33. Aku Capek!

96 1 0
                                    

Pony melihat dalam beberapa hari, Zarko tampak sedih dengan keadaan putrinya yang tak kunjung membaik. Ditambah dengan sikap Vio yang kepala batu, selalu menolak untuk dirawat di rumah sakit. Mungkin sebenarnya, Zarko memikirkan lebih banyak hal daripada kelihatannya.

Sementara itu, Pony juga mulai tak sabar pada Vio. Bukan dalam hal harus menemani dan merawat gadis itu, melainkan tidak sabar menunggu Violet buka mulut. Bicara padanya, dari hati ke hati.

"Vio, apa semuanya baik?" sapa Pony sepulang sekolah. 

"Baik, Pony. Aku segar bugar. Sehat. Besok pasti bisa sekolah," ujar Violet bersemangat. Namun, dengan wajah pucat dan tubuh lemah tergeletak di atas tempat tidur.

Pony hanya menggeleng sambil tersenyum menanggapi ocehan sohib manjanya itu. Lalu, tanpa diduga, Zarko datang ke kamar Vio. Pony tidak mengira jika dia ada di rumah.

"Ternyata ada Pony."

"Iya. Aku baru sampai."

"Vio, Papa mau ngomong."

"Kalau gitu Pony keluar dulu," pamit Pony dengan segera meninggalkan anak dan ayah itu agar mereka bisa ngobrol dengan lebih leluasa.

"Vio … sebenarnya, Papa harus pergi. Papa nggak bisa terus menemani kamu."

"Vio ngerti, kok, Pa," ucap Vio sambil menoleh, getir mendengarkan pengakuan Papa. Namun, apa boleh buat, sejak dulu Vio memang harus selalu ditinggalkan.

"Papa tahu, Vio pasti sedih dan kecewa. Tapi, Vio … bagaimana dengan orang-orang yang membantu kita? Papa tidak bisa--"

"Pa! Nggak pa-pa. Vio bilang Vio ngerti. Sejak dulu, Papa memang selalu sibuk dan banyak urusan."

"Violet …."

"Tenang aja, Pa, kan ada Pony yang jagain Vio di sini. Lagian, Papa nggak akan lama, kan?" 

Violet mengatakan itu dengan wajah dan nada yang ceria. Sambil tersenyum untuk meyakinkan papanya.

"Baiklah, terima kasih, Vio."

"Sama-sama, Papa. Semoga lancar."

Zarko mengangguk sebelum meninggalkan Violet yang masih memasang senyum di wajahnya. Tidak ada yang tahu, jika tangan Violet mengepal kuat, sangat kuat di balik selimutnya. Dia geram, dan merasa sangat kecewa. 

"Sejak dulu, Papa emang nggak bisa ngertiin!" teriaknya tertahan. Padahal Zarko sudah berjanji, akan sering bersamanya. Janji yang terucap usai mereka camping di pantai. 

Sementara itu, Zarko berpapasan dengan Pony di bawah. Ketika gadis itu berniat naik ke kamar Violet. 

"Pony, aku mau ngomong penting."

Kalimat yabg terucap dari bibir Zarko itu, terdengar seperti sebuah perintah. Maka, tanpa menjawab atau menanyakan apapun, Pony mengikuti langkah kaki Zarko ke teras belakang. 

"Bisa tolong kamu jaga Vio?"

"Iya. Bisa."

"Terima kasih banyak, Pony. Kamu pasti nggak tahu betapa berharganya bantuanmu. Aku pasti akan mengabulkan apapun permintaanmu."

"Benarkah?" 

"Tentu."

"Hmmm."

"Pony … aku mau beraktivitas seperti biasa lagi. Jadi, …."

"Jadi?"

"Sebelum Vio pulih,--"

Tanpa diduga, tiba-tiba saja Pony bergerak, memeluk Zarko. Sangat erat, sehingga pria itu tidak dapat berpikir saking terkejutnya.

"Aku kangen. Kangen banget sama kamu!" ungkap Pony jujur.

"Pony?"

"Biarkan, biarkan aku memelukmu sebentar lagi," pintanya ketika Zarko berusaha melepaskan dekapan Pony. Bahkan dalam posisi dipeluk pun, tangan Zarko terbebas menggantung di udara. Tidak sama sekali turut mendekap Pony yang meluapkan rindunya, secara jujur dan terang-terangan. 

