28. Ranting yang Busuk

40 3 0
                                    


Zarko harus banyak bersyukur memiliki Wisnu dalam perusahaannya. Juga yang selalu aktif ceria, Silvia. Seorang ibu muda yang seolah tak pernah kehabisan tenaga membagi waktu antara pengasuhan anak, dan bekerja.

Wisnu sendiri, adalah pribadi yang sangat lembut dan perasa. Mudah tersentuh. Namun, di samping itu dia juga merupakan seorang pekerja keras yang berdedikasi pada profesinya.

Beberapa waktu ke belakang, ketika Zarko memulai kerja sama dengan pemerintah suatu kabupaten untuk membangun bendungan, pria itu membentuk sebuah tim audit. Tim yang kemudian bekerja dan mengumpulkan bukti-bukti yang setelah diolah oleh Silvia kini berada di hadapan Zarko. 

"Kacau sekali," keluh Zarko yang memang sempat down karena terpukul oleh pandemi. Matanya memeriksa satu per satu dokumen yang dikirimkan oleh Silvia. Pria itu merasa sedikit kesal dan tentu saja merasa kecolongan. Karena itulah dia mengadakan rapat dadakan, untuk membahas hal itu. Mereka berkumpul tepat setelah Zarko tiba di kantor.

"Payroll?"

"Saya, Pak," jawab Diana.

"Kemarin ada laporan dari mantan karyawan kita bahwa dia tetap menerima gaji selama enam bulan. Orang ini mau mengembalikan dana kita," kata Zarko menjelaskan.

"Iya, Pak. Sa-saya mohon maaf untuk kesalahan itu. Saya akan segera urus untuk masalah itu."

"Bu Diana, berapa orang yang tetap mendapat gaji meski sudah keluar dari perusahaan kita?" tanya Zarko santai.

"Itu, saya rasa--"

"Anda rasa, ya? Itu berarti perkiraan Bu Diana saja?"

"Iya, Pak."

"Saya sendiri memiliki datanya, ada 21 mantan karyawan yang tetap kita bayarkan dalam waktu enam bulan. Bengkak beban gaji kita."

"Ya ini salah karena kurang koordinasi juga, Pak," ucap Bu Diana membela diri, "harusnya HRD juga selalu kasih data akurat atas data karyawan. Finance juga, kenapa nggak cek dari dulu? Jadi, baru ketahuan sekarang."

"Bu Diana, tiga bulan lalu kita sudah invest untuk sistem baru tapi ternyata tidak digunakan ya oleh Bu Diana dan tim."

Kali ini Wisnu angkat bicara. Memang dia sudah mencium adanya hal yang tidak benar. Namun, dia butuh waktu untuk mengumpulkan bukti. Terlebih Bu Diana, bisa dibilang senior dan sangat dihormati di kantor.

"Jadi, menurut Bu Diana ini miskom saja, ya?" tanya Zarko. Lalu pria itu menunjukkan satu per satu bukti, dan pengakuan dari beberapa mantan karyawan yang ikut terlibat dalam rangka menggembosi keuangan perusahaan demi keuntungan pribadi.
Untuk bagian prochurment juga sama. Mereka menggandakan pembelian barang-barang yang sebagian menumpuk di gudang. Yang paling banyak adalah pembelian bahan bangunan. Tak jarang, bahan-bahan itu akan berkurang, menyusut tanpa diketahui lagi jejaknya.
Yang paling parah adalah menggandakan faktur pembelian, untuk disetujui finance.
Dengan terkuaknya borok di dua bagian itu. Zarko berharap penyakit yang menjangkiti perusahaan akan segera hilang sebagaimana masa pandemi yang nyaris selesai. Pada akhirnya, Zarko tidak memilih untuk mempertahankan orang-orang itu. Meskipun mereka telah lama bekerja di perusahaannya.

"Kita ada pertemuan dengan tenant lantai tiga."

Silvia memberitahukan dengan lembut tidak semenyala-nyala biasanya. Lantai tiga gedung kantor milik Zarko, saat ini disewakan untuk sebuah anak perusahaan BUMN yang bergerak di bidang real estate. 

"Ayo, kita berangkat sekarang."

Sebenarnya, Zarko masih cukup shock dengan rapat barusan. Hanya saja, dia paham bahwa segala sesuatu harus tetap berjalan. Lagipula, membuang ranting busuk, bisa jadi tindakan yang tepat untuk menyelamatkan sebuah 'pohon'.

"Terima kasih kiriman almond milk-nya."

"Sama-sama."

"Enak loh, seger. Biasanya gue kurang suka minum susu," terang Silvia sambil mengemudi ke apartemen yang dibangun oleh perusahaan tenant lantai 3. Tidak jauh dari kantor.
"Ya, lo sekarang nggak bisa mikir apa yang lo suka atau nggak, Sil. Kan, lo harus mikirin juga kebutuhan buat bayi."

"Siap, Bos!" 

Tegas Silvia menjawab membuat keduanya tertawa. Zarko jadi ingat Pony. Apakah kelak, dia juga akan memiliki anak dari gadis itu? Zarko mengira jika itu terjadi nanti, dia pasti akan berusaha memahami Pony dan mencukupi semua kebutuhannya. Memikirkan punya anak dengan orang yang dicinta saja bisa membuatnya bahagia.
Jalan itu masih sangat jauh dan belum tentu Zarko akan sampai ke sana. Terlebih orang yang dicintainya masih bocil.

***

Pony mengirimkan pesan kepada Zarko dan masih mempertanyakan sikapnya terakhir mereka bertemu. Pony merasa tertolak dan tidak diinginkan. Bahkan, gadis itu berpikir bahwa Evan jauh lebih bisa memahaminya. Memberinya apa yang dia butuhkan.

Zarko: Aku hanya ingin, menjalin cinta yang bermoral, Pony. Yang membuat kita saling menghargai.

Pony: Nggak percaya! 

Dalam bahasa chat, Pony jauh lebih berani. Dia bisa menggunakan kata-kata yang selalu disimpan rapat ketika mereka berjumpa. Zarko memahaminya sebagai sikap bocil, atau sikap khas perempuan?

Ya, bocil perempuan.

Zarko: Justru, karena aku menghormatimu, Sayang.

Pony: Ya, deh. Nanti ya saat aku lulus?

Zarko: Kalau lulus?

Pony: Eh? Pasti lulus, lah.

Zarko: We'll see.

Zarko mengirimkan sejumlah uang ke e-wallet Pony  dan berpesan agar dibelikan makanan. Apa saja yang ingin Pony makan. Padahal, Pony belum memberitahukan, kalau sekarang dia sudah keluar dari rumah Tante Yana. Uang itu cukup untuk makan berminggu-minggu.

Di sisi lain, Pony harus mulai menyesuaikan diri di tempat baru yang terasa sangat kosong. Dia juga berusaha mencari tahu, siapa saja yang tinggal di sekitarnya.

Pada suatu malam, ketika sedang belajar Evan meneleponnya. Menanyakan sedang berada di mana Pony. Dia ingin menjawab yang sebenarnya. Bukankah, dengan begitu mereka bisa lebih leluasa? 

Pony sangat merindukan sentuhan Evan. Tubuhnya membutuhkan itu.  Hal, yang tidak pernah diberikan oleh Zarko yang malah menolak menciumnya. Kemudian dia kembali ingat, tujuannya keluar dari rumah Tante Yana adalah untuk menghindari Evan. Tiba-tiba, Pony merasa sakit.

"Di mana?" tanya Evan.

"Di rumah temen, Van. Kamu di rumah?"

"Iya. Aku pulang, kamu malah nggak ada. Kata Mama, kamu ada tugas kelompok. Apa kamu di rumah Vio itu?"

"Iya. Aku di rumah Vio. Udah dulu, ya, Van."

"Besok pulang, kan?"

"Hah?"

"Masa nggak pulang?"

"Besok aku langsung ke sekolah."

"Jadi, kita nggak bisa ketemu?"

"Maaf, ya, Van."

Pony segera menekan tombol merah di layar handphone. Menghindari untuk salah mengambil keputusan lagi. Dia tidak bisa membohongi diri, jika dirinya sangat ingin bertemu Evan. Bahkan saat menjawab panggilan barusan, dia tidak berhenti meremas-remas ujung kausnya. Cemas.

Jika pertemuan dengan Zarko, yang hambar itu baru akan terjadi ketika dia lulus? Apakah salah jika Pony, janjian dengan Evan sekali lagi. Sekali saja untuk memuaskan dahaganya?

Lagipula, Zarko yang mengaku sangat mencintainya saja tidak mau memberikan apa yang Evan berikan?

Dinikahi Duda Tampan (Tamat)Where stories live. Discover now