29. Chicken Curry?

41 4 0
                                    


Hari-hari terjalin rapi menemani kehidupan Pony di tempat yang baru. Dia mulai terbiasa tinggal sendirian, meski beberapa kali Violet menawarkannya untuk pindah ke apartemen. Bagi Vio, tempat yang dijaga siang malam lebih aman, terutama untuk gadis seusia Pony.

Namun, yang terpikir oleh Pony lain lagi. Sekarang dia memang punya uang yang harus dibelanjakannya dengan bijaksana. Mengingat bahwa dirinya tidak memiliki orang tua.

"Nanti kalau udah lulus, gue mungkin nggak langsung dapet kerja, Vio. Makanya harus hemat dari sekarang. Apa yang menurut lo murah, belum tentu murah buat gue."

"Iya, deh," jawab Vio pasrah saat mereka sedang belajar bersama untuk menghadapi ujian.

Sementara Pony semakin berdebar memikirkan nasibnya setelah SMA, dia juga harus pusing memikirkan bagaimana caranya jujur pada Evan. Cowok itu, tidak pernah menyerah untuk mendapatkan Pony. Meskipun berkali-kali Pony menyuruhnya untuk berhenti menanti, untuk membuka hati pada orang lain.

"Jadi, nanti lo mau kerja beneran?"

Pony seperti mendengar pertanyaan itu, entah di mana. Saat ini kesadarannya sedang berada bersama Evan dalam suasana yang kelabu.

"Pony!"

Sebuah pulpen mendarat cukup keras di punggung tangannya.

"Eh! Iya, gimana Vio?"

"Yaaah. Malah ngelamun nggak bener lo belajarnya."

"Sorry. Habisnya aku pusing juga mikir rencana ke depan."

"Hmm, gue ngerti, kok. Masih ada banyak cara, kalau lo mau, kan, bisa ngajuin beasiswa."

"Duh, mending cari duit, deh. Tau nggak, sekarang usia gue 18 tahun, itu artinya gue udah tergolong sebagai manusia dewasa yang mampu menghidupi diri sendiri."

"Iya, deh, si paling dewasa!"

Pony dan Violet tertawa bersama seperti persahabatan mereka semula. Tidak ada kebencian, serta rasa curiga. Sebab, sejauh ini Zarko menepati janjinya untuk berhenti menemui Pony.

"Lo tau nggak, kenapa Papa nggak suka temen-temen lain?" tanya Pony yang siap memasukkan bola chiki ke dalam mulutnya.

"Karena …?"

"Emang Papa nggak pernah cerita? Papa nggak suka gue keluar malem. Nah! Makanya Papa nggak mendukung gue berteman sama mereka."

"Oh, gitu."

"Iya. Papa pernah bilang, 'Itu temen kamu Pony sepertinya anak baik-baik. Kenaoa nggak temenan sama dia aja?'" terang Vio sambil memonyong-monyongkan bibir ketika menirukan kata-kata ayahnya.

"Wah! Serius papamu ngomong gitu?" 

"Iya."

Tiba-tiba Vio terdiam. Seperti menyadari sesuatu. Dia merasakan perutnya sakit bagai diremas-remas, karena dia baru menyadari asalnya mengapa Papa dan Pony akhirnya berkencan. 

"Kenapa, Vio?" Melihat wajah temannya pucat, membuat Pony khawatir. Dia takut kalau terjadi sesuatu pada Vio. Apakah dia sakit?

"Nggak pa-pa. Cuma mules. Gue ke toilet dulu."

Violet meninggalkan Pony sendirian di ruang tidurnya. Dia masuk ke kamar mandi, lalu segera duduk di kloset. Violet meremas perutnya sekali lagi. 

"Jadi, hubungan mereka juga gara-gara gue sendiri?" tanyanya pada diri sendiri. Saking seringnya Vio mengajak Pony pulang, dan saking seringnya mereka berdua pergi bersama, adalah jalan bagi Pony dan Papa untuk mengenal satu sama lain. Lalu, keduanya mulai jatuh cinta. Mungkin. Dan kenapa harus Pony?

Dinikahi Duda Tampan (Tamat)Where stories live. Discover now