74

1.6K 299 9
                                    

Pearl berhasil menghindar tepat ketika sengat monster hampir saja melubangi dada. Sengat menghunjam tanah dan meretakkan lempengan batu. Sebenarnya sekalipun sengat tersebut berhasil menyentuh target, titik vital, zirah yang Pearl kenakan terbuat dari sisik monster. Bahan tersebut ringan, tapi terbukti ampuh sebagai tameng. Penemuan pakaian perang berbahan ringan merupakan ide cemerlang Ruby yang dikembangkan oleh Nicholas. Sekarang Pearl bersyukur penemuan sepupunya berhasil selesai sebelum bencana dimulai. 

Malapetaka, monster, dan wabah. Ketiga hal tersebut terjadi secara merata di sepanjang daerah pinggiran maupun kota. Raja Rudolph memerintahkan pengiriman pasukan ke sejumlah titik. Alhasil Pearl dan kakaknya pun turut serta dalam misi.

Seperti saat ini.

Monster meraung, memamerkan deretan gigi setajam belati. Makhluk itu tidak memiliki wujud yang bisa dijabarkan oleh apa pun. Tubuh menyerupai lipan, setiap kaki serupa milik hewan berkuku belah, memiliki delapan pasang mata yang mengumpul jadi satu di dahi, ujung sengat meneteskan cairan kental berwarna hitam, dan empat pasang capit siap meremukkan apa pun.

Setiap kesatria yang Pearl pimpin sibuk berjuang membinasakan monster. Tidak satu pun di antara mereka gentar. Pedang menghantam cakar. Tombak menembus cangkang. Darah mengalir membasahi tanah. Raungan dan erangan berpadu jadi satu.

Tidak ada waktu untuk keraguan.

Sekali lagi sengat meluncur. Kali ini Pearl memutuskan menghantamkan pedang hingga membelah sengat menjadi dua bagian sampai ke akar. Monster itu meraung seiring darah hijau mengucur keluar dari luka. Momen tersebut Pearl manfaatkan dengan cara mengincar bagian kepala si monster. Dia melompat, mendarat tepat di dahi monster tersebut, dan tanpa membuang waktu menghunjamkan pedang. Teknik bertempur milik Pearl terbilang kasar dan ganas. Dia tidak hanya sekadar menancapkan pedang, tapi menyeretnya sembari berlari menyusuri bagian punggung si monster. Akibatnya darah pun tumpah ruah seperti air bah.

Sampai di ujung pemberhentian, Pearl melompat dan mengabaikan monster yang meliuk-liuk dan menggelepar seperti ikan yang ditarik keluar dari air. Makhluk itu tidak memiliki harapan hidup, selesai. Pearl siap mengincar monster yang lain.

“Argh!”

Salah satu kesatria terpojok. Seekor monster singa memamerkan taring. Pearl berlari dan mengarahkan pedangnya yang masih segar oleh darah monster beracun tepat di bagian perut si singa. Lantaran senjata Pearl sempat bersentuhan dengan bisa monster, makhluk yang satu ini pun tidak hanya menderita luka akibat sayatan, tapi juga keracunan.

“Ketua....”

“Simpan ucapan terima kasihmu setelah kita berhasil membereskan seluruh kekacauan ini,” ujar Pearl sembari menarik pedang keluar dari tubuh monster.

Malam masih panjang, tetapi monster takkunjung memperlihatkan tanda-tanda akan surut.

“Akan kubasmi kalian semua!” teriak Pearl kepada sejumlah monster.

***

Sama seperti Pearl, Alex pun menghadapi tantangan serupa. Dia dikirim ke pesisir demi menumbangkan para monster yang mecoba merangkak keluar dari perairan menuju daratan. Tidak seperti Pearl, kakaknya mencoba metode lain yang jauh lebih destruktif. Sejumlah meriam, baik yang harus diisi oleh peluru maupun harpun, berjejer rapi. Di belakang meriam pasukan bersiap dengan berkotak amunisi.

Penerangan berasal dari bulan dan batu sihir yang terpancang di sepanjang titik. Masing-masing meriam mulai memuntahkan peluru. Setiap peluru meledak begitu bersentuhan dengan monster. Sesuai dengan perkiraan Alex, monster pun hancur berkeping-keping.

Akan tetapi, hal tersebut sama sekali tidak menyurutkan semangat monster yang lain. Mereka terus bergilya menapaki pasir dengan semangat menggebu. Wujud tiap monster tidaklah sama. Ada yang memiliki kepala perempuan cantik dan tubuh ular, ada yang bersisik seperti ikan, adapula yang wujudnya tidak mirip makhluk apa pun kecuali gumpalan lendir.

Sekali lagi Alex memberi perintah mengarahkan moncong meriam ke para monster. Hantaman dan ledakan terjadi. Suaranya jauh lebih menyakitkan daripada lolongan angin laut.

