Dua Puluh Satu (REPUBLISHED)

2.5K 34 0
                                    

"Can I ask you something?" tanya Adriana, raut wajahnya ragu.

"Sure."

"Why did that day you leave and never come back?"

Ben terkejut. "Aku..."

"Kamu tau Ben? Setiap hari setelah pulang sekolah aku selalu ke lapangan basket nyariin kamu, atau ke lapangan parkir nyariin mobil kamu, sambil bawa hoodie ini untuk aku kembaliin ke kamu. Aku percaya suatu saat nanti kamu pasti pulang. Setiap hari doa aku adalah supaya bisa ketemu sama kamu. Tapi ternyata sampai aku lulus, kamu gak pernah kembali."

Adriana tersenyum pahit. "Bodohnya aku."

Ben meraih tangan Adriana. "I'm so sorry Adriana, let me explain."

"Jadi pagi itu aku denger kabar bahwa Nenek aku masuk rumah sakit. Keluarga aku pagi itu juga langsung berangkat ke New York," ujar Ben. "You know, Adriana? My Grandma is the most important person in my entire life. Begitu denger dia masuk rumah sakit, aku sedih banget, aku langsung mikir yang enggak-enggak tentang dia.

"Waktu aku belum sampe New York, Tanteku bilang Nenekku manggil-manggil nama aku setiap malam. Terus pas aku udah sampe disana, keadaannya yang tadinya gawat jadi lebih baik. Terus suatu saat dia genggam tangan aku, dia minta aku untuk stay di New York nemenin dia dan gak kembali lagi ke Indonesia. I granted her wish of course, although it's difficult for me to be miles away from my family.

"Beberapa bulan yang lalu dia udah meninggal dengan tenang setelah 10 tahun lamanya bertahan hidup. Setelah dia meninggal, aku langsung pulang ke Indonesia karena udah gak ada alasan lagi buat aku untuk tetep tinggal di New York."

Adriana balik menggenggam tangan Ben. "I'm sorry, Ben. Aku gak bermaksud untuk ngingetin kamu tentang Nenek kamu lagi."

Ben lalu tersenyum kecil. "Tapi sekarang aku lega, setidaknya dia udah damai dan gak sakit lagi."

Adriana ikut tersenyum melihat Ben tersenyum. Pikirannya tentang masa SMA-nya yang menyakitkan tiba-tiba berkelebat di kepala Adriana. Memori dimana ia merasa tersiksa, menjadi bahan ejekan seluruh sekolah. Saat-saat terburuk dalam hidup Adriana, saat-saat ia merasa tak memiliki semangat hidup karena merasa dirinya tak berharga sebagai seorang manusia.

"Those hard high school days," gumam Adriana. "It's still vivid in my mind."

"You are one of the strongest woman I have ever met. Gimana bisa kamu tahan menghadapi semua tindakan bully dan ejekan itu?"

"It has positive effects, though," ujar Adriana. Gadis itu lalu menatap Ben dalam. "Tapi aku mau terima kasih sama kamu, karena udah ngebelain aku."

"Aku bodoh kalo aku diem aja ngeliatin kamu dibully begitu."

"Aku bahagia, setidaknya ada satu orang di sekolah sialan itu yang menganggap aku sebagai manusia, dan memperlakukan aku sebagaimana layaknya."

Ben menggelengkan kepalanya. "Well, let's not recall that bad memories. We are supposed to be happy tonight, aren't we?"

Adriana mengangguk. "Ben tapi aku gak bisa motong steaknya."

"Manja banget sih," gumam Ben lalu memotong-motong steak di piringnya sendiri, untuk kemudian diberikan pada Adriana.

Adriana tersenyum manja, lalu menerima piring Ben. "Thanks."

"Inget ya Adriana yang aku bilang tadi," ucap Ben sambil memotongi daging steak yang ada di hadapannya. "Jangan dandan secantik ini kalo gak sama aku, ya."

Adriana mendengus. "Why not? I'm not entirely yours."

Ben lalu menatap Adriana, tatapannya sungguh-sungguh.

BLUEWhere stories live. Discover now