32. Tak Kunjung Membaik

48 2 0
                                    

"Kenapa rasanya keadaan gue gak juga membaik, Pony?"

Pony mengusap rambut Vio. Wajar kalau gadis itu mengeluh. Sejak jatuh sakit, keadaannya tak kunjung membaik. Persis seperti yang Pony alami ketika patah hati.

"Sabar, ya, Vio. Mungkin lo emang butuh lebih banyak istirahat."

Meskipun harus terus berbaring, Violet masih menyempatkan diri belajar. Pony lah yang selalu membawakan materi untuknya, agar Vio tidak merasa tertinggal. 

Sebenarnya ada satu hal, yang membuat Pony penasaran. Di malam ketika Vio terbangung sebelum jatuh sakit, sebenarnya dia mimpi apa? Ingin sekali Pony menanyakan hal itu.

"Rambutmu lepek, Vio."

Pony mengomentari bukan untuk membuat Vio merasa semakin buruk. Dia hanya memberitahukannya agar Vio bisa merasa lebih nyaman. 

"Sini gue bantuin bersihin rambut lo."

Pony membantu Vio untuk duduk, dengan mengganjal punggungnya dengan tumpukan bantal. Cewek itu lalu mengambil botol dry shampoo, dan mulai menyemprotkannya ke area kepala Vio. Sambil sesekali mengacak, lalu merapikan kembali rambut Violet. Dengan begitu, kulit kepala tidak lagi berminyak, dan rambutnya kembali nyaman.

"Thanks, Pony."

Pony tidak tahu saja, bahwa dari celah pintu Zarko sedang memperhatikannya. Dia bahkan sempat takjub dengan bagaimana tangan Pony begitu cekatan membantu mengurus putrinya. Rasanya, Zarko ingin sekali masuk untuk mengungkapkan terima kasihnya. Namun, hal itu harus tertunda, sebab: 

Pertama, di hadapan Violet, mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa, dan gadis itu akan memprotes keakraban antara dirinya dengan Pony.

Kedua, di tempat lain, Silvia sudah menunggunya, ada hal yang harus diurus segera.

Jadi, alih-alih berterima kasih saat itu juga, dirinya lebih memilih untuk menunda. Menunggu waktu yang tepat. Mungkin besok, lusa, atau suatu saat nanti. Yang jelas, dengan adanya Pony, sekarang Zarko bisa merasa sedikit lega meninggalkan Vio. Padahal, kalau tidak ada yang menemani Vio, dia sendiri pasti akan memilih untuk tetap tinggal di rumah.

Pada hari ke empat, ketika Vio tak kunjung sembuh, pada akhirnya keputusan untuk merawat Violet di rumah sakit adalah pilihan yang harus dipilih. Keputusan yang juga disarankan oleh dokter mereka. Sangat melelahkan bagi Zarko, dalam membujuk Violet agar mau dirawat inap. 

"Tolonglah, Vio. Papa mohon."

"Pa, Vio nggak mau. Vio bakalan tambah sakit. I don't need to be hospitalized, Pa. Please."

"But, you getting worse, Vio. Harus ditangani lebih serius."

Pony yang merasa sebagai orang luar, jadi serba salah berada di antara kedua orang itu. Apapun pendapat Pony sekarang, pasti akan jadi salah. Sebab, dia bukanlah bagian dari keluarga.

Ekspresi Zarko yang serius, Vio yang ngeyelan, Pony menyangka kedua orang itu akan terus berdebat sampai malam tiba. Namun, ternyata tidak. Vio justru tersenyum, dan dengan santainya, cewek itu berkata pada ayahnya, "Apa Papa pikir, Pony nggak serius ngerawat Vio? Dikira cuma main-main?"

Mendengar namanya disebut, langsung membuat Pony tersedak ludahnya sendiri. 

"Tuh, ampe batuk orangnya." Dari sofa tempatnya duduk, Pony mengangguk sambil menunjukkan senyum yang canggung pada pasangan ayah dan anak itu.

"Kira-kira apa pendapat Pony tentang hal ini? Kamu pasti nggak mau kan, terus-terusan repot menjaga dan merawat Vio?" tanya Zarko, sekaligus mencari dukungan agar Vio menurutinya.

Pony langusng bangun dari duduknya, dan mendekat ke tempat tidur Violet. Sambil melirik-lirik kode yang mungkin diberikan Violet. Namun, dia tidak menemukan apa-apa selain ekspresi masam di wajah Vio, dan ekspresi menunggu di wajah Zarko. 

