Lima Puluh (TAMAT)

40.5K 1.1K 69
                                    

"I will never let you do that."

Ben menghela nafas berat. Ia tidak menyangka Naomi akan memberitahu Adriana perihal pembicaraannya siang tadi, bahkan dalam waktu hanya beberapa jam kemudian Adriana sudah muncul di hadapannya seperti ini, menghadang Ben yang hendak pergi. Ben belum siap seratus persen memang, sampai kapanpun ia tidak akan siap. Namun setidaknya, selepas kepergian Naomi ia masih saja memikirkan bagaimana caranya membuat Adriana mengerti bahwa ini adalah keputusan terbaik. Ia masih saja terus mencari cara hingga akhirnya apa yang telah berusaha ia pikirkan buyar begitu saja ketika ia melihat Adriana.

"Kamu gak ngerti, Adriana," gumam Ben lirih.

"Apa? Apa yang aku gak ngerti? Jelasin, Ben," Adriana bangun dari posisinya. Matanya menatap Ben tajam. "I'm all ears!"

Ben memejamkan mata. Bingung, serta tak kuasa menatap balik mata Adriana yang telah tergenang air mata.

Berbohong. Ya, berbohong. Mungkin itu cara terbaik.

"Aku udah gak cinta sama kamu."

Adriana diam, terpaku. Sekujur tubuhnya kaku, tatapan matanya tajam menatap Ben, seolah mencari-cari kebenaran di balik bola mata birunya itu.

Tak lama, Adriana tersenyum.

"Koma bikin kamu jadi mendadak pinter bohong ya?" tanya Adriana.

"What? No! I'm telling you the truth," ucap Ben bersemangat, terlalu bersemangat hingga membuat Adriana mengerutkan keningnya kebingungan.

"Ben, kamu pikir aku dengan gampangnya percaya sama alasan kamu itu?" tanya Adriana, lalu mendengus. "I think you forget the fact that I know you a little too well."

Kali ini, Ben yang terdiam.

"That time when I saw you behind that door, I clearly saw the tears in your eyes. And what you said again? You don't love me anymore? Why would you cry if you didn't love me anymore?" ucap Adriana dengan senyum yang membuat hati Ben selalu luluh. "Another one? I hugged you. You didn't refuse. I can hear the beat of your heart when I hugged you. And for the past years, your heart still beats the same whenever I hug you."

Ben masih terdiam. Ia tahu, gadis itu memang sangat mengenal dirinya.

"And the most convincing one, the one you can't manipulate," ujar Adriana. Ia lalu mendekatkan dirinya pada Ben, lalu perlahan mengecup bibir Ben lembut. Ia lalu menatap kedua bola mata biru Ben dalam.

"My lips?" gumam Ben bertanya-tanya.

"No, your blue eyes. They tell everything, they never lie."

Adriana tersenyum menang, seolah baru saja memenangkan sebuah pertandingan.

"Alright, you know me," kata Ben, menyerah.

"A little too well," koreksi Adriana.

"Oke aku minta maaf aku bohong sama kamu soal itu," ujar Ben. "Tapi kamu harus tau Adriana aku gak main-main soal hubungan kita."

"Aku tau, kamu khawatir dengan kebebasan aku kan? Kamu khawatir, kalau aku menikah dengan kamu aku gak bisa hidup seperti orang biasa lagi?" cecar Adriana.

"I'm serious. Kamu lihat kejadian yang menimpa kita belakangan ini? Kamu diculik, aku ditembak. Semua ini menyadarkan aku kalau aku takut membuat kamu hidup seperti ini, Adriana," ucap Ben, tatapan matanya sedih. "Hidupku memang sangat berkecukupan, bergelimang malah. Tapi itu semua hanya materi. Ada harga yang sangat mahal untuk membayarnya."

"Kita udah berhubungan bertahun-tahun, Ben. I'm sure I will get used to it!" kata Adriana berusaha meyakinkan. Ini benar adanya, Adriana sudah mengenal Ben bertahun-tahun lamanya. Ia sudah sangat tahu kehidupan seperti apa yang dijalani Ben. Ia tahu hidup Ben memang sangat bergelimang harta, tapi tanggung jawab terhadap bisnis dan nama keluarganya selalu membayangi Ben. Keluarganya punya tim publicist, juga tim security. Media selalu menyorot keluarganya, lawan bisnis selalu mencari-cari kesempatan untuk menjatuhkan keluarganya bahkan tak segan untuk mengancam keselamatannya.

BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang