32. Pembayaran Atas Kasih Sayang

2.2K 300 93
                                    

Note : Cerita ini menggandung kekerasan, tindakan tidak terpuji, dan beberapa kata kasar, mohon bijak dalam membaca.
Don't Plagiat. Don't forget for vote and comment.

.
.
.

|Lumayan Panjang, dan mungkin sedikit menganggu emosi pembaca, harap mencari tempat tenang dan membaca kala lenggang.|

Enjoy and Happy Reading!

___

Malam itu keadaan kacau, Joni tidak tahu harus kemana, menemani Harsa atau Kasakara, mau bagaimanapun fakta yang ada, kedua-nya adalah putranya, miliknya, entah mengalir darah atau air dalam tubuh mereka, Arsa dan Asa adalah anaknya, selamanya.

Keduanya terluka dengan tidak ringannya, hingga dalam dua ICU yang di gembor-gemborkan sebagai salah satu ruang penentu hidup atau mati itu sudah terisi oleh mereka berdua, keduanya masuk disana, dalam dua ICU yang berbeda.

“Pa, Papa ke tempat Asa aja dulu ya, Abang mau temenin Jiko liat adek, biar Renan di temenin Ciko sama Navan, sambil nunggu Jevan-Naila”

Joni setuju, dalam pikiran kalutnya ia harus bisa bersyukur, sebab memiliki sulung yang dapat mengerti dirinya tanpa harus mendengar suara yang mengeluh.

Dalam ruang yang mengerikan itu, dingin menyeruak ke sela sendi-sendi Joni, ia masuk dengan baju steril yang ada, sesuai dengan peraturan rumah sakit.

“Asa, jagoan Papa ...” Joni berucap demikian sebagai salam, salam yang baru sekali ia sampaikan pada sang anak.

“Sayang, jagoan Papa Joni juga ya, wah, keren, Papa bisa nambah rame nih rumahnya” Joni berucap, walau kendati air mata tetap meluruh deras.

“Maaf, maaf, maaf karena kamu harus melalui hari berat tanpa Papa,”

“Kasakara. Nama yang bagus, siapapun yang memberi jagoan Papa nama itu, Papa ucapin makasih,” Joni semakin mendekat pada telinga sang anak, anak yang tak ia ketahui awal keberadaan-nya, bahkan belum ia rawat dengan selayaknya.

“Sa, Kasakara dengarkan Papa ya sayang, harus kuat, harus bertahan, jangan capek, tolong jangan istirahat dalam kata lain, jangan ikut bunda ya sayang,”

“Sa, Papa belum jadi Papa yang sempurna, saya ... Saya masih belum dekap kamu, jadiin kamu anak yang bahagia atas nama kamu sendiri, maaf ... Papa emang bodoh, gak tau selama ini kamu dan adek beda,” Joni mundur, sebab isakannya kini terdengar keras, walau begitu, ia usap kasar dan menahan isakan, dalam sunyi ruang yang bahkan tak ada yang mendengar tangisannya, Joni menekan kuat isakan sebab melihat mata terpejam milik Kasakara itu turut berduka.

“Jangan nangis, ini Papa bohongan nangisnya sayang, Papa tunggu Asa sembuh oke?” ia usap lembut tangan yang ada di hadapannya.

“Setelah ini bangun ya nak, nanti main sama Bang Mahen, sama Renan, dan dek Arsa, Asa pasti pengen kan main sama mereka?”

“Cepat sembuh dan cepat bangun, boy” Joni kecup lamat-lamat terdengar dahi putra ketiganya, ia dalami sampai puas, hingga dengan terpaksa keluar berganti menghadapi anak terakhirnya, bungsu yang masih menjadi kesayangan jiwanya, bahkan ia tak merasa terusik sedikit pun oleh fakta akan ‘ikatan darah daging’ antara ia dan Harsa.

•••

“Sa, Ar-sa” Jiko mendahului Mahen guna duduk di samping kanan brankar Harsa, ia sudah datang dan menggenggam perlahan tangan berinfus itu.

“Ini Jiko, Jiji-nya Arsa” Jiko tersenyum, walau naas nya remaja di hadapannya tak dapat membalas seperti biasanya.

“Lo kenapa sih Sa? Marah gara-gara gue gak bisa nemuin lo lebih cepet?” Jiko mengingit bibir dalam bagian bawah miliknya, menahan ada isakan ataupun tangisan yang membuat ia terlihat lemah, setidaknya jangan di depan Harsa, pikir Jiko.

CEMARA PUNYA ASAWhere stories live. Discover now