31. Ultimatum

3.2K 380 22
                                    

~~~~~

Selamat membaca
Monggo enjoy

~~~~~

Bruno Mars - Greenade

~~~~~

“Berterimakasihlah kepada orang jahat karena kehadiran mereka kita tahu bahwa masih ada orang baik di dunia ini.”

~~~~~

Pagi hari yang cerah menyapa, embun di pagi hari yang menyegarkan menempel sempurna di kaca jendela kamarnya. Sudah sepatutnya dia kali ini memasak, namun kenapa rasa malas masih menempel kepadanya? Mungkinkah ini efek dari kehamilan?

“Mas tidur lagi, terus aku harus ngapain?” tanya Venna kepada dirinya sendiri merasa bingung, apa yang akan dia lakukan setelah melipat mukena?

“Ah masak aja deh.”

Venna melangkahkan kaki meninggalkan area kamar, berjalan pelan mengelilingi lantai 1 rumah yang dibilang cukup mengerikan. Dimana saklar lampu di ruangan ini? Dirinya ini penakut, bisa bahaya jika ada mbak kunti yang menemaninya. Jelas kunti yang dimaksud ini adalah kuntilanak, bukan Kunti ibu mertuanya.

“Ini gue mau masak apaan anjir, kan gak ada bahan makanan di kulkas,” ucap Venna dengan menggaruk pipinya yang tidak gatal. Perempuan yang tengah meneliti isi kulkas itu dibuat kebingungan, pagi ini akan sarapan apa.

“Padahal tadi rencananya mau buat telur dadar sama numis kangkung gitu aja, eh tapi lupa kalau belum belanja apapun.” Venna berucap dengan melangkahkan kaki keluar rumah, mengusap perut yang sudah mulai membuncit karena memasuki bulan ke lima.

Kehadirannya di rumah sang mertua memang lumayan lama, sang ibu Kunti yang ingin memastikan calon cucunya tetap baik-baik saja mengharuskannya menetap disana lebih dari 4 bulan. Baru kali ini dia bisa lepas, di bulan ke tujuh Rosa akan tiba dan menetap di rumahnya ini hingga melahirkan, sedangkan Kunti akan menetap disana saat memasuki bulan ke sembilan.

“Aduh dek iya bunda tau kamu laper, tapi sabar dong nunggu ayah sebentar lagi, iya habis ini beli sarapan kok.”

“Ini masih jam lima dek, belum ada penjual nasi goreng di pagi-pagi kayak gini astagfirullah.”

Venna mulai frustasi, bagaimana bisa dia menginginkan nasi goreng dengan begitu nekat ketika hanya mencium baunya saja. Ya dia yakin jika tetangga di sebelah rumahnya ini sedang menggoreng nasi, terbukti dari baunya yang amat khas. Venna tahu jika ini nasi goreng rumahan, tidak ada sosis dan ayam, murni hanya bawang merah, bawang putih yang dihaluskan dan di tumis. Warna nasi goreng yang pucat sudah tergambar dalam kepalanya.

“Mbak Venna?”

“Eh iya?”

Perempuan yang masih mengenakan baju tidur polos itu membalikkan tubuh saat namanya dipanggil, siapakah sosok itu?

“Saya Warsi mbak, ini rumah saya tepat di samping rumahnya mbak.”

Venna mengangguk dan menurut saat dibawa duduk di depan rumah perempuan paruh baya bernama Warsi itu. Bercerita banyak hal tentang segala kejadian yang ada di komplek asri ini.

“Ini masih desa kawasan desa mbak, bukan perumahan.”

“Desa?” tanya Venna tidak percaya. Jika ini masih desa, Venna akui komplek disini sangat tertata. Mengalihkan pandangan tentang kondisi desa yang tidak terawat dan kumuh.

“Iya ini masih desa. Saya dari dulu mikir siapa sih sosok perempuan yang membuat pemuda tampan begitu gigih membangun rumah di usia muda. Saya yakin jika di usianya saat itu ingin sekali menghabiskan uang untuk berfoya-foya, namun ketika saya tanya kenapa dia lebih memilih untuk menabung, jawabannya membuat saya terenyuh.”

“Mbak Venna tahu gak sih kalau dia bilang gini, orang tua san keluarga besar saya sudah bahagia dengan pemberian dari saya. Saya juga ingin memberikan hal yang serupa kepada keluarga kecil saya di masa mendatang, daripada uang saya habis untuk foya-foya, lebih baik saya habiskan untuk membangun berbagai modal usaha. Selain menguntungkan bagi saya, lapangan pekerjaan yang saya buka juga menguntungkan berbagai pengangguran.”

Venna mengangguk merasa setuju dengan ucapan pemuda itu. Jika dia sudah kaya dari lahir mungkin dia akan melakukan hal yang sama. Setidaknya uang yang dia tabung dari uang jajan mampu memberikannya modal untuk membuka lapangan pekerjaan. “Wah gigih banget yah, alhamdulillah suami saya mampu membeli rumah ini dengan tabungannya Ibu.”

Lho mbak bukan istrinya Kuncoro?” tanya Warsi dengan bingung.

“Saya istrinya, memang ada apa Ibu?”

Venna melihat jika perempuan di depannya itu menggelengkan kepala dengan maklum, tersenyum lembut kepadanya. “Mbak gak tau kalau pemuda yang saya ceritain tadi adalah su-”

“Bu Warsi,” sapa seseorang dengan ramah.

“Eh Mas Kuncoro, selamat bergabung dengan keluarga Monggomampir ya Mas.”

Kuncoro menerima jabat tangan dari Warsi, mengangguk dan berbincang hal yang cukup ramah lebih dari Venna. Membuat perempuan cantik itu merasa heran, kenapa prianya ini begitu ramah dan merasa lebih dari sekedar tetangga. Apakah mungkin Kuncoro menjalin hubungan serius dengan ibu Warsi?

Venna membuka mulut tidak percaya, bagaimana mungkin dia akan menjadi janda dengan kondisi masih mengandung?!

***

“Kamu masih marah ya sama mas?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa masih dingin terhadap mas?”

Venna menggembungkan pipi dengan kesal. “Aku laper Mas, makanya kayak gini.”

Walaupun curiga, akhirnya Kuncoro mengangguk mulai percaya. Pria itu berjalan mengambil dompet dan bersiap menganggandeng tangan Venna untuk keluar mencari makanan. “Ayo cari sarapan, kenapa masih disini?” tanya Kuncoro melihat sang istri yang tidak beranjak dari tempatnya.

“Aku mau nasi goreng.”

“Mana ada nasi goreng pagi-pagi kayak gini?”

“Tapi aku mau nasi goreng Mas.”

“Nggak ada nasi goreng sepagi ini!”

Intonasi yang meninggi dari Kuncoro membuat Venna terdiam, memilin tangannya dengan perasaan campur aduk. Bahkan air matanya hampir tumpah membasahi pipi. “Mas aja yang cari sarapan, aku udah gak laper.”

“Venna!”

Kuncoro semakin tidak bisa menahan emosi, apa yang perempuan ini inginkan?

“Jangan bertingkah layaknya anak kecil, coba kamu mikir ada nggak penjual nasi goreng sepagi ini hah? Kamu emang suka bikin marah, kamu gak dewasa tau nggak? Dikasih nasehat buat kesehatan malah marah-marah gak jelas, mas gak betah kalau kamu kayak gini terus,” ucap Kuncoro panjang lebar dengan menatap tajam sosok sang istri.

Venna sendiri sudah meneteskan air mata dengan begitu deras, akhir-akhir ini memang dia begitu sensitif. Ditambah dengan sifat Kuncoro yang pemarah membuatnya yakin jika pria itu memiliki simpanan.

Menyeka air mata dengan kasar, Venna mengangkat kepalanya guna menatap Kuncoro. Membusungkan dada tidak merasa gentar dengan tatapan tajam yang diberikan sang suami.

“Maaf jika kehadiran aku selama di sisi Mas bikin muak, maaf jika sifat kekanak-kanakannku ini buat Mas marah dan merasa mempunyai beban berat. Jika Mas memang sudah tidak kuat denganku, maka kembalikan aku ke rumah orang tuaku secepatnya.”
.
.
.

STAY SAFE

Yuk uwu-uwunya udah yuk, masuk konflik yah
🫂

29 May 2022

KuncoroWhere stories live. Discover now