Sebelas

43.1K 3K 11
                                    

Ben mendarat dengan mulus di Jakarta. Segera setelah jet pribadinya mendarat, Ben dijemput oleh Timothy yang berdiri bersandar pada Range Rover putihnya, mengenakan kacamata hitam, menunggu adiknya yang paling kecil itu.

"Glad to see you, brother," ucap Timothy, melepas kacamata hitamnya. "How's flight?"

"Boring," jawab Ben. "Gue bisa mulai kerja kapan?"

"Anytime. Sekarang juga boleh kalo lo mau."

"Habis makan siang aja gimana? Gue mau observe semuanya."

"As your wish."

----

Sepanjang perjalanan Ben menatap ke luar jendela, takjub. Ia sudah meninggalkan kota ini selama 10 tahun dan sekali pun tak pernah kembali, begitu banyak perbedaan yang dirasa Ben. Rasanya 10 tahun yang lalu jalanan protokol ibukota belum ditumbuhi hutan beton seperti sekarang ini. Sekarang, gedung-gedung pencakar langit berdiri menjulang dengan gagahnya. Ben memperhatikan salah satu gedung yang terlihat menjulang lebih tinggi dari gedung-gedung di sekitarnya, Mattheson Tower.

"Itu gedung kita?" tanya Ben.

Timothy yang sedang membaca berita melalui smartphone-nya mendongak, mengikuti arah pandang Ben, dan mengangguk. "Kantor utama Mattheson Corporation. Tapi company kita gak disitu kantornya."

Ben menatap Timothy bingung. "Kenapa?"

"Gue sama Naomi sepakat kalau kita harus bisa bangun sendiri perusahaan kita yang jauh dari pengaruh Papa, jadi kita memutuskan untuk gak satu gedung sama Papa. But to me that's just simply impossible. Papa sama Mama megang 25% saham kita, jadi udah bisa lo pastiin kan segimana berkuasanya mereka?"

"Karena Papa sama Mama pemodal utama kita kan?"

"Yup, tapi untungnya Papa cuman ngasih modal dan advise, selebihnya untuk operasional bener-bener diserahin sama gue dan Naomi."

"Kalo gitu kita balikin aja modal dia setelah kita punya profit yang menjanjikan."

Timothy menatap Ben, senyumnya mengembang. "That's brilliant. Naomi will definitely love this."

"Gue akuin lo sama Naomi emang hebat. Baru berdiri 3 tahun dan udah mulai sedikit demi sedikit ngalahin pemain lama industri properti. Promising."

"Sebenernya itu semua gak lepas dari pengaruh nama Mattheson. Semua pebisnis udah tau segimana berpengaruhnya Mattheson Corporation di Indonesia, jadi mereka sebisa mungkin cari perhatian sama kita. Banyak perusahaan yang ngedeketin kita, berusaha ngebantu kita, karena dia pikir company kita ada di bawah naungan Mattheson Corporation. Bodoh sih, tapi gue sama Naomi manfaatin itu semua."

"Mau gimana pun, kita emang gak bisa lepas dari pengaruh Papa ya. Selama nama belakang kita masih Mattheson, selama itu juga Papa dan keluarganya berkuasa di atas kita."

"We are business, my brother. Keluarga kita gak bisa kayak keluarga normal, yang penuh cinta dan perhatian. Gue bersyukur Papa berani ekspansi perusahaan keluarganya ke Indonesia, dan nikah sama Mama. Akhirnya kita hidup di Indonesia, jauh dari pengaruh keluarga Mattheson di Amerika yang bahkan jauh lebih berkuasa daripada di Indonesia. Coba aja lo liat keluarga Uncle Victor, Uncle Hilario, Aunt Lucia. Mereka mungkin gak pantes disebut keluarga. Beda banget sama Uncle Joe dan keluarga kita."

Ben mengangguk. Joe, Victor, Hilario, dan Lucia adalah saudara-saudara kandung Ayahnya. Selain dari keluarga Uncle Joe, keluarga Victor, Hilario, dan Lucia Mattheson bisa dibilang sangat jauh dari keluarga idaman. Mereka menikah dengan pasangan mereka masing-masing karena uang, dan tentu saja menghasilkan anak-anak yang tidak mereka cintai. Bagaimana bisa mereka mencintai anak-anak yang lahir dari orang yang tidak mereka cintai?

BLUEWhere stories live. Discover now