45

5.3K 1K 14
                                    

Monster-monster tidak berani menampakkan diri di sekitar perkampungan. Biasanya mereka akan langsung mengincar ternak maupun anak-anak yang lengah dari pengawasan orang dewasa. Begitu pasukan Nicholas tiba maka, monster-monster memilih bersembunyi di hutan dan mengamati dari jauh.

Ash dan mawar hitam mulai ditanam di sepanjang area yang berbatasan langsung dengan hutan. Penyihir dan pendeta bahu-membahu bekerja sama menyukseskan rencana penyelamatan dengan cara menyuntikkan energi ke dalam tanaman.

Adapun yang membedakan penyihir dan pendeta dalam proses penanaman ialah pada metode. Penyihir memanfaatkan energi dari batu-batu tertentu, jenis batu yang memang mengandung mana, sementara pendeta memanggunakan berkat mereka. Hanya pendeta yang memiliki berkat dari Runa, dewi alam, sajalah yang mampu memanipulasi tanaman. Mereka membutuhkan waktu selama beberapa saat sebelum bisa menjalankan misi.

Sekarang tinggal beberapa lahan saja yang perlu diamankan. Nicholas harus memastikan wilayah tersebut telah dibentengi sebelum memutuskan memburu monster terganas yang menyebabkan kekacauan ekosistem.

“Ini yang terakhir,” kata Hugo sembari mencabut pedang dari kerongkongan monster. Makhluk itu memiliki wujud menyerupai kerbau dengan tanduk tajam dan ekor berupa sengat. “Lord, apa Anda membutuhkan tanduk monster yang ini?”

Nicholas mengangguk. “Ya,” jawabnya. “Tanduk dan sengatnya.”

Di belakang Nicholas ada gunungan yang tersusun dari monster-monster yang telah berhasil dikalahkan olehnya. Baik paladin, kesatria, maupun penyihir hanya mampu menatap teror dengan mulut menganga dan mata membulat. Sebagian besar monster merupakan korban milik Nicholas, yang lain milik Hugo, dan sisanya (yang amat kecil) milik segelintir orang normal. Jenis orang yang tidak tertarik mengayunkan pedang dan mencacah monster sambil memamerkan seringai gila seakan tengah menyambut jamuan mewah.

Hugo, meskipun seorang paladin, sama sekali tidak mencerminkan watak pengasih ketika terjun ke medan laga. Dia lebih mirip sebagai pembantai. Semua monster langsung takluk dan binasa begitu berhadapan dengan Hugo.

Akan tetapi, Nicholas Aveza justru lebih mengerikan daripada Hugo. Di luar saja dia terlihat seperti bangsawan pesolek yang tampaknya tidak mengenal cara membantai monster. Namun, begitu monster melaju ke arahnya ... hanya ada kematian. Itu saja. Dia bahkan tidak menyeringai ataupun mengeluarkan suara tawa kesetanan ketika membantai, hanya tatapan dingin dan membuat siapa pun berpikir dua kali menjadikan Nicholasa Aveza sebagai kawan duel.

“Saya yakin jumlah mereka akan semakin bertambah lantaran terdorong kebutuhan perut,” ujar Hugo. Dia mengamati Zeno yang mulai memberikan arahan kepada kesatria Aveza agar memotong cangkang dan memisahkannya dari anggota tubuh monster. “Hobi Anda sangat menarik.”

“Sir Jachim, aku tidak paham dengan etika bertarungmu.” Nicholas mengerutkan dahi ketika menyaksikan seorang pendeta yang terhuyung ketika melihat kepala monster kerbau. “Aku pikir paladin akan lebih elok ketika bertempur.”

“Saya sebenarnya sempat diminta sebagai salah satu kesatria di istana,” Hugo menjelaskan. Dia berdiri di samping Nicholas, tampak mengagumi gunungan monster. “Namun, orang yang saya ingin temui tidak bekerja di istana. Saint Miya, saint sebelum Saint Magda, membuat saya terpesona dan merebut seluruh perhatian saya.”

Nicholas tahu bahwa Saint Miya mangkat pada usia 89 tahun. Usai memberikan jabatan kepada Saint Magda, Saint Miya mengembuskan napas terakhir beberapa hari setelahnya. “Dia sangat terkenal dengan kemampuan meramal.”

“Benar,” Hugo mengakui. “Namun, Saint Miya menolak memberikan ramalan apa pun. Dia hanya bersedia memberikan ramalan kepada segelintir orang, termasuk Pendeta Sofia.”

Mendengar nama Sofia terlontar dari mulut Hugo, Nicholas pun bertanya, “Kau mengenal Pendeta Sofia?”

Hugo mengangguk. “Saya tidak terlalu kenal secara dekat,” jawabnya. “Kecuali informasi bahwa dia termasuk salah satu kandidat yang digadang akan menjadi penerus saint. Entah mengapa dia memilih mengundurkan diri dan meninggalkan Giham. Saat itu Kepala Pendeta meminta Ketua Paladin agar membujuk Pendeta Sofia. Namun, Ketua Paladin pun pulang dengan tangan kosong.”

Ilya Zeni. Ketua paladin yang membuat Nicholas merasa kesal lantaran kedekatannya dengan Sofia di masa lalu. Paladin yang selalu membuat Nicholas berpikir bahwa baik Ilya maupun Sofia memiliki hubungan khusus yang tidak bisa ditembus oleh dirinya sampai kapan pun.

“Tuan Zeni,” kata Nicholas ketika tengah berada dalam satu misi bersama Ilya Zeni. “Apa maksudmu dengan ‘aku tidak boleh mendekati Pendeta Sofia’?”

“Sir Aveza, Pendeta Sofia bukanlah gadis yang bisa Anda miliki,” jawab Ilya. “Dia memiliki kewajiban kepada umat manusia.”

“Persetan dengan omong kosongmu! Pendeta Sofia bisa memilih jalan mana pun yang ingin ia lalui. Dia tidak harus mematuhi peraturan Giham maupun ocehan perihal moralitas berdasarkan standar milikmu.”

Bisa saja Nicholas menarik pedang dan mengayunkan ke leher Ilya. Namun, dia memilih menahan diri dan membiarkan Ilya Zeni melanjutkan ceramah.

“Anda hanya akan membuat Pendeta Sofia semakin menjauh dari misi suci,” Ilya memperingatkan. “Sir Aveza, hanya kematian yang akan Anda berikan kepada Pendeta Sofia.”

Lalu perkelahian pun terjadi. Tinju, hantaman, dan pukulan. Saat itu Nicholas benar-benar ingin meremukkan paladin tersebut.

Kenangan yang tidak menyenangkan.

“Ada di mana Ketua Zeni?” Nicholas mencoba mengusir ingatan mengenai masa lalu.

“Ketua memilih pergi ke ritus suci,” Hugo menjawab pertanyaan Nicholas. “Kabarnya dia ingin berziarah dan membersihkan diri dari dosa dengan cara melakukan ziarah.”

Di kejauhan tampak Zeno mengarahkan kesatria Aveza agar lekas menyingkir ketika seorang pendeta menumbuhkan ash. Cahaya terang keemasan keluar dari jemari si pendeta. Tanaman yang awalnya hanya berupa benih pun bertunas dan terus tumbuh hingga menjadi sebatang pohon raksasa.

“Anda butuh bantuan membunuh monster terbesar?”

“Tidak,” Nicholas menjawab pertanyaan Hugo. Dia berjalan, diikuti Hugo yang mengekor di belakang, menuju perkampungan. “Aku bisa menghadapi monster itu. Ghuya telah mengajariku memahami karakteristik bermacam monster.”

“Anda mempelajari hal yang demikian?” Hugo menyingkir tepat waktu ketika gunungan tanduk longsor dan menimpa gerobak yang kosong. “Saya tidak menyangka Anda memiliki keahlian yang mengesankan.”

“Ghuya benar-benar tempat yang cocok mendefinisikan keadaan Giham.”

“Lord, saya pikir Anda pasti akan menyukai Giham dalam artian lain.”

Nicholas tidak sempat membantah ketika terdengar raungan menggelegar. Dari arah hutan burung-burung beterbangan ke sepenjuru arah. Hanya beberapa saat saja semua orang merasa seolah hawa dingin menguasai sekujur tubuh. Seorang pendeta kehilangan kesadaran. Dia disangga oleh paladin yang ada di sampingnya. Semua orang menanti kemunculan makhluk buas, tetapi tidak ada apa pun; hanya erangan mengerikan seolah sesuatu ... sesosok kejahatan yang amat busuk tengah bersembunyi dan menantikan kehadiran mangsa. Seperti seekor laba-laba yang menggali lubang, menyembunyikan diri, dan menanti mangsa berjalan dengan sukarela ke dalam sarang.

“Lord,” Hugo memanggil.

“Dia sedang memperingatkan kita,” Nicholas memberi penjelasan. “Apa pun yang berdiam di dalam hutan. Jelas dia tahu perbuatan kita.”

Selesai ditulis pada 18 Agustus 2022.

:”) Teman-teman, mampir di Villain’s Lover juga dong. Biar saya semangat nulis. Hehehehe. Pleaseeeee.

Oh ya, Ada cerita Nocturne yang saya terbitkan di KaryaKarsa. Kalian bisa baca secara gratis. Baru satu bab sih. Akun saya @GaluhCahya8 hehehe. Tolong mampir dan semangatin saya agar saya bisa tetap aktif menulis di sini, di Wattpad. Oke? Love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C

Only for Villainess (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang