14. Kitabisa.com

103 5 0
                                    


Halo! Dengan Mimin di sini. Terima kasih sudah baca sampai bagian ini. Tolong berikan masukan dan saran, vote juga ya.

Terima kasih!

Siap untuk part 14?

Here weeeee goooooooo!!!!

Pony seperti menjadi orang yang baru. Pagi ini dia menyiapkan sarapan, bersih-bersih rumah sebelum berangkat ke sekolah. Bahkan, saat Evan mengantarnya, Pony memeluk Evan di sepanjang jalan. Seperti ada perasaan enggan berpisah.

"Nanti ati-ati ya, berangkatnya," ucap Pony ketika melepas kepergian Evan.

"Oke. Sampai jumpa lagi."

Pony mengangguk, dan berharap waktu itu perjumpaan itu akan lekas sampai. Dia benar-benar tidak ingin berada jauh dari Evan untuk waktu yang lama.

Saat di sekolah, Pony banyak terdiam. Dia memandangi teman-temannya. Mereka ngobrol, bercanda, belajar, dan ada juga yang bertengkar. Pony berpikir, kira-kira selain sekolah apa yang mereka lakukan?

Ada berapa orang di dunia ini, yang juga melakukan hal seperti yang Pony dan Evan buat semalam? Atau, apakah itu hal yang wajar? Ada berapa banyak teman sekolah Pony yang sudah pernah berciuman? Atau jangan-jangan dirinyalah yang paling ketinggalan?

Pony memandang Violet yang berjarak tak jauh dari tempatnya duduk. Gadis itu selalu tampak serius belajar. Bahkan dalam keadaan bising, dia lebih memilih menjejalkan airpods, sesekali mengangguk, menggeleng, sementara mata dan tangannya terfokus ke buku pelajaran.

"Vio," panggil Pony.

"Apa?"

"Belajar apa?" tanya Pony.

Lalu Violet menunjukkan buku yang sedang dia pelajari dan buku tulis yang dia coret-coret.

"Owh, oke," jawab Pony saat tahu Violet sedang mengerjakan soal matematika. Salah satu pelajaran yang paling Pony hindari. Karena dia tidak terlalu pintar. Kalau dipikir-pikir, Pony memang tidak pintar dalam pelajaran apapun.

Melihat Violet yang begitu, diia jadi mengira, mungkin dulu Zarko juga sama. Sangat fokus, disiplin, dan ambisius sehingga dia bisa berhasil dalam hidupnya. Seperti sekarang. Memikirkannya saja bisa membuat rindu di dada jadi lebih besar dari sebelumnya.
Kapan Zarko akan menemuinya? Lagi?

Rindu yang Pony rasakan, terasa lebih menyakitkan sekarang. Sebab, selain rindu, dia juga merasakan jarak antara dirinya dan Zarko.

Lambat laun, Pony merasa dia tidak pantas untuk Zarko. Namun, akan begitu sulit dan berat untuk melupakan pria itu.

***

Zarko sedang dalam perjalanan dari proyek pembangunan bendungan yang akan dijadikan PLTA. Pria itu sudah berkoordinasi dengan engineer dan kepala proyek.

Dia berharap proyek itu akan berjalan lancar. Dengan begitu, kredibilitas perusahaan akan meningkat. Zarko memeriksa ponselnya, kalau-kalau ada berita penting. Sementara Silvia, wanita itu sibuk memperbaiki riasan di sampingnya.

Zarko menemukan sesuatu yang mengejutkan. Salah satu staffnya mengunggah tautan penggalangan dana kitabisa.com

"Sil, kok kamu nggak kasih tau aku ini?" protesnya pada Silvia.

"Apa, Pak?" tanya Silvia sopan, karena ada sopir.

"Penggalangan dana ini, untuk anaknya Wisnu."

"Oh, iya. Waktu itu Bapak sudah menyumbang ke Wisnu atas nama perusahaan dan pribadi. Saya bisa cek riwayatnya kalau Bapak mau."

"Bukan gitu. Kemarin kita nyumbang alakadarnya, karena aku-saya nggak tahu kalau anaknya sakit cancer. Ini sampai dia menggalang dana pasti butuh biaya yang besar."

"Iya, benar."

"Segera urus, ya, Silvia. Berikan sumbangan atas nama perusahaan. Besarannya sepuluh kali lipat nilai sumbangan sebelumnya."

"Baik, Pak. Akan segera saya urus."

"Tolong, ya. Nanti setelah dari sini saya akan langsung ke rumah sakit menjenguk anaknya Wisnu."

"Baik, Pak," jawab Silvia.

Setelah itu mereka segera kembali ke hotel, lalu bersiap-siap untuk kembali. Wisnu adalah salah seorang staff senior, yang memiliki anak laki-laki dari pernikahan keduanya.

Zarko merasa sedikit bersalah karena baru mengetahui perihal anak Wisnu itu. Bahkan dia mengetahuinya dari status WhatsApp.

Setelah menempuh perjalanan berjam-jam dari daerah, akhirnya Zarko sampai di kota tempat tinggalnya.
Alih-alih langsung pulang ke rumah untuk beristirahat dia malah menuju rumah sakit setelah sebelumnya memberi kabar kepada Wisnu.

Wisnu dan sang istri langsung yang menyambut kedatangan Zarko di rumah sakit. Pria itu langsung memeluk Wisnu, seolah lama tak bertemu.

"Terima kasih, Pak, sudah mau datang menjenguk Jeonsa," ucap Wisnu.

"Wisnu, saya minta maaf kalau saya kurang tanggap dengan keadaan kamu."

"Nggak, Pak. Justru, Bapak sudah sangat membantu, saya sangat berterima kasih," jawab Wisnu.

"Bagaimana kondisi Jeonsa?"

"Cukup membaik sekarang ini, meski masih dirawat intensif."

Zarko memandangi anak kecil yang terbaring lemah dari balik kaca. Terlihat begitu lemah, tak berdaya. Sampai dirinya berpikir, "Kenapa Tuhan menitipkan penyakit pada makhluk sekecil itu?"

Sebenarnya, Wisnu sendiri bukanlah ayah kandung Jeonsa. Ketika menikahi ibunya, Jeonsa sudah berusia satu tahun. Namun, Wisnu tetap berusaha menjadi ayah yang baik bagi anak laki-laki berusia tiga tahun itu.

"Ibu, jaga kesehatan. Semangat, ya. Jangan putus asa." Zarko mengatakannya pada istri Wisnu sebelum berpamitan.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak."

"Nah, Wisnu. Ini ada sedikit, dari saya atas nama pribadi. Tolong diterima. Gunakanlah untuk keperluan Jeonsa, dan kalian juga. Mohon diterima."

"Pak Zarko?" Wisnu merasa bahwa perhatian Zarko begitu besar. Padahal, perusahaan baru saja mengirimkan sejumlah dana untuk keluarganya.

"Terima saja, Wisnu. Tanpa kamu perusahaan kita tidak akan seperti sekarang."

"Te-terima kasih," ungkap Wisnu dengan mata berkaca-kaca.

"Terima kasih, Pak Zarko. Karena Bapak telah ikut serta menjadi orang tua bagi Jeonsa. Kami berjanji akan terus berjuang untuk kesembuhannya."

"Benar, Wisnu. Justru sayalah yang berterima kasih. Atas semua kerja keras kamu. Jaga kesehatan. Saya permisi dulu."

"Pak Zarko, terima kasih telah menjadi ayah yang baik, pemimpin yang baik, bagi kami semua." Zarko mengangguk, meskipun dia tidak sepenuhnya setuju. Apanya ayah yang baik? Dirinya hanyalah ayah yang payah. Ayah yang sering mengabaikan anak sendiri. Sebelum bertemu dengan Pony, ada baiknya menjadwalkan waktu khusus untuk Violet, pikirnya.

Zarko meninggalkan Wisnu dan keluarga kecilnya. Baru kali ini dia melihat Wisnu menangis. Biasanya, sosok Wisnu di kantor adalah seorang yang disegani, mampu memberi arahan, memiliki karisma, bahkan bisa berkomunikasi dengan berbagai macam orang.

Namun, sekarang Zarko dapat melihat sisi lain Wisnu. Sisi yang sentimentil. Sosok Wisnu sebagai seorang ayah yang lembut dan penyayang. Betapa Zarko merasa kalah jauh dari pria itu yang bahkan rela melakukan apapun untuk anak yang bukan darah dagingnya. Wisnu bahkan menangis haru atas perhatian dan bantuan dari Zarko.

Bagaimana Wisnu tidak menangis, akan kepedulian Zarko. Baru saja Silvia mengirimkan pesan kepadanya, bahwa Zarko datang langsung dari luar kota. Begitu mengetahui mengenai penggalangan dananya.

"Sayang, lihat, betapa baik hati Pak Zarko. Dia bahkan datang dari luar kota langsung ke sini."

"Benar, Sayang. Semoga beliau sehat selalu."

"Sekarang kita punya cukup uang untuk mengurus semuanya," ucap Wisnu, lalu mengarahkan pandangannya pada sang putra, "Jeonsa, berjuanglah, Sayang! Seperti namamu yang berarti pejuang. Mari kita ... berjuang bersama-sama."

Sang istri, mengusap pundak Wisnu. Air matanya turut menetes.








Dinikahi Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang