18. PeterPan

225 43 20
                                    

Sejujurnya gue nggak pernah punya keinginan untuk tumbuh dewasa. Tapi karena ada si bocil gue jadi merasa kalau menjadi dewasa bukan lagi soal mau atau nggak-nya gue, tapi itu sudah jadi KEWAJIBAN buat gue.

—Oh Sehun

Seperti biasa, Sehun akan bangun lebih awal, olahraga sebentar, lalu menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk anaknya. Semua itu Sehun lakukan sebelum membangunkan Jongin yang tidur dengan mulut terbuka. Serangan ciuman yang Sehun lalukan itu lebih dari cukup untuk membuat Jongin kesal dan mencoba menyingkirkan wajah papanya dengan tangan kecilnyanya itu.

"Nini dah banun, Papaa. Nini dah banunn! Cudaaa!"

Jongin merengek sambil mendorong udara karena tidak juga menemukan wajah Papa yang menjadi sumber masalahnya. Anak itu masih enggan membuka kedua kelopaknya yang terasa berat.

"Buka mata dong kalau dah bangun," tanggap Sehun.

"Cudaaa!"

"Good. Ayo, siap-siap ke sekolah. Gue bantu, soalnya besok gue kan nggak ada di rumah."

Jongin mengangguk. Dibantu oleh Papa dia meminum segelas air putih, lalu menggosok gigi dan mandi hingga bersih. Papa juga membantu Jongin memakai baju untuk dikenakan hari ini. Dan sekarang Jongin siap untuk pergi ke sekolah.

Setelah siap semuanya, Jongin duduk di kursi sambil menunggu Papa yang sibuk membuatkan susu. Jongin memakan sarapan miliknya dengan sangat baik.

"Jongin, dengar."

Jongin yang baru saja menghabiskan sarapan dan susunya, mendongak untuk memberikan perhatian pada Papa.

"Papa kemarin sudah bilang, tapi Papa mau bilang lagi kalau-kalau Jongin lupa."

Suasananya jadi sangat menegangkan karena jika sudah seperti ini biasanya Papa akan berbicara hal penting.

"Papa akan pergi tiga hari. Papa nggak di rumah selama tiga hari. Ingat, tiga hari dari hari ini, okay?"

Jongin masih diam saja. Kali ini Papa mengangkat tangan kanan dan menunjukkan ketiga jari yang berada di tengah. "Ini tiga. Satu, dua, tiga. Papa nggak ada di rumah selama itu. Coba, Jongin hitung."

"Catu, uwa, iga."

Jongin ikut menunjukkan ketiga jari kanannya pada Sehun.

"Nah, betul." Sehun tersenyum puas mendengar ucapan Jongin. "Papa akan pulang di hari keempat. Ini, lihat. Satu, dua, tiga, empat. Papa pulang di hari keempat. Coba Jongin hitung."

"Catu, uwa, iga, foul."

"Anak hebat!" puji Sehun. "Jadi, Jongin di rumah sama Mbak Ajeng dulu, ya? Nanti Opa dan Oma juga datang, jadi Jongin tidak akan kesepian. Jongin paham, kan, apa kata Papa?"

"Um."

"Jongin jadi anak baik, menurut sama Mbak Ajeng, Opa dan Oma, okay? Kalau Jongin jadi anak baik nanti Papa ajak Jongin ke tempat yang ada saljunya. Jongin mau kan lihat salju?"

"Maauuu!"

"Nah, good. Jadi Jongin harus jadi anak yang ...?"

"Good-good!" jawab Jongin bersemangat.

Sehun mengangguk puas. Dengan begini, dia jadi bisa terbang ke Malaysia tanpa banyak beban. Jongin pasti akan mengerti, karena Sehun sudah terbiasa membuat Jongin paham akan kesibukannya sebagai siswa dan mahasiswa.

Sehun bukannya sengaja mau membuat Jongin merasa ditinggal. Jangankan pergi jauh, sebenarnya Sehun bahkan tidak tega jika dia harus membuat Jongin ke playgroup hanya dengan Mbak Ajeng atau dengan orang tuanya saja tanpa ada Sehun. Tapi Sehun juga tahu jika dia masih memiliki kewajiban untuk menyelesaikan studinya.

Papa's Diary •√Where stories live. Discover now