Empat Puluh

18.1K 1.1K 29
                                    

"Saya mau mengundurkan diri dari pekerjaan saya sebagai sekretaris Bapak."

Ben termenung, lalu mengerutkan dahinya. "Is this a joke?"

Adriana menggeleng. "No. I'm completely sane and serious."

Ben terdiam, bola matanya tajam menatap Adriana, mencari jawaban. "Kenapa?"

Adriana menghembuskan nafas berat. "Aku... Aku dapet beasiswa untuk lanjutin kuliah S2 di New York."

"Beasiswa?"

"Aku apply scholarship secara online, dan ternyata aku dapet."

Sekujur tubuh Ben menegang, marah. "Proses apply scholarship butuh waktu yang lama, dan kamu selama ini sama sekali gak kasih tau aku tentang ini?"

Adriana menunduk, mengigiti bibirnya. Ia tahu Ben akan marah.

"Kamu anggep saya apa sih?" tanya Ben. Ibu jarinya menyentuh dagu Adriana, memaksa gadis itu untuk menatap matanya secara langsung.

Air mata telah menggenangi pelupuk mata Adriana, siap jatuh kapan saja.

"Saya tanya kamu anggep saya apa?" tanya Ben lagi, menatap tajam Adriana.

Adriana masih terdiam. Gadis itu tak kuasa menatap Ben. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Kamu tau ini semua bisa mempengaruhi kita berdua. This is a big decision, Adriana, and you should have discussed it with me!" seru Ben frustrasi. Lelaki itu pun mengacak-acak rambut cokelatnya gusar.

"Aku gak mau nambahin beban pikiran kamu!" seru Adriana balik. Air mata telah membanjiri pipinya. "Gimana mungkin aku bisa ngomongin hal kayak gini, sementara setiap hari aku lihat kamu stres karena pekerjaan kamu?!"

"You know that's not an excuse," ucap Ben tajam. "You could have just told me! Dan lagipula, apply scholarship perlu diproses berbulan-bulan. Sebelum aku jadi Presdir Mattheson Corporation, kamu pasti udah apply scholarship itu!"

Adriana diam. Kata-kata Ben tak terbantahkan. Ia memang benar. Adriana mulai mencoba-coba untuk mendapatkan beasiswa jauh sebelum Ben diserahi jabatan sebagai Presdir Mattheson Corporation.

"Kamu tau aku benci setiap kali kamu nyembunyiin sesuatu dari aku," ucap Ben, rendah dan tajam. "Apa aku gak pernah mendapatkan kepercayaan kamu? I trust you with all my heart, but why can't you trust me back? Bukannya kamu yang bilang kalo dalam sebuah hubungan itu gak boleh ada rahasia-rahasiaan?"

Adriana masih terdiam,  membuat kemarahan Ben semakin memuncak.

Ben menggeleng-gelengkan kepalanya, menatap Adriana tak percaya. Ia lalu merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan singkat pada supirnya.

"Saya mau pulang sekarang," ucap Ben dengan tatapan dingin. "Dan maaf saya gak bisa nganterin kamu, saya gak bisa satu mobil sama kamu. Setelah ini kamu bebas kalo masih mau main lagi. Yang jelas, saya udah suruh supir saya untuk nungguin kamu di lobi utama dan lalu nganterin kamu pulang. Kalo kamu gak pulang sama dia, dia akan saya pecat."

"Satu lagi," ujar Ben. "Langsung kasih surat pengunduran diri kamu ke Mellinda, saya gak mau lihat surat itu di meja saya."

Adriana mendongak kaget. Seketika bianglala berhenti, dan petugas wahana bianglala membukakan pintu untuk Adriana dan Ben.

BLUEحيث تعيش القصص. اكتشف الآن