Enam

46.2K 2.8K 17
                                    

Jam sudah menunjuk pukul 8 pagi, dan matahari sudah bersemayam di singgasananya. Semua orang di rumah itu sudah bangun dan mulai beraktivitas. Kecuali Benjamin.

Ben masih tertidur amat pulas dan bertelanjang dada, menampilkan tubuh kekar hasil upaya gigihnya berolahraga di gym bertahun-tahun. AC di kamarnya masih menyala, selimutnya sudah tak karuan bentuknya.

Ben masih berada dalam alam mimpinya ketika seorang perempuan berparas cantik, berpostur tubuh tinggi untuk ukuran gadis Indonesia, dan berambut kecokelatan membuka pintu kamar Ben dengan kasar. Ia lalu menghela nafas keras. Ia berdeham untuk menyiapkan suaranya.

"BENJAMIN! BANGUN!"

Tapi Ben tetap pulas.

Kesal, gadis itu melangkah maju dan menjewer telinga Ben. Ben seketika bangun.

"Aw! Aw! Apaan sih?" gumam Ben dengan suara serak dan rendah. "Naomi?"

"Iya gue! Bisa-bisanya ya lo belom bangun jam segini?"

Naomi Mattheson, kakak perempuan Ben yang menurutnya paling galak. Sekalipun Naomi galak, Ben tetap sangat menyayangi kakaknya dan menganggap Naomi ibu keduanya.

Ben memiliki 2 kakak, yang sebetulnya adalah sepasang anak kembar. Anak pertama, Timothy Mattheson dan kembarannya, Naomi Mattheson. Umur mereka berdua hanya terpaut 2 tahun dari Ben.

Ben bangkit duduk sambil mengacak-acak rambutnya cokelatnya. "Ini kan hari Sabtu, Kak."

"Bukan itu masalahnya, Ben. Gosh, Mama gak ngasih tau kamu ya?"

"Apaan sih? Ada apa?"

Seketika raut wajah Naomi berubah, ia menatap Ben sedih. "Grandma masuk rumah sakit lagi kemarin malem. Hari ini kita semua berangkat ke New York untuk jenguk Grandma."

Kabar itu membuat Ben terpaku. Ia terlalu kaget hingga tak tahu harus bagaimana. Ia menatap Naomi tak percaya. Seketika perasaan takut menyusupi hati Ben, ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada Neneknya.

Sharon Mattheson, Nenek Ben memang sudah sering masuk rumah sakit karena umurnya yang sudah senja. Berbeda dengan Baron Mattheson, Kakek Ben yang masih sangat sehat dan berkuasa.

"Pesawat berangkat jam berapa?" ucap Timothy yang tiba-tiba muncul di pintu kamar Ben.

"Lo juga gak tau, Tim?" ucap Naomi sembari menggelengkan kepala. "Daddy kemarin bilang berangkat jam 10. Udah sekarang kalian mandi, siap-siap."

----

New York

Ben dan keluarganya baru saja mendarat di New York menggunakan jet pribadi keluarga Mattheson. Sepanjang perjalanan, Ben tak henti-hentinya menatap langit di bawahnya dengan tatapan kosong. Pikirannya hanya dipenuhi bayangan-bayangan buruk tentang Neneknya. Seusai mendarat, Ben dan keluarganya langsung menuju Mount Sinai Medical Center tempat Sharon Mattheson dirawat secara intensif.

Setibanya disana, Ben berlari masuk menuju pavilion VIP, meninggalkan keluarganya. Lobi utama rumah sakit telah dipenuhi papparazzi yang ingin meliput berita ini. Maklum, Sharon Mattheson sendiri merupakan aktivis sosial berpengaruh di Amerika, ditambah gelar nama Mattheson yang disandangnya membuatnya semakin berpengaruh. Mattheson Family sendiri merupakan salah satu keluarga konglomerat tertua, dan cukup dihormati disana.

Ben menerobos masuk melewati kerumunan papparazzi yang sibuk mengambil gambar kedatangan keluarga Ben di rumah sakit itu. Ia tak peduli. Ia harus bertemu dengan Neneknya sekarang.

Seketika Ben dicegat oleh pihak keamanan rumah sakit. Ben melotot marah pada seorang petugas keamanan.

"Sorry this is restricted area," ucapnya tegas sambil menahan lengan Ben.

Ben menepis tangan petugas itu. "GET OUT OF MY WAY! You don't know who I am?"

Tiba-tiba seorang lelaki mendekat. "Let him go. He is Benjamin Mattheson, Sharon's grandson."

Petugas keamanan itu pun melepas Ben. Seketika Ben menoleh pada sumber suara itu.

"Uncle Joe, thanks. Show me the way please," ujar Ben lalu mengikuti Joe.

Joseph Mattheson, kakak Ayah Ben tertua nomor 2 menunjukkan jalan menuju pavilion tempat Sharon Mattheson dirawat.

"Where's the rest of your family?" tanya Joe.

"At the lobby I guess, giving some official statement to the papparazzi. I got no time for that," balas Ben.

Mereka tiba, dan ruang tamu pavilion VIP itu telah dipenuhi keluarga besar Mattheson. Disana tampak pula Baron Mattheson, Kakek Ben.

"Ben! Thank God you made it here. Sharon's been looking for you. She mentioned your name all the time," ucap Mathilda, istri Paman Joe. "This way, please."

Mathilda menuntun Ben menuju ruang rawat Neneknya. Setelah Mathilda membuka pintu kamar, Ben terpaku. Dilihatnya Sharon terkapar lemah dengan selang-selang di sekitar tubuhnya.

Ben mendekat, menggenggam tangan Neneknya, orang yang paling ia sayangi di muka Bumi ini. Orang yang paling mempengaruhi Ben. Sumber energi Ben. Menjadi cucu paling kecil membuat Ben begitu disayangi Neneknya, karena memang sedari ia lahir sampai menginjak umur 5 tahun, Neneknya lah yang mengasuh Ben dengan penuh kasih sayang. Berbeda dengan Timothy dan Naomi yang lahir di Jakarta, Ben lahir di New York. Atas permintaan Sharon, Ben akhirnya diasuh oleh Sharon dan tinggal di New York hingga umurnya 5 tahun.

Sharon menyadari tangannya disentuh, lalu kemudian membuka matanya perlahan. Menyadari bahwa cucu kesayangannya telah tiba, ia tersenyum lemah.

"B..Ben," gumamnya pelan.

Ben menatapnya sedih. "Yes, it's me."

"I... Miss... You."

"Miss you more, Grandma," air mata tanpa sadar mengalir dari mata Ben. Sepasang bola mata biru Ben menatap bola mata Sharon yang juga biru. Warna bola mata Ben memang diwarisi oleh Sharon.

"Can I.. ask you?" gumam Sharon pelan.

"Anything. I will do anything."

Sharon tersenyum lemah. Ia menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan, mengumpulkan tenaga.

"Stay," Sharon berhenti sebentar, lalu berbicara lagi. "Don't go... back."

----

Hari sudah malam, namun Ben bersikeras untuk menginap di rumah sakit. Nicholas, ayahnya, dan Jocelyn, ibunya telah berpamitan pulang ke hotel untuk beristirahat karena besok subuh mereka harus segera kembali ke Jakarta. Ada urusan yang tak bisa ditinggal.

Ben berbaring di sofa panjang ruang tamu rumah sakit. Matanya menerawang jauh.

Stay. Don't go back.

Ben sudah membulatkan tekadnya. Ia segera bangkit, mengecek Sharon yang sedang tertidur pulas, lalu keluar dari ruang tamu rumah sakit. Ia hendak bicara dengan Jocelyn, ibunya.

Dengan diantar supir keluarga Mattheson, Ben tiba di hotel tempat keluarganya menginap.

Ben mengetuk pintu kamar orangtuanya.

"Ben? Kenapa sayang?" tanya Jocelyn, ibu Ben, seorang wanita yang masih memancarkan kecantikan alaminya di usianya yang tak lagi muda.

"Ben mau ngomong, Ma," ucap Ben lalu masuk ke kamar hotel orangtuanya. Ayahnya sudah tertidur.

Jocelyn dan Ben duduk di sofa hotel. Ben menerawang jauh, memandangi kegemerlapan dunia malam New York.

"Mau ngomong apa, Nak?" tanya Jocelyn.

Ben menghembuskan nafas. "Ben... Mau pindah ke New York."

BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang