26. Menikahlah Denganku

90 0 0
                                    


Waktu seolah berhenti berdetak saat Zarko menatap mata Pony yang juga terdiam. Gadis itu mencoba meredam gejolak dan segenap gelisah yang meletup-letup. Menunggu respons pria di hadapannya, terasa bagai bertahun-tahun lamanya. Tempat dia menyandarkan punggung memanas seiring waktu, semakin terasa memanggang tubuhnya.

"Kita putus. Oke?" Kembali dia mengulang ajakan itu. Sebuah ide yang tidak hanya melukai Zarko, tetapi juga dirinya sendiri.

Mata itu tidak berkedip, membulat seolah menyorot langsung ke dalam hati Pony. Mengelupas satu per satu lapisan percaya diri dan keteguhan yang dia bangun sejak kemarin, saat dirinya berjanji. Kemudian tatapan itu menghangat, diiringi senyum yang selalu berhasil menjerat Pony ke dalam pesonanya.

"Jadi itu yang mau kamu sampaikan?" tanya Zarko dengan begitu tenang sambil menyilangkan tangan di dada. Menghempaskan punggungnya seolah kata-kata Pony, yang gadis itu susah payah ucapkan tidak berefek apa-apa.

Layaknya mantra yang kehilangan daya.

"Iya."

"Oke," balas Zarko sambil mendekatkan dirinya dengan sedikit membungkuk, "gini ya, kamu mau kita udahan?"

"Ya benar."

"Dengan alasan?" selidik Zarko sambil terus mengamati ekspresi Pony.

"Karena … aku udah janji sama Vio."

"Ow, gitu. Okelah!"

"Jadi, kamu setuju?" Ragu-ragu, Pony menanyakan hal itu. Dia sebenarnya tidak sedang berharap apa-apa. Namun, apapun yang akan dikatakan oleh sang kekasih, adalah hal yang sangat dia tunggu.

"Pony."

"Ya?"

"Mari kita menikah."

Kali ini giliran Pony yang dibuat terdiam. Kalimatnya begitu sederhana, 'Mari kita menikah'. Namun, tidak semudah itu memahaminya. Apa maksud dari kalimat itu? Bercanda, kah, atau sekadar meledeknya? Apakah itu sebuah bentuk ajakan, atau perintah? Sebuah pertanyaan? Atau … pernyataan? Mendadak kepala Pony dipenuhi dengan cara memahami kata-kata. 

"Pony, menikahlah denganku."

"Emmh, itu …."

"Ya aku serius. Tujuan dari hubungan ini memang supaya kita hidup bersama. Apa kamu nggak mencintaiku? Apa ada orang lain?"

"Serius, ih!"

"Dasar bocil."

"Iyaaah." Pada akhirnya, Pony setuju dengan Zarko. Bukan tentang menikahnya, melainkan bahwa dirinya hanyalah bocil. 

"Kamu itu lucu, loh, Pony."

"Ehe."

"Pertama, ya, kita nggak pernah jadian. Kapan tepatnya, aku nembak kamu kayak, ayok jadi pacarku, terus kamu iya. Itu nggak ada. Jadi, kita nggak bisa putus."

"Iya juga, sih. Tapi aku mau hubunganku dengan Vio membaik."

"Yakin, cuma itu jalan satu-satunya? Kamu bahkan jatuh sakit saat kita jauhan kemarin?"

Mau tak mau, Pony mengingat kembali kejadian yang menyakitkan itu. Saat sikap dingin Zarko begitu membekukannya sampai menggigil dan nyaris kehilangan harapan hidup.

"Jadi, menurutku, bukan itu jalan keluar yang terbaik."

Pony terdiam dan memikirkan ulang rencananya. Jika memang benar dia sanggup untuk berpisah, mengapa waktu yang dia habiskan bersama Zarko bisa begitu dia nikmati?

Dinikahi Duda Tampan (Tamat)Where stories live. Discover now