25

7.1K 1.3K 66
                                    

Viren berlari sekuat tenaga; mengabaikan panggilan rekan sesama paladin, mencoba menahan sengatan panas di kedua mata akibat dorongan menangis, dan berusaha meredam denyut menyakitkan yang muncul di dalam dirinya. Dia melaju menuju belakang bekas gudang gandum, tempat sebatang pohon eboni pernah tumbuh. Sekarang pohon tersebut hanya berupa kayu kering tanpa satu daun pun menghias ranting mana pun. Terlihat menyedihkan bila dibandingkan dengan tanaman mana pun yang tampak hijau. Barangkali pohon tersebut sempat menjadi primadona di masanya. Namun, sekarang yang tersisa dari sebatang eboni hanyalah keputusasaan.

Sama seperti yang dimiliki Viren: Keputusasaan.

Semua daya mendadak lenyap. Viren jatuh bersimpuh tepat di hadapan eboni. Keringat membasahi seluruh tubuh, membuat perih luka-luka yang masih meradang merah. Dia mengingat wajah semua anak yang menyakitinya. Semua, tanpa terkecuali. Suatu saat bisa saja dia membalaskan rasa sakit serta kemarahan kepada mereka secara berkalilipat. Seperti Zeptuz, dewa perang, yang meratakan suatu negeri; begitupula Viren akan mewujudkan pembalasan miliknya.

Pendeta di sekitar Viren menyarankan agar mengabaikan dendam. Namun, mereka tidak berada pada posisi Viren. Bukan mereka yang menjadi bulan-bulanan anak-anak bangsawan. Bukan mereka pula yang menerima pukulan serta mendengar makian dari mulut anak-anak tersebut. Lantas, bagaimana cara orang-orang dewasa memahami penderitaan Viren?

Melupakan, merelakan, dan menganggap rasa sakit itu tidak pernah ada.

“Sungguh konyol,” gumam Viren sembari menyeka darah di pelipis menggunakan punggung tangan.

Keringat berhasil menambah rasa perih di kulit. Viren bisa menahan rasa sakit semacam itu, luka fisik, ia bisa menahannya. Namun, beda cerita dengan luka yang tertinggal di batin. Luka semacam itu mirip monster mungil yang suatu saat akan berubah menjadi raksasa karena telah berhasil melahap seluruh kemanusiaan milik Viren. Dia secara bertahap menyuapi segigit demi segigit kemanusiaan pada dirinya ke mulut si monster mungil. Lama-kelamaan monster memilih menemani Viren dalam wujud lain: Angkara.

Viren mendongak, menatap cabang hitam eboni yang begitu kering. “Suatu saat,” katanya dengan nada suara yang terdengar amat getir dan terasa begitu pahit. “Aku akan memenggal semua bangsawan konyol tersebut. Dengan satu atau cara lain, mereka akan menerima pembalasanku. Bila ada kesempatan.”

Dunia terasa seperti makanan basi. Semua orang tampak palsu di mata Viren. Meskipun kuil, kuil mana pun, mengaku menerima anak kaum rendahan sebagai pendeta maupun paladin; tapi mereka tidak mampu melindungi anak-anak dari tangan bangsawan keji. Viren masih ingat salah satu rekannya, seorang bocah yang akan menjadi pendeta, bernama Liu. Bocah itu merupakan anak periang berwajah menawan. Berkat sifat dan wajah Liu, seorang baron mengajukan permohonan adopsi kepada Giham.

“Aku senang akhirnya bisa memiliki keluarga,” begitu kata Liu kepada Viren.

“Bagaimana bisa kau percaya begitu saja?”

“Karena aku yakin Zagda, dewa anak-anak, tengah memberiku kesempatan kedua,” jawabnya kepada Viren. “Zagda ingin agar aku bisa hidup normal seperti anak lainnya.”

Akan tetapi, sesuatu dalam diri Viren berkata bahwa keputusan Liu menerima adopsi dari baron itu adalah salah. Ada sesuatu yang membuat Viren yakin mengenai pemikiran tersebut.

Beberapa hari selepas kepergian Liu, Viren mendapat surat yang menceritakan mengenai kehidupan Liu. Surat biasa yang berisi kegiatan Liu selama hidup di kediaman baron. Pada awalnya cerita tersebut terdengar seperti dongeng belaka hingga kemudian surat-surat dari Liu mulai berkurang hingga tidak pernah ada satu surat pun dari bocah lelaki tersebut.

Viren merasa ada yang salah. Dia pun memberanikan diri meminta izin kepada Saint Magda agar diperkenankan berkunjung ke luar. Saint Magda tidak menghalangi keinginan Viren. Wanita tersebut justru memberikan sejumlah koin agar dipergunakan oleh Viren.

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now