53

5K 1K 53
                                    

Tubuhku terasa panas. Demam yang membuatku menggigil hingga gigi bergemeletuk. Benar-benar pengalaman sakit tidak menyenangakan, terutama ketika aku menempati fisik anak-anak. Berbeda denganku di masa kecil, tubuh Ruby ternyata sangat riskan—begitu demam melanda seluruh persendian seperti akan terlepas, ngilu bukan main.

“Ruby, coba makan sedikit saja.” Clare, istri Armand, berusaha menyuapiku bubur gandum. Dia mendudukannku di pangkuan, sama sekali tidak keberatan dengan ceceran bubur akibat diriku yang sering memuntahkannya. “Ayo, kau pasti bisa.”

Susah payah aku berusaha menelan bubur yang terasa lengket. Seolah bukannya masuk ke tenggorokkan, melainkan justru menempel di langit-langit atau paling parah terbuang begitu saja begitu aku ingin muntah.

Oh sungguh menyakitkan. Terutama di kulit yang memiliki tato. Tanda mata bahwa aku sempat bertemu Zan dan Ragnok.

“Sekali lagi, Ruby,” Clare menyemangati. “Sekali saja.”

Aku membuka mulut, membiarkan sendok masuk dan menumpahkan bubur.

Aneh, biasanya naluri anak-anak milik Ruby langsung akan berkuasa dengan cara meronta dan menangis. Namun, kali ini ketika sakit melanda Ruby justru jadi pendiam dan tidak rewel. Andai naluri anak-anak ini bisa bekerja sama denganku setiap hari seperti ini, maka aku bisa menunjukkan posisi hirarki tertinggi dunia balita di hadapan Alex.

“Madam, biar saya saja,” Natalie menawarkan diri.

“Tidak perlu, Natalie,” Clare menolak bantuan Natalie. “Aku masih sanggup.”

Perutku bergolak, tanpa bisa kutahan cairan panas merangsek naik menuju tenggorokkan dan membuatku muntah-muntah. Usai memuntahkan seluruh isi yang ada dalam perut, seluruh tubuh terasa lemas dan aku bahkan tidak sanggup protes mengenai apa pun selain ingin memejamkan mata dan tidur saja.

Apa sebaiknya aku tidur selama-lamanya saja? Aku lelah dan ingin menyudahi semua perkara dunia ini. Amat payah. Tidak perlu berusaha mati-matian dan menjalani setiap hari dengan hal-hal yang membuat batinku menjadi penuh oleh omong kosong. Aku ingin menyudahinya.

“Ruby! Ruby!”

Kali ini aku terpejam. Benar-benar tidak sanggup menjawab panggilan Natalie.

Lantas ketika aku sanggup membuka mata, di sampingku ada Ung. Dia tidur di dekat kepalaku. Sepasang matanya yang seperti anggur mengamatiku dengan pandangan seolah ingin bertanya mengenai kondisiku. Dia menggerakkan sayap, lantas menempelkan kepala ke pelipisku.

“Anak-anak kalau sedang sakit mengerikan juga, ya?”

Cerkho! Dia menepuk pelan dahiku, membiarkan hawa sejuk meredakan panas yang melanda tubuhku. Perlahan rasa nyeri dan mual mulai surut.

“Kau butuh latihan,” katanya sembari menyunggingkan senyum. “Jangan pikir bahwa anak-anak tidak butuh olahraga. Kau butuh. Jelas.”

“Singkirkan tanganmu,” kata seseorang.

“Zagda, kau tidak perlu keras seperti itu.”

Aku mengedarkan pandangan, menatap Zagda. Tidak seperti Cerkho, dia memiliki penampilan halus yang amat menawan. Warna rambut Zagda mengingatkanku pada permen kapas. Dia mengenakan pakaian bernuansa putih dan emas.

Zagda ... dewa anak-anak.

“Anak malang,” kata Zagda. Dia menjulurkan tangan, meraihku dalam buaian, dan menepuk pelan punggungku. “Anak-anak malang. Malang sekali.”

“Aku mengurusnya,” Cerkho menyela. “Kalau itu bisa meredakan amarahmu.”

Apa aku sedang masuk ke dunia boys love karena rasa-rasanya suasana di sini amat mendukung. “Uuuung,” kataku sembari memeluk leher Zagda. Persis seperti yang selama ini aku lakukan kepada Nicholas, ayahku.

Only for Villainess (Tamat)Where stories live. Discover now