32. We go home

286 39 10
                                    

Sekali waktu Yoongi pernah bilang ke gue, "Uncle kayaknya perlu beli buku Pangeran Cilik (Le Petit Prince) deh. Kata penulisnya sih itu buku anak-anak yang didesikasikan buat orang dewasa. Siapa tahu cocok sama Uncle. Orang dewasa yang jiwanya masih ada di usia anak-anak."

Gue tahu itu sindiran, tapi gue beneran beli buku itu, gue baca dan yang muncul di kepala gue setelahnya adalah, "Kenapa waktu kecil gue nggak berpikir kayak gini, ya?"

—Oh Sehun


"Papa ...."

Jongin mendusel-duselkan kepala kecilnya di dada Papa yang lebar. Dia senang sekali karena bisa berada di dekat Papa lagi setelah sekian lama. Tangan kecil anak itu terlihat menggenggam baju rumah sakit yang papanya kenakan dengan erat. Matanya terpejam, sedangkan kaki kecilnya setengah menggantung di udara karena saat ini Jongin sedang dipangku oleh papanya.

"Iya? Kenapa, hm?"

Suara lembut Sehun menanggapi. Tangan kanannya dia gunakan untuk menahan punggung Jongin, sedangkan tangan kirinya dia gunakan untuk mengusap-usap kaki kecil anaknya. Entah apa fungsi dari gerakan tangan kiri itu, tapi baik Sehun maupun Jongin merasa senang akan itu.

Jongin yang sempat memejamkan mata itu membuka kelopaknya, dia mendongak sehingga bisa bertatapan dengan wajah Papa yang menunduk. Kikikan anak itu terdengar, membuat Sehun tanpa sadar jadi ikut terbawa.

"Kenapa, sih?" tanya Sehun setelah tawa keduanya mereda.

Kepala kecil Jongin menggeleng, lalu dia kembali memeluk tubuh papanya dengan erat. Jongin tanpa ragu menempelkan lagi kepalanya di dada sang papa. Suara detak jantung Papa yang stabil terdengar jauh lebih baik dibanding saat itu, ketika Papa sakit dan detak jantungnya tidak normal. Jongin sedang mendengarkan detakan jantung papanya.

Tangan besar Sehun yang menahan punggung anaknya itu bergerak, kali ini dia memberikan usapan lembut di punggung sempit Jongin. Matanya menilik wajah yang terlihat nyaman dalam posisinya sendiri itu. Sehun tidak ingin mengganggu kegiatan Jongin.

"Papa ...." Jongin kembali memanggil, kali ini suaranya sedikit lebih kecil.

"Iya? Kenapa Nini?"

"Papa dah bubuh?" tanya Jongin.

"Hm ... sudah."

Jongin mendongak sekali lagi. Dan mereka kembali mengulang adegan ketika tatapan keduanya saling bertemu. Sehun tersenyum lembut, maniknya terlihat berseri karena melihat wajah bulat Jongin yang telah dia rindukan berhari-hari.

"Puyang kapan?"

Senyuman Sehun sedikit memudar. Dia berpikir sebentar sebelum memberikan jawaban yang mungkin tidak akan disukai oleh anaknya itu. "Papa juga belum tahu," balas Sehun lagi.

"Katana dah bubuh, napa dak puyang?" Seperti ada paksaan dalam ucapannya itu, Jongin seolah-olah sedang protes pada papanya.

"Iya, Papa sudah sembuh. Tapi Papa masih harus diperiksa sama dokter lagi."

"Napa?" tuntut Jongin.

"Hm ... Nini ingat nggak waktu Nini sakit di vila kemarin?" Jongin mengangguk. Mata bulat anak itu seperti menyimpan banyak pertanyaan yang tidak dapat dibendung. "Nini waktu itu sudah sembuh, tapi masih harus minum obat agar pileknya hilang, benar, 'kan?"

"Benal," jawab Jongin tidak bersemangat. Dia teringat obat tidak enak yang harus dihabiskan olehnya. Meskipun obat itu dilabeli rasa stroberi, tetap saja rasanya sangat mengerikan. Jongin jadi semakin benci kalau ingat lagi.

"Papa juga seperti itu. Papa harus dirawat lagi biar sakitnya pergi semua," ucap Sehun. "Memangnya di rumahnya Yoongi tidak seru, ya? Yoongi tidak ajak Nini main?"

Papa's Diary •√Where stories live. Discover now