BAB 33

2.3K 433 77
                                    


Kapal selam bergerak maju, menembus air di kedalaman lautan. Malam itu, keenam anak mengambil tugas mereka masing-masing. Drio mengemudikan kapal, Tanra mencari informasi, Bastian mengatur strategi sekaligus sesekali menggantikan tugas Nala memastikan bahan bakar kapal, Sanja menjadi koki, serta Lexan yang sesekali menggantikan Drio untuk memastikan jalannya kapal serta membaca arah mata angin, juga menyebarkan mantra pelindung untuk memastikan tak ada sihir jahat yang menyerang mereka di jalanan.

Dua jam berlalu. Tanra telah membaca buku kelima. Namun sayangnya tak ada info soal Poraran yang ia temukan sampai ia menemukan sebuah kalimat di halaman 421 di buku bersampul biru tua disitu tertulis Batu Kembar Poraran keemasan tak seiras. Hanya kalimat itu, tak ada informasi lain. Sebuah kalimat di dalam cerita anak kembar yang dipisahkan oleh ruang dan waktu.

Drio, Nala dan Sanja menikmati makan malam mereka lebih dulu. Sementara Lexan, Bastian dan Tanra masih dengan kesibukannya.

"Apa yang akan kita lakukan di Wentira?" tanya Drio. "Kota itu sangat luas, aku cuma berharap kita tak berpisah-pisah lagi."

Drio jelas trauma ketika Bastian menyuruhnya untuk pulang dan ia dihadang oleh makhluk hitam misterius.

"Buronan berkeliaran di luar, aku curiga kalau makhluk bertudung hitam yang hampir menawanku hari itu di Wentira adalah salah satu diantara buronan yang kabur. Sukala tahu semua informasi soal kita dan ia pasti menyebarkannya kepada buronan lain."

"Pasti," gumam Nala.

Pernyataan Drio terdengar masuk akal. Anak itu kembali memakan bubur Manado buatan Sanja dengan lahap. Hari-hari setelahnya mereka semua akan jadi vegetarian, tak ada Ayu yang membantu Sanja memasak. Sehingga Sanja akan menuangkan seninya mengolah sumber pangan nabati.

Samar-samar mereka mendengar langkah kaki yang mendekat. Tanra baru datang dengan buku tebalnya, menaruhnya di meja besi lalu duduk bersila bergabung bersama yang lain.

"Masih tak ada petunjuk soal Poraran, Tanra?" tanya Nala.

Dengan lesu Tanra mengangguk.

Sanja tak senang mendengar itu, tetapi ia berusaha menghargai usaha Tanra. "Kurasa memang tak ada di buku-buku," gumamnya.

Tanra tak mau berputus-asa. Setelah makan, ia bangkit, bergegas kembali ke ruangannya untuk membaca. "Satu yang pasti, kalau Alakus ke Wentira. Maka pasti Wentira dan Poraran ada hubungannya. Mungkin saja sebuah portal. Aku akan baca buku yang lain lagi, siapa tahu ada di buku keenam," katanya seraya mengambil buku yang ia taruh di meja dan meninggalkan mereka.

"Cepat betul," gerutu Drio yang tambah satu mangkuk bubur lagi.

Kehilangan Ayu merupakan pukulan besar bagi Anak Candi Tellu. Rasanya seperti ada yang kurang. Diibaratkan seperti sebuah puzzle yang kurang satu. Ayu biasanya membantu membuat makanan, membantu menghidupkan suasana dengan perkelahiannya dengan Tanra dan Bastian, serta juga sihirnya yang digunakan untuk penyembuhan karena dia adalah penyihir tanaman.

Kapal selam melaju semakin cepat menembus lautan. Selat Makassar memiliki jalur lurus menuju ke Teluk Palu. Sehingga Drio tak perlu bersusah payah untuk mengatur kemudi, hanya perlu mengawasinya.

Ikan-ikan berwarna melintasi kapal mereka, juga makhluk-makhluk Molusca lain yang biasa menempel di kaca kapal selam.

Sanja berjalan membawa semangkuk bubur kepada Bastian di bagian belakang kapal yang bertugas memastikan bahan bakar kapal selam tetap ada, ia ganti tugas dengan Nala.

Bastian melihat Sanja sambil tersenyum tipis. Sanja anak yang aneh memang, saat ini perempuan itu menggunakan piyama tidur berwarna cokelat tua dengan replika mata kucing di atas kepalanya yang terbuat dari serat kayumahoni serta kumis kucing di pipinya. Sementara itu setengah wajahnya tertutup rambut.

ARCHIPELAGOS 2 (Wizarding School in Nusantara)Where stories live. Discover now