BAB 31 : Hidden

59.6K 5.5K 5K
                                    

Hallo! Aku update yaaa! Makasih sebelumnya yang udah berkenan mampir 💐

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hallo! Aku update yaaa! Makasih sebelumnya yang udah berkenan mampir 💐

****

Teng ... teng ....

Suara dentingan lonceng terdengar sepanjang kakinya melangkah menyusuri lorong. Lonceng kecil bewarna keemasan itu digerakan perlahan oleh tangannya, hingga dentingan lain saling menyusul—menguar ke seluruh titik udara.

Langkahnya tenang, nyaris tidak terdengar suara derap. Cara berjalannya teratur dan rapi.

Orang itu bersenandung pelan, mengeluarkan nyanyian kecil yang bersahut-sahutan dengan dentingan lonceng. Menimbulkan nada indah, tetapi terkesan mistis. Antara menenangkan dan mencekam, keduanya terdengar menyatu.

X. Panggil dia dengan sebutan itu.

Sebab semua orang juga memanggilnya dengan julukan yang sama, julukan yang dipakai oleh Madava Fanegar ketika masih hidup.

Madava ... iya, itu Ayah kandungnya.

Jas hujan kebesaran yang melekat di tubuhnya ia buka, kemudian diletakkan pada salah satu tempat gantungan pakaian di dinding. Sebelah tangan orang itu terjulur membuka pintu—yang sengaja tidak dikunci. Kakinya terayun masuk lebih dalam. Ruangan dengan nuansa merah pekat menyambut penglihatannya. Itu pengaruh lampu ruangan yang ia modifikasi sendiri. Tidak terlalu terang, sengaja dibuat temaram. Beberapa titik ruang terlihat redup.

Ada banyak foto yang digantung di langit-langit ruangan menggunakan tali putih, separuhnya lagi ditempel rapat di dasar tembok. Foto yang memperlihatkan wajah-wajah yang berbeda. Semuanya telah ditata sedemikian apik, saling berjejer dengan jarak ujung foto yang serupa. Seolah yang menata ini adalah pengidap OCD.

Kamera analog turut tersimpan rapi di atas meja bersama botol putih berisi bahan kimia. Beberapa roll film tergantung di ujung ruangan lain. Orang itu duduk di salah satu kursi usai mengambil satu buah kotak musik miliknya. Benda itu dibuka, kemudian dinyalakan.

Suara musik klasik milik Beethoven yang berjudul Fur Elise terdengar. Dia melanjutkan senandung ringan, sesekali memutar kursi duduknya hingga berakhir menghadap sebuah figura besar yang terpajang paling tinggi. Foto Madava Fanegar yang ia pandangi dari sana.

"Berapa lama aku nggak ke sini? Seminggu?" Dia bermonolog. "Ah, iya. Seminggu, Ayah."

Ayah. Ayah Dava. Dia memanggilnya begitu.

"Kemarin ... aku sibuk Ayah," kata orang itu memberitahu. "Ah, nggak terlalu sibuk juga. Cuman ada urusan yang nggak bisa ditinggal."

Dia juga harus beraktivitas seperti manusia normal lainnya, harus menjalani hari-harinya dengan sandiwara. Psikopat memang seperti itu. Mereka memiliki seribu topeng yang susah ditembus oleh kacamata kosong. Mereka bisa tersenyum ramah pada anak kecil, sedetik kemudian memukulnya tanpa rasa iba.

ENIGMA : Last FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang