09.Menantang Om Zarko

138 5 0
                                    


"Tolong bilang, siapa yang udah bikin kamu kayak gini?"

Pony mendengarkan pertanyaan itu, yang dilontarkan oleh Evan. Terpaksa, dia mengingat kembali seseorang itu yang tidak pernah beranjak dari pikirannya.

Rasa benci, kecewa, sakitnya diabaikan, serta rindu yang menggebu-gebu bercampur menjadi satu. Membuat tangisnya nyaris meledak. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Pony mengucapkan sebuah nama, "Zarko."

Lalu, setelah itu dia tidak mengucapkan apa-apa lagi dan hanya berjuang untuk menghentikan tangisnya yang semakin menderas. Evan sendiri bingung, karena dia tidak mengenal Zarko. Sebenarnya, dia penasaran banget tapi nggak mungkin maksa Pony untuk ngomong sekarang juga.

Evan berniat akan mencari tahu lebih banyak lagi, jika keadaan Pony sudah baikan. Siapapun itu, yang sudah membuat Pony bersedih sampai jatuh sakit, Evan sangat membencinya.

Meskipun sebenarnya, Evan sangat sakit mengetahui bahwa Pony mencintai laki-laki lain. Sungguh menyesakkan mengetahui seseorang yang kita cintai, menyimpan orang lain di dalam hatinya. Bahkan keadaan Pony yang buruk, dapat menjelaskan dengan jelas betapa penting posisi Zarko di hati Pony.

Akhir pekan tiba. Pony sudah mulai sembuh dari sakitnya. Dia sudah mulai beraktivitas seperti biasa. Karena itulah, Evan mengajaknya jalan-jalan di pagi hari. Biasanya, di saat akhir pekan banyak orang yang juga berjalan-jalan di pagi hari.

"Ayo kita jalan-jalan," ajak Evan dengan ceria.

"Ayok," jawab Pony yang memang sudah bosan berada di rumah terus selama beberapa hari.

Mengkhawatirkan keadaan Pony, Evan memutuskan untuk membawa sepeda motor. Mereka berdua akhirnya jalan-jalan naik motor.

"Sekalian nanti kita sarapan di taman ya," ucap Evan mengusulkan ketika mereka berangkat.

"Mmhh," Pony mengangguk sambil tersenyum menanggapinya. Dia merasa senang, ada seseorang yang menemaninya di saat masa-masa terburuk.

Evan mengajak Pony untuk duduk-duduk di taman. Di mana ada begitu banyak orang yang berolahraga, atau sekadar jalan-jalan. Tidak sedikit juga yang berburu kuliner. Setelah memarkirkan sepeda motor, mereka berjalan-jalan santai di sekitar taman sambil mengobrol.

"Ramai ya, kalau weekend gini," kata Evan memulai obrolan.

"Iya, seru juga di sini. Tanamannya masih banyak yang baru."

Poni melihat-lihat ke sekitar. Memperhatikan tanaman-tanaman yang baru ditanam oleh pihak developer. Namun, matanya kemudian tertuju pada satu deretan bunga berwarna merah dan pink.

"Tapi lihat deh, bunga sepatu itu," katanya sambil menunjuk ke arah bunga sepatu,"mereka baru ditanam beberapa minggu sudah berbunga, cantik banget. Coba di halaman rumah, kita tanami juga bunga-bunga seperti ini."

"Aku setuju."

Halaman rumah Tante Yana, memang cukup luas. Namun tidak banyak tanaman hias di sana. Tante Yana tidak mau repot-repot mengurus tanaman atau mengeluarkan uang lebih untuk tukang tanaman.

"Pony ... sebenarnya aku pengen tahu siapa sih cowok yang udah mematahkan hati kamu?"

Hati-hati, Evan menanyakan hal itu. Takut kalau pertanyaannya menyinggung, atau membuat luka hati Pony jadi sakit kembali.

"Dia adalah orang yang dekat denganku selama beberapa waktu ini."

"Oh, teman sekolah ya?" Evan mencoba menebak. Poni tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Nggak bisa dibilang gitu juga. Dia itu, bukan teman sekolah tapi wali teman sekolah aku."

"Wali?"

"Yap. Zarko itu adalah papanya Violet, sahabatku."

Saat mengucapkan kata sahabatku, Pony merasakan nyeri di hati yang berdenyut-denyut. Karena dia merasa persahabatannya dengan Vio sudah hancur. Padahal mereka sebelumnya saling menyayangi dan saling peduli.

Sekarang, selain harus kehilangan kekasih hati, Pony juga harus kehilangan sahabatnya. Mungkin sakit yang bertubi-tubi itulah, yang membuat kesehatannya menurun.

Di sisi lain, Evan masih tidak percaya apa yang baru saja dikatakan oleh sepupunya itu. Jadi, selama ini Pony menjalin hubungan dengan seseorang yang jauh lebih tua dari dirinya. Bagaimana bisa?

Evan mencoba mencari kira-kira apa alasan Pony. Namun di dalam benaknya, tidak ada informasi apa-apa yang membuat paham tentang pilihan sepupu yang dicintainya itu.

"Kamu pasti mikir, gimana bisa aku pacaran sama Papanya Vio. Tapi, ya memang gitulah. Awalnya, aku sama Papanya Vio sering ketemu dan kami biasa aja. Cuma, lama-lama jadi terbiasa, jadi tumbuh perasaan nyaman, sampai akhirnya kami sering jalan berdua."

"Bukannya papanya Vio itu orang yang udah menikah?" Tanya Evan penasaran.

"Benar. Om Zarko emang udah menikah, itulah sebabnya dia punya anak, Violet. Tapi kalau yang kamu maksudkan adalah status pernikahan, Om Zarko adalah seorang duda. Karena istrinya sudah meninggal dunia. Mungkin itu jugalah alasan kenapa aku mau jalan sama dia."

Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Pony terdengar menyakitkan bagi Evan. Seperti ratusan belati yang mengarah dan menusuk-nusuk dirinya. Sakit, sampai nyaris hancur lebur.

"Oh ya!" seru Pony.

"Apaa?" tanya Evan dengan suara bergetar.

"Rumah mereka ada di dekat sini, loh!"

"Iya? Mau lewat?" Evan menawarkan, dengan harapan bisa cari gara-gara dengan laki-laki bernama Zarko.

Pony setuju. Ketika mendengar tawaran itu, wajahnya langsung berubah menjadi berseri-seri. Evan dapat melihat itu, yang membuatnya tenang bahwa Pony akan segera sembuh sekaligus membuatnya sakit seketika. Mendengar nama Zarko saja bisa membuat Pony seceria itu.

Pony dan Evan memutuskan untuk makan bubur ayam di area taman. Sebelum mereka melanjutkan perjalanan, lalu pulang.

Mereka melewati jalan perumahan di mana rumah Zarko ada di salah satunya. Rumah itu sendiri berada di luar gerbang cluster. Sehingga mereka bisa dengan leluasa lewat.

Tanpa disangka-sangka, ketika Pony dan Evan melewati jalan di sekitar perumahan, mereka melihat Zarko dan Violet yang sepertinya habis jalan-jalan pagi. Mereka berdua berjalan bersama mengenakan pakaian santai.

"Evan ... itu mereka. Itu Violet dan papanya, Om Zarko."

"Yuk, kita samperin," ajak Evan yang langsung gas tanpa menunggu persetujuan Pony.

Evan menghentikan laju motornya beberapa meter di belakang ayah dan anak itu. Cowok itu lalu berdiri di samping motor, berkacak pinggang.

"Zarko!" panggilnya tegas.

Pony mencubit pinggangnya. "Aw! Sakit, Pony."

"Kamu ngapain, sih?" protes Pony.

"Jangan khawatir, Pony."

Sementara Pony dan Evan berdebat, Zarko sudah berbalik. Pria itu heran, siapa yang memanggilnya. Ternyata, dia melihat Pony. Bersama cowok itu.

"Untuk apa mereka datang?" tanyanya pada diri sendiri. Zarko berbalik menghampiri sepasang anak muda itu. Meskipun diliputi rasa kesal.

"Apa?" tantangnya pada cowok yang terlihat sok jagoan di hadapannya itu.

"Jadi, Lo, yang udah bikin Pony sakit?"

Zarko terkejut. Dia mengalihkan pandangannya pada Pony. Cewek yang selama ini, mengisi relung hati. Dia tampak pucat.

"Kamu sakit?" tanya Zarko pada Pony dengan cemas. Pria itu bermaksud untuk mendekati Pony. Namun, tiba-tiba Evan mencegahnya.

"Asal Lo tau aja. Pony, sakit berhari-hari karena Lo!" ucap Evan, sambil menatap Zarko dengan amarah meletup-letup. Keduanya saling menatap dengan kebencanaan di hati masing-masing.





Dinikahi Duda Tampan (Tamat)Where stories live. Discover now