Lalu, apakah pendapatnya akan menjadi penting? Padahal, Pony meyakini apapun pendapatnya, pasti salah.

"Eh, bagaimana ya? Menurut saya, lebih baik memang dirawat di rumah sakit."

"Lo udah bosen ngurusin gue?" tanya Vio dengan penekanan yang sangat mengintimidasi. Membuat Pony semakin serba salah.

"Bukan, gitu, Vio. Maksud gue, giniloh, kalau lo nggak mau ya udah nggak usah."

Mendengar jawaban kedua Pony, sukses membuat Zarko membuang muka sejenak.

"Percuma ngarepin bocil!" ucapnya tanpa suara. 

"Tapi, gimana kalau Vio izinin dokter ambil sample? Supaya bisa dideteksi tentang sakitnya? Untuk pemeriksaan, mungkin tes darah, dll?"

Vio dan Zarko saling memandang sejenak. Tanpa melakukan apa-apa, dan tanpa menunjukkan eskpresi apa-apa.  Membuat Pony merasa konyol dengan ide yang baru saja dia lontarkan. Di luar dugaannya, memang begitulah gaya Zarko dan Vio berkomunikasi. Mereka kerap bersepakat dalam diam. Untuk ide itu, justru Vio dan papanya memberikan pujian bagi Pony.

"Terima kasih, Pony," ucap Zarko sambil menunduk sopan ketika akan pergi meninggalkan mereka berdua, lagi.

"Eh?"

Hanya tanda tanya besar yang melayang di atas kepala Pony. Sebab, dia tidak punya jawaban.

"Vio … apa gue salah omong?" tanya Pony khawatir.

"Enggak, Pony. Lo mau makan apa?"

"Nanti dulu masalah makan."

"Habis pake otak buat mikir, pasti lo laper, kan? Kerja otak juga butuh nutrisi tau!"

"Hmmm."

"Apalagi otak jarang dipake. Ups!"

"Hih, enak aja! Bukan jarang dipake, sering tau, sampe maksa-maksa."

"Tapi?"

"Tapi ya, emang terbatas kemampuannya!"

"AHAAHHA! KEREN, KEREN!"

Pony melirik Violet, lalu menatapnya sinis. Bisa-bisanya orang sakit, malah mengejeknya seperti itu. Lalu, Pony berniat untuk mengerjai Violet. Mumpung papanya sudah pergi.

Pony segera meluncur ke tempat tidur, sambil mendaratkan punggung tangan dengan lembut ke kening Vio.

"Lo, beneran sakit, kan? Apa cuma pura-pura biar gue urusin?" selidik Pony, sambil menatap Violet curiga.

"Iya, gue pura-pura."

"Kan? Masa orang sakit ketawa!"

"Lah, bagus dong."

"Iya, bagus, seneng gue dengernya."

"Nah, gitu, dong. Thanks banget ya, udah nemenin gue, Pony. Abis ini lo mau minta apa pasti gue kasih. Iphone? Baju? Sepatu?"

"Nakaja! Gue juga punya duit tau, Vio."

"Hah? Duit dari mana?"

"Ya dapet dari Tante gue lah, selama ini gue bantuin di rumah Tante masa nggak dikasih upah. Hehe."

Mengingat kembali kejadian itu, membuat perut terasa nyeri. Saat Tante Yana memintanya berjanji untuk menjauhi Evan. Dan sekarang, dia sedang mewujudkan janji itu.

"Pony?" panggil Violet karena melihat Pony terdiam dengan tatapan kosong.

"Ya?"

"Lo mikir sesuatu?"

"Enggak, kok. Gue cuma nggak habis pikir, kenapa papa lo langsung pergi gitu aja ya, tadi?"

"Bagus, dong, berarti Papa setuju sama ide lo."

"Oh, gitu."

"Jadi, kami nggak harus terus berdebat. Betapa beruntungnya … kuping lo, Pony."

"Iyaaa."

Pony dan Vio berbagi tawa bersama. Keduanya seolah lupa kenapa mereka bersama dalam waktu dan tempat yang sama. Bahkan, bagi Pony, dia dapat melihat wajah Violet begitu segar tidak seperti orang yang sakit. Hanya saja, apa yang membuat Vio belum juga sembuh?

Setelah memesan makanan, keduanya kembali belajar bersama. Dalam keadaan sakit, bahkan Vio tetaplah mentor yang baik bagi Pony dalam hal pelajaran.





Dinikahi Duda Tampan (Tamat)Where stories live. Discover now