"Kamu kenapa?" tanya Zarko ketika Pony mulai terisak-isak. Dia membimbing Pony untuk duduk di kursi dekat meja kopi. Lalu Zarko berlutut di hadapan Pony.

"Why did you hug me like that?"

"You ask me why? Because we are a couple. Because couples out there, they did the same thing to express their feelings, to show their affection. Then, why don't we? Now, I'm asking you!"

"Pony…."

"Aku capek!" keluh Pony sambil terus menangis.

"Iya, maafin aku, Pony."

Zarko membelai rambut Pony dengan lembut, dengan perasaan bersalah karena telah menempatkan Pony dalam situasi yang melelahkan. Yaitu, menjadi seseorang yang menjaga dan merawat Violet. Walau bagaimana pun, Pony tetaplah gadis belia yang seharusnya dihujani perhatian, bukan dituntut untuk memahami orang lain.

"Kamu pasti capek mengurus Vio. Kalau gitu--"

"Nggak," sergah Pony, "Aku nggak capek karena itu. Aku senang malah bisa bersama Vio."

"Lalu? Apa yang?"

"Aku … lelah jika harus pura-pura di hadapanmu. Berpura-pura kalau tidak ada apa-apa di antara kita. Bersikap seolah kita adalah orang lain, asing. Sikap dinginmu, yang sangat menyakitkan bagiku."

Zarko menaruh telapak tangannya dengan lembut di pipi Pony. Menatap matanya yang basah oleh air mata. 

"Tidak sulit memahami semuanya, kan?"

"Tidak sama sekali, Pony. Aku tidak akan mencari pembelaan untuk diriku sendiri."

"Jangan menghindariku terus."

"Iya, janji."

Zarko menunjukkan kelingking, berharap Pony akan menautkan kelingkingnya juga. Namun, Pony malah tertawa mengejek.

"Aku bukan anak kecil yang dijanjikan dengan bertaut kelingking," ujarnya dengan yang tertahan di hidung akibat menangis.

"Oh, iya. Aku lupa kamu adalah wanita yang sudah dewasa ya?"

"Itu baru benar!" ucap Pony sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya di udara. Bibirnya mengulas senyum. Namun, tiba-tiba saja, senyum itu hilang dan berganti dengan ekspresi terkejut.

Pony membulatkan mata, bahkan dia menahan napas ketika wajah Zarko mendekatinya. 

(Oh, tidak! Tenang, Pony, tidak-tidak-tidak!) batin Pony yang sebenarnya mulai panik karena tahu apa yang akan terjadi. Dia heran sendiri, kenapa malah tidak bisa santai ketika momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang. Bahkan, semakin dekat dengan wajah Zarko, tangan Pony semakin erat meremas pahanya sendiri. 

"Maafkan aku," bisik Zarko setelah mengecup dengan lembut Pipi Pony. Membuat gadis itu menelan ludahnya, sambil mengangguk. Dengan keadaan dada yang bergemuruh, karena nerveous.

"Katakan apa saja, yang bisa aku lakukan untukmu. Bantu aku, memahamimu. Oke?" pinta Zarko sambil menggenggam kedua tangan Pony.

"Huum." 

Pony mengangguk. Menatap orang yang paling dia cintai itu. 

"Aku … dalam hal ini, aku bukanlah orang yang pandai. Jadi, aku akan butuh bantuanmu."

Zarko berdiri, di hadapan Pony. Sekali lagi, Pony dibuat kagum oleh bagaimana dengan ajaib, Zarko menghapus kemarahannya. Rasa kecewa yang Pony simpan beberapa lama, yang ketika dia tumpahkan justru hilang, terhapus oleh sikap Zarko. Dan … hanya dengan sebuah kecupa.

"Aku harus pergi sekarang," ucap Zarko berpamitan. 

"Baik."

Zarko melangkah menuju ke dalam rumah untuk bersiap-siap pergi. Sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi. Apa sikap Pony ada hubungannya dengan mimpi itu? Mimpi yang membuat Zarko merasa ngeri?

Mungkin dia akan butuh bantuan orang lain untuk memahami semuanya. Dia akan butuh sudut pandang orang lain, seorang wanita yang mungkin punya pengetahuan tentang sesamanya.

"Ah, Silvia," gumamnya dengan perasaan sedikit lega. Setelah ini, Zarko akan meminta bantuan Silvia untuk hal yang sebenarnya, malas dia bahas dengan wanita itu. 





Dinikahi Duda Tampan (Tamat)Where stories live. Discover now