BAB 37

2.3K 437 46
                                    


Molatu mengangguk. "Benar."

"K-kenapa.... Kenapa Engku Tarno... ada di foto ini?!"

Foto itu menunjukkan sebuah gambar Tarno dan keluarganya. Terdiri atas ayah, ibu dan kedua anak. Seperti keluarga bahagia. Sayang gambar kepala sang ibu dan ayah sudah buram dan sobek, hanya foto seorang anak perempuan kecil yang didekap Tarno yang bertahan dalam foto itu.

"Ini pasti adiknya Engku Tarno," ucap Nala menunjuk anak perempuan berkepang dalam foto itu. "Lala pernah bercerita padaku, kalau Tarno punya saudari perempuan yang terkena kelainan jiwa. Kalian ingat?"

Kelima anak lainnya membenarkan. Walaupun beberapa diantara mereka agaknya lupa.

"Benar, dia adalah adik kandung Tarno," timpal Molatu. "Sekaligus istriku..."

Istri?

Mata keenam anak itu terbelalak.

Mereka menyadari satu hal secara bersamaan.

Jika Molatu Pawisengi adalah ayah Rita, dan ibunya adalah saudari Engku Tarno. Itu berarti Engku Tarno adalah paman kandung Rita.

Ini menjawab pertanyaan mengapa Rita sangat menyukai Engku Tarno. Jawaban yang paling masuk akal adalah bukan karena rasa kasihan, tetapi karena Engku Tarno adalah pamannya.

Nala menenggak ludah. "T-terus dimana adiknya... Maksudku istri anda dan Rita sekarang?"

"M-mereka kupasung di bawah tanah."

Jawaban itu membuat napas Nala tercekat. Sanja si perempuan berhati lembut mengeluarkan air mata.

"Berdirilah! Kurasa kalian harus melihatnya dan petunjuk lain."

Keenam anak itu di bawah menuju ke ruangan bawah tanah. Semakin ke dalam rumah, semakin mereka mencium aroma serbuk kayu yang semakin kuat. Drio berulangkali bersin karenanya.

Pintu ruangan bawah tanah terbuka.

Mata keenam itu terbelalak. Saat mereka masuk ke dalam, cahaya obor menyala dan terlihatlah seorang ibu dan anak dipasung di dua tempat yang agak berjauhan.

"Rita?!"

Rita nampak suram, rambutnya kusut dan acak-acakan. Bajunya lusuh, kantung matanya nampak jelas dan ia duduk bersila di lantai. Menoleh ke semua orang dengan malas sebelum menunduk kembali.

Sementara sang ibu nampak meraung-raung, tak suka dengan kehadiran mereka.

"Banyak hal yang perlu dikorbankan seseorang untuk menjadi Berong," gumam Molatu sambil mengusap rambut anaknya yang malang. "Bukan hanya soal mengumpulkan benda-benda penting berharga, atau sejarah, tetapi juga tumbal. Tarno telah menjadikan adiknya sendiri tumbal pertamanya. Sayangnya aku tak bisa menyalahkan pria sialan itu."

"Kenapa? tanya Bastian spontan.

"Karena istriku yang memintanya. Ia rela menjadi tumbal demi impian sang kakak."

Permasalahan ini semakin runyam.

"Aku telah gagal menjadi seorang suami sekaligus ayah..." nada suara Molatu berubah menjadi serak pria tua itu mencoba menahan kesedihannya, mencoba menahan air matanya. "... aku tak bisa melakukan apapun selain meminta tolong pada Kepala Kementrian untuk menutup identitas kami dari dunia luar."

Air mata Molatu tumpah begitu saja, lalu ia menjelaskan bahwa Kepala Kementrian yang menjabat saat ini adalah sepupu dari Engku Tarno. Molatu tahu soal itu, sehingga ia mengancam Kepala Kementrian.

"Jika identitasku, Rita dan istriku terbongkar. Aku juga akan memberitahu semua orang dan melibatkannya dalam penderitaan kami."

Jelas Kepala Kementrian Sihir tak mau karirnya yang ia kejar selama bertahun-tahun lamanya sirna hanya karena ia adalah sepupu dari Engku Tarno. Walaupun beberapa petinggi di Kementrian tahu soal itu, bahkan Nyai Rondo. Lebih tepatnya, Kepala Kementrian tak ingin semuanya terkuak bahwa ia yang menjadi dalang utama atas alasan mengapa Tarno ingin menjadi Berong. Dan satu-satunya yang tahu soal ini dan memegang banyak bukti hanyalah Molatu.

Nala menyadari bahwa semua yang Lala katakan tentang Engku Tarno padanya adalah benar.

"Apakah mereka akan seperti ini selamanya?" tanya Bastian.

"Aku tak tahu soal itu, tetapi..." Molatu menunduk, lalu mengambil cincin dengan permata berwarna ungu dari tangan anaknya, lalu memperlihatkannya pada keenam anak itu.

Bastian mengambilnya.

".... Kurasa semua yang terjadi ada hubungannya dengan cincin ini."

Mata Tanra membulat. Ia nampaknya mengenal cincin itu. Tanra telah banyak membaca buku soal cincin sebelumnya, alasannya karena Engku Tarno pengoleksi cincin, kalian pasti ingat saat dimana ketujuh anak terpilih masuk ke ruangan Engku Tarno untuk mencari petunjuk dan mereka hanya menemukan banyak cincin dalam lemari. Tanra berharap mendapatkan petunjuk dari buku, namun tak ada satu cincin pun yang berharga.

Sekarang, anak cerdas berkacamata bulat itu menemukan jawabannya. Seperti kamuflase. Engku Tarno mengoleksi banyak cincin untuk mengelabui semua orang bahwa ia menyimpan cincin terlarang.

"Cincin pengikat janji. Memang untuk tumbal," ucap Tanra.

"Aha... Aku tahu solusinya," ucap Bastian, seperti manusia yang telah menemukan solusi dari permasalahan besar di dunia ini dan membuat dirinya merasa penting. Semua mata tertuju padanya.

"Kita hancurkan saja cincinnya."

Jawaban sederhana namun terdengar masuk akal.

"Tidak bisa. Cincin ini tak bisa dihancurkan dengan benda yang lebih rendah nilainya, atau lebih tak berharga daripadanya," ucap Tanra sang perpustakaan berjalan.

"Terus?"

Tanra menghembuskan napas. Menjelaskan bagaimana cincin pengikat janji itu bekerja untuk mengikat jiwa seseorang ke dalamnya. Cincin itu menaruh jiwa orang lain ke benda yang lebih berharga, benda yang lebih penting. Benda yang lebih penting itu ditentukan oleh sang pengikat janji dalam kasus ini adalah Engku Tarno. Sementara cincin pengikat janji sendiri hanyalah pengantar atau penghubung. Sang tumbal akan mengucapkan mantra sembari menggunakan cincin itu, menjadi saksi dengan kekuatan magisnya.

"Apa untungnya melakukan itu. Maksudku apa manfaatnya para tumbal kepada Berong?" tanya Bastian.

"Entahlah." Kedua bahu Tanra terangkat. "Yang pasti, berhubungan dengan kekuatan luar biasa. Seperti yang paman Molatu katakan, menjadi Berong juga membutuhkan tumbal."

"Kalau begitu apa benda pentingnya?" tanya Drio. "Di ruangan Engku Tarno tak ada lagi benda penting yang kita temui tempo hari kan. Selain benda hilang itu..."

Keenam anak itu saling melemparkan pandangan.

"Buku Serandji Nusantara!"

"Tunggu sebentar." Sanja menyela. "Apa kalian yakin buku itu yang jadi benda pentingnya?"

"Tidak", gumam Bastian. "Tetapi tak ada salahnya mencoba. Daripada tak ada jalan sama sekali."

"Kita harus mencari buku itu sampai ketemu!" seru Nala si pemberani dengan gairah membara.

Mereka bergegas pulang. Sementara itu, Tanra tenggelam dalam pikirannya. Di buku soal cincin yang ia baca. Cincin pengikat janji akan bekerja untuk 3 orang tumbal. Pertama Tanra sudah tahu kalau itu Rita, kedua ibu Rita. Tetapi siapa tumbal ketiga? 

ARCHIPELAGOS 2 (Wizarding School in Nusantara)Where stories live. Discover now