ung yang kini berkoak tanpa ampun seolah burung itu baru saja dicampakkan kekasihnya. Tidak jauh darinya Armand dan Nicholas tengah bertatapan, sengit, dan sepertinya akan memicu perkelahian. Kakak dan adik, mereka berdua jauh dari kata harmonis.

“Jauhkan tanganmu dari putriku!” teriak Nicholas seraya membenamkan wajah Ruby di dadanya. “Aku ayahnya! Aku!”

“Aku pamannya,” balas Armand. “Kau bahkan tidak tahu punya anak andai aku dan Ayah tidak datang menjemput!”

Alex memilih diam. Dia ingin pura-pura tidak menjadi bagian dari Aveza.

“KAAAAK!”

... dan sepertinya gagak gembul yang memilih bersarang di kepala Alex mulai ikut menyumbang kepedihan.

“Ada apa denganmu, Ung?” tanya Alex. Dia menjulurkan tangan, meraih Ung yang mati-matian mempertahankan dominasi pemilik sarang rambut indah menawan Aveza, kemudian meletakkannya di telapak tangan. “Apa kau ingin makan anggur?”

“KAAAK!”

Kali ini Ung mematuk ibu jari Alex. Berhubung Alex memakai sarung tangan, Ung hanya mampu melampiaskan serangannya dalam bentuk gerakan sehat yakni, bergulung-gulung seolah akan menjadi adonan kue.

“Apa Ruby tidak pernah memberimu makan?”

“Kaaaak!”

Alex mengoreksi keputusannya menawarkan makan. Bahkan gagak pun bisa bersikap aneh.

Selesai ditulis pada 6 Januari 2023.

Halo, teman-teman.

Maaf lama. Saya sedang berusaha memulihkan kebiasaan nulis. Hehehe. Setelah sakit tahun kemarin, saya nggak berani nekat ketika badan nggak enak. Hihihi takut ambruk. Semoga saya bisa lekas menamatkan Ruby seperti rencana awal saya. Hmmm atau udahan aja? Digantung? Wkwkwkwkwkwk. Uhuk. (Kabur!)

Jangan lupa jaga kesehatan, ya? I love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin