Empat Puluh Sembilan

19.5K 938 15
                                    

Sinar matahari mengintip melalui celah tirai yang tertutup, seakan ingin menembus dan menghangatkan ruangan gelap itu. Ruangan itu amat sunyi, hanya sebuah suara monoton yang bersumber dari sebuah monitor yang mampu menembus keheningan. Ruangan itu sebetulnya hangat, namun terasa dingin karena hampa.

Di ruangan itulah terbaring lemah Ben. Raganya mungkin berada di ruangan itu, namun jiwanya entah melayang kemana.

Tiba-tiba, raga yang terbaring lemah itu bergerak sedikit. Kelopak matanya berusaha membuka.

Hal pertama yang dilihat Ben sesaat setelah ia berhasil membuka mata adalah langit-langit kamar rawatnya. Putih, bersih, namun tampak remang. Ia merasa lemah, sekujur tubuhnya seakan tak punya tenaga sedikitpun untuk bekerja. Jangankan menggerakan badan, menggerakan kepalanya pun ia merasa kesusahan. 

Sebuah memori berkelebat di pikiran Ben. Memori itu bercerita tentang dirinya sendiri yang tengah memarkirkan mobilnya di depan sebuah toko bunga. Toko bunga itu cukup bersejarah baginya. Beberapa waktu yang lalu, ia pernah membeli bunga di toko itu untuk menaklukkan hati seorang gadis. Bunga yang ia beli kala itu memang tak pernah diterima gadis itu, bahkan terkesan ditolak mentah-mentah. Meski begitu, gadis itu tetap berhasil ia taklukkan di kemudian hari. Ia berhasil menjadikan gadis itu kekasihnya. 

Kini Ben hendak memberikan gadis itu sebuket bunga yang berasal dari toko bunga bersejarah itu. Di memori itu, dirinya sangat bersemangat. Ia begitu rindu dengan gadis pujaan hatinya itu. Dan tentunya sebagai lelaki yang begitu mencinta, ia tak bisa datang dengan tangan kosong. 

Segera setelah ia turun dari mobil, sebuah benda kecil melesat cepat ke arahnya. Tepatnya, ke arah dadanya. Rasa sakit dengan cepat menguasai dirinya, begitu sakit sampai-sampai ia sampai pada suatu titik dimana ia tak mampu lagi menahannya. Ia jatuh tersungkur ke tanah, sembari memegangi sumber rasa sakit itu. Bersamaan dengan darah segar yang mengalir, dunia di sekitarnya pun kemudian luntur. 

Berbagai emosi tercampur aduk dalam benaknya. Sedih, kesal, bingung, dan yang utama, khawatir. Bukan kepada dirinya sendiri ia khawatir. Ia khawatir pada gadis itu, yang ia tahu kala itu sedang menunggunya. Ia khawatir orang yang mengincarnya juga mengincar Adriana. 

You know it's real love when you put someone else's need before yours. And apparently, that's what's happening to Ben right now.  

Ruang rawat Ben mungkin hening, namun tidak dengan isi kepala lelaki itu. Begitu tenggelamnya Ben dengan pikirannya sendiri sampai-sampai ia tidak menyadari pintu ruang rawatnya telah dibuka oleh seseorang. Naomi Mattheson. 

"Ben, kamu udah siuman?" Naomi terkejut sekaligus sangat senang melihat adiknya yang telah tak sadarkan diri selama beberapa hari kini telah siuman. "Oh God, Ben! Should I call the doctor?" 

Dengan wajah berbinar Naomi menekan bel untuk memanggil dokter yang berada di sisi ranjang Ben. Ia lalu dengan hati-hati menyentuh tangan Ben. Sentuhan tangan Naomi membuat Ben tersadar dari pikirannya yang berkelebat. 

Ben menoleh ke arah sesuatu yang menyentuh tangannya itu. Seketika, ia tersenyum ketika menyadari kehadiran Naomi. "Sister." 

Naomi rasanya hampir menitikkan air mata mendengar suara lirih adiknya itu. "Yes, I'm here." 

"Adriana..." bisik Ben lirih. 

Naomi tersenyum kecil. "She's fine." 

Sedari awal siuman, Ben tidak banyak menunjukkan ekspresi wajah. Namun ketika ia mendengar Naomi mengatakan bahwa Adriana baik-baik saja, ekspresi lega terlihat jelas di wajah Ben. 

Tak lama, tim dokter tiba di ruangan Ben. Mereka lalu memeriksa kondisi Ben dengan teliti. 

"Syukurlah, kondisi pasien baik," ucap sang dokter sembari menyunggingkan senyum. "Pasien hanya butuh istirahat. Beberapa jam lagi kami akan datang untuk memeriksanya lebih lanjut."

BLUEWhere stories live. Discover now