34. Color Analyst

172 4 0
                                    

Zarko pasti lupa kalau pada hari Minggu, ada undangan pernikahan dari salah seorang karyawannya. Dia hampir saja melewatkan acara itu, kalau saja Silvia tidak mengingatkannya ketika jam makan siang. 

"Aduh! Beneran lupa," keluh Zarko.

"Hmmm! Apa kan, beneran lupa. Ini penting loh, meskipun dia cuma karyawan-"

"Justru karena dia karyawan," ralat Zarko cepat.

"Yeah, makanya Bapak harus menunjukkan perhatian dengan memenuhi undangan."

"I know, Silvia. Hanya saja, akhir-akhir ini banyak yang terjadi. Violet sakit, lalu ini, dan ini lagi."

"Tarik napas dalam-dalam. Pikirkan satu per satu. Kalau dipikir barengan bahaya."

"Oke."

"Dalam hal ini, mohon maaf Silvia tidak bisa menemani, ya. Saya akan datang bersama Steven."

"Hmmh!"

Zarko berpikir, bahwa tidak mengapa kalau dia datang sendiri. Lagipula, semua orang tau kalau dia tidak punya istri. Pergi bersama Vio pun tidak memungkinkan.

Namun, Zarko melihat ini sebagai kesempatan untuknya meminta maaf dengan serius kepada Pony. 

Dengan yakin, dia berniat untuk mengajak Pony sebagai pasangannya nanti. Dia berharap, dengan mengenalkan Pony kepada banyak orang cewek itu akan merasa dihargai dan memaafkan dirinya. Walaupun Zarko masih yakin kalau dia tidak salah apa-apa.

Pagi-pagi ketika orang-orang berangkat untuk berolahraga di akhir pekan, Zarko pergi mengendarai sepeda motor ke rumah keluarga Pony. Dia ingin memberitahukan rencana untuk mengajaknya pergi ke pesta nanti malam, sekaligus mengajaknya berbelanja persiapannya.

Sesampainya di depan rumah, Zarko menghubungi Pony. Wajahnya yang diterpa angin pagi, terasa begitu segar dan dengan wajah tersenyum dia menyapa Pony di telepon, "Halo, Pony. Alu sudah di depan rumah."

"Halo? Apa?" jawab Pony heran dan kaget.

"Ya ini aku di depan rumah tantemu."

"Nah, aku lagi nggak di sana sekarang."

"Apa? Maksudnya bagaimana?"

"Ini biar aku jelasin ya …."

"Udah nggak usah. Sekarang kamu di mana?" tanya Zarko dengan tidak sabar.

"Aku di …."

"Di mana?"

"Di … dekat, sekolah."

"Ya, kalau gitu aku ke sana sekarang. Tunggu ya."

"Kalau gitu aku tunggu di depan sekolah."

Ada rasa marah akibat dari banyaknya pertanyaan yang hadir di kepala Zarko. Tetapi saat ini berkendara dengan aman harus dia prioritaskan. Terlebih, dengan banyaknya pasar tumpah di berbagai jalan, dirinya harus jauh lebih sabar dan hati-hati.

Mencapai sekolah dari rumah tantenya Pony biasanya tidak sesulit di akhir pekan. Saat banyak orang bersantai, olahraga juga berjualan.

Pada akhirnya kesabaran itu membawanya ke area dekat sekolah. Di mana seseorang menunggunya sambil memegang cup berisi minuman boba. Zarko segera memarkirkan sepeda motor di bahu jalan, sesuai dengan arahan tukang parkir untuk bergabung dengan Pony di sebuah kedai es kopi cokelat.

"Hai, mau minum?" sapa Pony ramah.

"Nggak."

"Ya udah."

Dinikahi Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang