22. Saling Membutuhkan

62 1 0
                                    


"Eh, iya, iya, Pony! Maaf."

Sesegera mungkin Evan mencegah Pony pergi meninggalkannya sendirian di dapur.

"Please, maafin aku ya," pintanya dengan menggenggam tangan Pony. Gadis itu pun berbalik.

"Oke," jawab Pony dengan nada terpaksa.

"Iya, aku janji bakal ngertiin hubungan kamu dan Pak Zarko itu. Tapi, please, jangan marah, ya sama aku."

"Iyaaaa."

"Aku tuh, cuma nggak mau aja kamu sakit lagi kayak dulu. Itu aja, kok. Tapi … kalau kamu yakin kamu bahagia dengan dia ya, aku akan dukung."

Evan mengangguk mantap saat mengatakannya. Dengan nada yang ringan, sehingga Pony membaca ketulusan dalam dirinya.

"Thanks, Van."

"Ya udah, kalau gitu temenin aku makan ya."

"Hu'um."

Pony setuju untuk kembali ke meja makan. Membiarkan Evan menghabiskan mi instan buatannya. Lalu, mereka berbagi teh manis yang terasa lebih manis bagi Evan saat meminumnya sambil memandang wajah sepupu yang paling dicintainya itu.

Sebenarnya, Evan masih menyimpan amarah dalam dirinya. Tidak mudah baginya untuk merelakan Pony begitu saja. Apalagi dengan seseorang yang tidak dia sukai. Mengapa Pony harus mencintai orang yang jauh lebih tua darinya?

Evan sejatinya hanya berpura-pura. Dia mencoba terlihat mengalah, meski sebenarnya marah. Namun, Evan juga yakin, bahwa lambat laun, Pony juga akan jatuh ke dalam pelukannya.

Sejauh ini, yang penting bagi Evan adalah dia memiliki Pony. Dia dapat memiliki tubuhnya, perhatiannya, dan yang paling penting mereka bisa menghabiskan waktu bersama.

"Habis!" ucap Evan sambil tersenyum polos.

"Pinter."

"Ya udah aku cuci dulu mangkoknya."

"Makasih banget, Pony. Maaf kalau ngerepotin."

"Enggak, kok. Santai aja."

Evan bergegas untuk membersihkan diri dan ganti pakaian. Dia melakukannya secepat mungkin, sebelum Pony kembali ke kamarnya.

Ketika Evan turun, Pony sedang mengelap meja makan.

"Eh, udah beres ya?"

"Iya. Tadi sekalian buang sampah. Biar rapi semua. Tante nggak suka kalau dapurnya kotor pagi-pagi."

"Makasih, Pony."

Evan meraih lap yang sedang dipegang Pony lalu mengembalikan ke tempatnya.

"Sama-sama."

"Pony, maafin tadi aku salah ngomong. Kamu nggak marah, kan?"

"Udah nggak."

Evan meremas jemari Pony, lalu dia segera memberikan kecupan di pipi gadis itu sambil mengucapkan terima kasih sekali lagi.

"Ya, udah. Aku mau tidur dulu."

"Ya, selamat malam kalau gitu," ucap Evan sambil mendekatkan diri. Kedua tangannya berada di pundak Pony. Cowok itu bukan lagi mengecup pipi melainkan bibir Pony.

Sebenarnya, Pony berusaha menghentikan Evan. Namun, dia sendiri ….

Pony menyadari kalau dia sangat menyukai itu. Di satu sisi, dia ingin terlepas dari Evan sementara pada saat yang sama dia juga sangat menikmatinya. Terlalu sulit bagi Pony untuk menolak pesona Evan.

Harum dan dinginnya aroma mouthwash turut andil dalam kenyamanan yang dirasakan oleh Pony. Terlebih, kehangatan dekapan yang tidak didapatkannya dari Zarko.

Dinikahi Duda Tampan (Tamat)Where stories live. Discover now