10. No one perfect

253 46 5
                                    

Sebagai seorang ibu, melihat kamu menyimpang itu sebuah sakit hati yang tidak dapat didefinisikan. Tapi, sebagai seorang ibu juga, melihat kamu bisa membalik semua kesalahan itu sebagai tanggung jawab juga menjadi sebuah kebanggaan tersendiri.

Menghamili perempuan di luar nikah itu bukan sebuah prestasi. Tapi kamu sudah belajar banyak hal dan masih terus belajar hingga sekarang, itu yang harus dinilai.

—Kim Soyoung

Suara bel yang dipencet menggema ke seluruh ruangan.

Jongin yang tadinya masih asik dengan mainannya sendiri segera berdiri, disusul oleh Sehun di belakang anak itu.

"Nini bukaaa! Nini bukaaa! Nini bukakan pintuuu!"

Tubuh gempal itu berlari dengan suara kekehan mengiringi. Jongin suka sekali membukakan pintu untuk tamu. Papa sendiri hanya mengekor untuk ikut menyambut tamu yang datang.

"Nini bukaa! Nini buka pintuu!"

Cklek!

Pintu telah dibuka.

"Hao—ish! Napain ke cini, cih?"

Wajah-wajah yang memang telah membuat janji untuk datang terlihat. Abin, anak itu tersenyum pada Jongin yang membukakan pintu untuknya. Berbanding terbalik dengan Abin, Jongin langsung mengubah wajah cerianya menjadi cemberut. Bahkan dia tidak ragu-ragu untuk menggerutu.

"Nini, halo. Abin main-main lumah Nini, hehe," sapa Abin dengan ramah. Tapi tetap saja, Jongin masih setia memasang wajah juteknya.

Kalau tidak ingat janjinya pada Papa, rasanya Jongin mau mengusir Abin saat ini juga agar tidak masuk ke rumah mereka. Tapi Jongin telanjur janji, jadi dia tidak bisa menariknya lagi. Orang yang tidak bisa menepati janji itu tidak keren; seperti Papa beberapa waktu lalu. Jongin tidak mau menjadi anak yang tidak keren.

Hanya saja ... huh! Melihat wajah Abin sudah membuat mood Jongin langsung merosot drastis.

Abin datang dengan pengasuhnya. Pengasuhnya tidak sama dengan orang yang Sehun temui saat di playgroup kemarin. Mungkin ada beberapa pengasuh untuk mengurus Abin. Sangat berbeda dengan Jongin yang hanya memiliki satu pengasuh. Itu pun hanya bekerja tiga sampai empat hari dalam seminggu, dan masih sering diliburkan oleh Sehun.

"Abin, ayo masuk," ajak Sehun, karena Jongin hanya diam saja sejak tadi di depan pintu.

Jongin mendengkus sebal, memberi jalan pada Abin dan pengasuhnya untuk lewat.

Abin tersenyum pada Sehun. Anak itu menyapa dengan sopan. "Uncle Oh, halooo. Apa kabal, Uncle?"

Tawa Sehun menggema. Dia mengusap pelan kepala Abin. "Baik. Kabar Uncle semakin baik karena Abin main ke sini," ujar Sehun. "Abin sendiri, gimana?"

"Abin baik, Uncle."

"Bagus, bagus. Ayo, ke dalam. Nanti kamu bisa main sama Nini di dalam. Nini punya banyak mainan. Abin bisa pinjam juga nanti."

Sehun menggiring Abin untuk masuk ke ruang mainan. Di sana memang ada banyak sekali kotak besar berisi mainan Jongin yang disusun sedemikian rupa agar tidak terlihat berantakan.

"Abin bawakan mainan fol Nini, Uncle. Aunty, mainan Nini mana?"

Nanny-nya Abin memberikan hadiah yang telah anak itu persiapkan untuk Jongin. Abin memberikannya pada Sehun.

"Loh, ini bukannya action figure yang kamu bilang kemarin, ya? Waahh, Nini memang suka ini. Makasih, ya, Abin."

"Cama-cama, Uncle!"

Papa's Diary •√Where stories live. Discover now