BAB 44

2.3K 394 29
                                    

Ketujuh anak terpilih mendapatkan hadiah dari Raja Ambruang berupa barang, juga hadiah rahasia yang akan ia sampaikan setelah pemakaman Rumia Ilen.

Wakil Kepala Kementrian Sihir juga memberikan hadiah karena sangat bersyukur atas keselamatan anaknya, ia menunduk karena sangat bersyukur. Di belakangnya ada sosok pria muda yang berdiri, dia adalah anak keduanya, kakak dari sang anak tertawan yang malang.

"Ambillah ini," ucap pria itu dengan senyum tipis. Dia sangat tinggi dengan bibir tipis yang menawan. Ayu sempat terdiam beberapa saat menyadari betapa rupawan pria dihadapannya. "Halo, nona?"

Ayu tersadar dari lamunannya, menerima hadiah itu dengan gugup. "Terima kasih Kak."

"Ah jangan memanggilku Kak, panggil saja Rabka, kita seumuran."

Seumuran?

Hati Ayu rasanya berbunga-bunga. Namun sayangnya pertemuan mereka berlangsung singkat. Ayu sangat berharap bisa bertemu dengannya lagi suatu hari nanti.

"Kalian semua telah menyelamatkan anakku," kata Wakil Kepala Kementeian Sihir. "Jika kalian ada kebutuhan, hubungi aku saja." Pria itu menyodorkan daun lontara berisi alamat kantornya di Serandjana.

Anak-anak itu berterima kasih, dua hari waktu mereka menikmati keindahan Wentira atas jasa mereka mengembalikan Buku Serandji Nusantara.

Disana semua orang berkumpul. Amerta dan Abimanyu memeluk Ayu dan menyampaikan pada anak-anak terpilih kalau mereka harus saling melindungi.

"Kapan-kapan, datanglah ke rumah. Kami akan sangat senang," gumam Amerta.

"Baiklah tante," jawab Bastian. "Kemarin kami tak sempat kesana, soalnya Ayu tak mengundang kami."

"Bohong Ma," selak Ayu. "Enak saja."

Dengan senyum, Amerta mengelus rambut Bastian dan Ayu. "Kalian semua anak yang manis. Kami semua bangga pada kalian."

Tak hanya itu, Molatu Pawisengi juga turut hadir. Ia datang sendirian dengan membawa sebuah kotak yang dibungkus dengan kain, anak-anak itu bisa menduga kalau isinya adalah kotak kayu karena aromanya tercium sangat khas.

"Bagaimana keadaan Rita?" tanya Sanja khawatir.

"Rita dan ibunya baik-baik saja sekarang. Mereka sedang dalam masa pemulihan, Nyai Mina datang ke rumah dan membawa mereka ke rumah sakit. Kutukan itu benar-benar lepas. Aku..." mata Molatu berkaca-kaca, tubuhnya yang ringkih menangis tersedu-sedu. "Aku berterima kasih kepada kalian yang sebesar-besarnya."

Drio mengusap pundak pria itu. "Tak apa paman, kami juga berterima kasih karena petunjuk itu sangat bermanfaat."

"Ada yang bernama Drio disini?" Upia bersuara.

Tangan Drio yang mengusap pundak Molatu kini terangkat naik. "Aku."

"Ini adalah sesuatu dari Rumia Ilen," ucap Upia.

Drio mengambilnya. Benda itu juga terbungkus rapi, berbentuk kotak. Drio memandanginya kamar sebelum mengusapnya seraya mengucapkan terima kasih.

*

Semua orang memakai pakaian serba hitam dengan gelang memenuhi pergelangan tangan mereka untuk perempuan, sementara para pria memakai penutup kepala berwarna emas.

Semua orang mengiringi jenazah Rumia Ilen sampai ke sebuah daerah dengan tebing tinggi. Puncak tebing itu adalah gunung dengan pohon hijau yang asri, sementara replika mayat-mayat yang diawetkan nampak di tebing.

"Pemakaman ini dilakukan sesuai dengan tingkatan kasta. Penduduk Wentira biasa paling bawah, kemudian kalangan menengah dan orang-orang penting paling atas," ucap Tanra yang menjelaskan diiringi Drio yang masih sesenggukan.

ARCHIPELAGOS 2 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang