BAB 36

2.5K 408 51
                                    

Sepanjang jalan menuju ke ruang makan, Upia bercerita soal Waringin Ambruang. Dia bilang kalau Waringin Ambruang tak pernah melayani tamunya sampai turun tangan sendiri dan dengan mudah memenuhi permintaan orang lain tanpa alasan.

"Waringin sangat sibuk. Ada sekitar 222 tamu penting dari kementrian yang ingin menemuinya, namun ia selalu minta diwakili. Tetapi melihat bagaimana ia melayani kalian, kurasa kalian orang-orang yang hebat. Waringin menunggu kalian di singgasananya, dua jam. Kurasa dia pasti punya harapan yang besar."

"Loh kalau tak menemui orang penting di Kementrian, memangnya sibuk ngapain lagi?" tanya Bastian. "Enak betul tinggal duduk dilayani di kerajaan tanpa bekerja."

Sanja spontan menyikut perut Bastian. Sementara yang lain memelotot (kecuali Lexan).

"Jaga mulutmu Bas," bisik Sanja.

Upia malah tertawa mendengarnya. "Hahaha... sungguh cerdas pertanyaanmu... hmm.. anak muda... siapa namamu?"

"Bastian.... Bastian Tito Siregar."

"Hahaha... lucu sekali. Baiklah, akan kujawab soal pertanyaan apa yang Waringin kerjakan di kerajaan. Tetapi tidak sekarang."

Sementara itu, di belakang ada Nala yang bertanya pada Tanra darimana ia tahu kalau Molatu tinggal di Wentira.

"Aku jelas tahu, info itu mudah ditemukan Nal. Kau sendiri, pergi menghampiri Nyai Mina bersama Sanja dan Ayu, tapi tak menemukan petunjuk apapun. Apa yang kalian lakukan?"

Nala mengerling, merasa direndahkan.

Mereka sudah tiba di depan ruang makan. Pintu terbuka dan aroma makanan yang mengundang lapar mulai tercium. Para perempuan dengan cemelek dari Daun Lontara menyambut. Sebuah meja emas berbentuk lonjong dengan kursi-kursi emas senada.

"Semuanya betul-betul emas. Bukankah ini mengerikan?" desis Bastian. "Ruangan megah nan indah tapi tak berwarna."

"Seperti hidupmu," ucap Drio. "Karena Ayu tak ada, aku mewakilinya Bas. Dia pasti akan bilang begitu."

Mereka akhirnya mengambil posisi duduk masing-masing.

Meja itu masih kosong, sebelum para perempuan bercelemek masuk satu per-satu membawakan makanan. Mereka jalan dengan rapi, langkah kaki senada dan diiringi dengan instrumen musik dari kecapi yang entah darimana berasal.

Mata keenam anak itu berbinar. Mereka benar-benar lapar.

Perempuan bercelemek menunggu mereka di belakang sambil berdiri setelah menyajikan makanan.

Drio menenggak ludah. "Aku jadi ingat makan malam keluargaku di rumah," bisiknya pada siapa saja. "Persis, hanya saja pelayannya memakai celemek merah muda."

"Luar biasa," kata Bastian. "Kalau aku jadi kau, aku akan tinggal di rumah dan tak akan ke Archipelagos. Omong-omong aku penasaran dengan bagaimana kehidupanmu di Papua Drio. Kudengar tanah Papua adalah tanah surga. Benarkah?"

Drio menggeleng. "Hm... seper—"

"Aku tahu kalian semua ingin tinggal disini lebih lama," sela Nala. "Karena semua kemegahan ini. Tetapi kita tak bisa menikmati kemegahan ini jika Ayu belum ada disini."

"Benar," ucap Sanja lembut. Dia ingin mengatakan kalimat itu sejak mereka tiba di gerbang. Namun memikirkan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Anak itu juga terlihat tak

"Ada apa Nak?" tanya salah satu pelayan yang telah dilatih profesional untuk membaca gerak-gerik para tamu. "Ada yang masalah dengan makanan kami?"

"Oh... hm mdia seorang vegetarian," kata Bastian dengan makanan penuh mulut, menyadari dihadapan Sanja tersaji rendang, ikan kuah kuning,

ARCHIPELAGOS 2 (Wizarding School in Nusantara)Where stories live. Discover now