Tepat di langit ada sekumpulan ular bersayap. Mereka bergerak dari arah selatan ke pusat kota. Kali ini Alex memerintahkan meriam mengarahkan bidikan ke salah satu ular terbesar. Harpun pun meluncur, menombak jantung monster, dan membuatnya meluncur jatuh menghantam laut. Harpun yang lain pun mengenai sasaran satu demi satu.

Senjata mematikan. Hasil penemuan Ruby.

Alex tahu sepupunya memang tidak memiliki kemampuan khas Aveza, tetapi lantas tidak berarti Ruby sekadar cangkang kosong. Armand dan Carlos tidak bersedia memberikan penjelasan lebih lanjut terkait keterkaitan Ruby dengan kuil. Dia mengamsusikan mereka takut Ruby akan dimanfaatkan karena penemuannya yang memang sangat menakutkan untuk ukuran mesin penghancur.

“Tembak!”

Sekali lagi peluru dan harpun meluncur.

Langit dan air laut pun menjadi merah.

***

Ayah tidak mengizinkanku ikut ke daerah konflik. Dia menyuruhku tinggal di rumah. Seolah aku akan diam saja. Selalu ada celah dan aku siap memanfaatkan momen apa pun demi memastikan keselamatan ayahku yang kadang menyebalkan bukan main.

Berdasarkan informasi dari Natalie, Ayah berencana bergabung dengan paladin. Ada kemungkinan dia akan bertemu Viren. Semoga saja mereka berdua bisa bekerja sama.

“Kwaaak!”

Ung mengetuk kaca jendela dengan paruhnya. Malam ini bulan tampak bulat. Seharusnya aku merasa tenang, tapi nyatanya tidak. Cerkho tidak mau memberiku informasi apa pun terkait kemunculan monster. Dia hanya memberiku saran agar berhati-hati pada variabel tidak terduga.

“Kau pasti ingin ikut bertempur, ya?”

Aku menggaruk kepala Ung, membiarkan burung itu protes.

“Kita tidak mungkin bisa ke sana tanpa bantuan Cerkho. Zagda dan Zan mungkin bersedia memberiku tumpangan. Andai saja kau bisa membawaku pergi ke sana, Ung.”

“Kwaaak!” Ung mengepakkan sayap, memamerkan dadanya dan berlagak seolah permintaanku tidaklah sulit.

“Dasar tukang pamer. Kau ini mungil. Mana bisa memindahkanku ke sembarang tempat?”

“...”

Aku menghela napas dan mengembuskannya secara perlahan. Beban dalam kehidupanku yang ini amat tidak mudah. Sekalipun kesaktian ada dalam darahku, bukan berarti bisa kumanfaatkan dengan sesuka hati.

Ung terbang dan hinggap tepat di atas buku. Aku menghampiri Ung. Dia sibuk mematuk setiap halaman, membukanya dengan cakar, dan menunjukkan salah satu halaman kepadaku.

Tidak seperti ilustrasi yang hanya memamerkan warna hitam dan putih, ilustrasi yang tercetak di halaman tersebut berwarna. Seorang wanita bersayap hitam. Dia memiliki rambut merah darah dan tengah menunggangi gagak raksasa. Berbeda dari gagak pada umumnya, burung yang satu ini memiliki ekor panjang seperti merak jantan. Ekor dihiasi oleh butiran permata. Indah. Menawan. Di bawah ilustrasi tertulis sebuah nama.

Kleana.

Jantungku berdebar kencang, membuatku kesulitan bernapas. Hawa dingin mulai menjalari tubuh. Selama sesaat aku kelimpungan, hampir jatuh, dan bisa bertahan karena mencengkeram meja.

“Kleana....”

Ribuan pengelihatan menghantamku dalam sekali pukulan. Semua gambaran seperti potongan film menjejali kepalaku. Semua gambaran itu seperti milikku sekaligus bukan. Tenggorokkanku tercekik dan suara teriakan seolah terbungkam begitu saja.

“Kleana.”

Namaku.

Nama sejatiku.

Selesai ditulis pada 14 Mei 2023.

Akhirnya saya bisa menuliskan episode terbaru Ruby. Yes!

Sekali lagi saya peringatkan bahwa Ruby kemungkinan tidak ... hmmm ceria? Riang? Oh anggap saja isinya pembantaian. Pernah baca tulisan saya yang Crimson Rose dan Goodbye, Juliet. Nah! Ini sejenis dengan itu. :”) Saya sudah peringatkan. Hahahahahahahahaha!

(0_0) Saya sudah peringatkan. 

Udah gitu saja. Hehehe. Jangan lupa jaga kesehatan dan hati-hati ketika berkendara.

Love you fuuuuuuuuuullllllll!

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now